In Wawancara

Di penghujung tahun 2011 lalu, kami mendapat berita dari seorang kawan bahwa salah satu sutradara Indonesia masuk dalam sesi Kompetisi Utama, International Competition Berlinale 2012 (Berlin International Film Festival). Filem itu berjudul Kebun Binatang (Postcards From The Zoo), karya Edwin yang merupakan salah satu tokoh penting dalam gerakan filem di luar industri filem mainstream di Indonesia. Bagi kami, masuknya Edwin dalam salah satu kompetisi di festival filem dan penghargaan The Big Four (Berlinale, Cannes, Venice dan Academy Award-Oscar) adalah sebuah capaian penting dalam sejarah sinema Indonesia. Menurut sebuah sumber yang belum dapat kami konfirmasi ke Berlinale, filem Badai Selatan, karya Sofia W.D. pernah masuk dalam sesi kompetisi di Berlinale tahun1962. Terlepas dari benar atau tidak, hingga saat ini tidak pernah satu karya sutradara Indonesia pun yang pernah masuk dalam empat ajang besar dunia tersebut dalam sesi kompetisi. Kebun Binatang akan berkompetisi dengan filem-filem dari Spanyol, China, Hongkong, Filipina, Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Prancis. Sesuai dengan program Jurnal Footage untuk melakukan wawancara mendalam dengan para pelaku filem dan video Indonesia, kami melakukan wawancara dengan Edwin, yang sebenarnya sudah disiapkan jauh sebelum ‘berita gembira’ di atas kami terima. Selasa, 3 Januari 2012, Jurnal Footage melakukan wawancara dengan sutradara yang pernah meraih Piala Citra Festival Film Indonesia untuk kompetisi filem pendek ini di Kedai Tjikini, Jl. Cikini Raya 17, Jakarta Pusat. Hadir pada wawancara yang hangat ini, Hafiz (editor), Akbar Yumni (editor) dan Syaiful Anwar (kamera). Selamat membaca dan menikmati.

02

Hafiz: Pertanyaan awal, cerita sedikit kenapa lu memilih filem, masuk (kuliah) di IKJ (Institut Kesenian Jakarta)?

Edwin: Kenapa? Mungkin cuma karena suka sama filem. Tertarik sama filem dari dulu. Dari kecil suka nonton filem. Kuliah, tinggal dan lahir di Surabaya. Sampai umur 20 tahun, pada tahun 1999 pindah ke Jakarta dan kuliah di IKJ. Tadinya, kuliah desain grafis di Surabaya. Baru tahu ada sekolah tentang filem di Jakarta, ada rasa penasaran, kenapa filem harus dipelajari? Berangkat ke Jakarta, dan lihat sekolahnya kayak gimana. Secara insting mengatakan, “kalau lulus di desain grafis, kuliah lagi di IKJ”.

Hafiz: Lu selesaikan kuliah di Surabaya?

Edwin: Selesai (lulus). D3 Diploma Desain Grafis.

Hafiz: Filem apa yang menempel di kepala lu?

Edwin: Kalau nonton kebanyakan filem-filem Hollywood. Yang nempel itu Indiana Jones, filem Steven Spielberg. Yah… kayak gitu saja sih.

Hafiz: Masuk ke IKJ, menjadi sutradara, seperti itu bayangan lu?

Edwin: Nggak sih. Setelah masuk ke IKJ, sebenarnya gak terlalu tahu bahwa akan bikin filem pada akhirnya. Awalnya, cuma penasaran. Seperti tadi saya bilang, kenapa bisa ada sekolah yang mempelajari filem?. Setahu saya filem cuma hiburan. Ternyata menarik kalau kita pelajari sesuatu yang  menyenangkan itu. Mungkin awal idenya seperti itu. Bukan karena pengen jadi filmmaker sebenarnya. Kalau mempelajari filem itu, atau kita ke sekolah filem, bukan untuk membuat filem, itu yang saya tahu waktu itu. Tapi ternyata setelah proses selama 5 tahun di IKJ, yang “diajari” ya, membuat filem. Saya akhirnya membuat filem bersama teman-teman. Yang paling penting sebenarnya dari IKJ itu atau dari sekolah filem di sini adalah ketemu orang-orang yang punya passion yang sama, semangat yang sama, kecintaan yang sama, keingintahuan yang sama terhadap filem. Teman-teman dan lingkungan itulah yang gak pernah saya dapatkan di kehidupan sebelumnya waktu di Surabaya. Baik waktu SMA (Sekolah Menengah Atas), kuliah di desain grafis pun, sedikit sekali orang yang punya ketertarikan yang sama terhadap filem. Nah, di IKJ menyenangkan sekali, kumpul dengan orang-orang yang bisa saling berbagi.

Hafiz: Kecintaan pada filem dari mana? Dari IKJ?

Edwin: Sudah dari lama. Dari kecil, tiap minggu rutin nonton filem di video dan di bioskop.

Hafiz: Terus, ketika di kampus filem, excitement-nya apa?

Edwin: Pertama kali, gak terlalu merasakan apa-apa. Disuruh untuk bikin tugas. Bikinnya ada aturan, seperti pada umumnya kita sekolah. Dikasih Pe-eR (Pekerjaan Rumah—red). Kita kerjakan dan gak terlau ada excitement-lah. Atau bukan sesuatu yang serius. Justru di luar tugas yang membuat saya lebih santai dan lebih sadar, “membuat filem itu pekerjaan yang serius ya! Yang banyak option-nya!”. Jadi, kalau di IKJ kan hanya tugas. Nah, suatu waktu, semester berapa ya…? Di semester tiga, waktu liburan dan gak ada tugas, memutuskan buat filem bersama teman-teman satu kos. Itu gak ada sama sekali hubungannya sama tugas. Kita ngumpulin duit yang ada. Ya… Memang kita menggunakan fasilitas kampus. A Very Slow Breakfast (2002), itu judul filemnya. Sudah tidak ada lagi aturan-aturan yang harus dipenuhi. Artinya, tidak mengejar nilai atau bimbingan, ternyata menyenangkan. Itu menjadi salah satu sebab berikutnya bikin filem dan bikin.

03

Hafiz: Kenapa lu lakukan? A Very Slow Breakfast dari mana ide itu muncul? Apakah hanya karena pergaulan saja atau gimana? Atau memang kesadaran pada pengetahuan filem?

Edwin: Kalau dibilang dari pengetahuan filem, (saat itu) masih pas-pasan lah. Belum terlalu banyak referensi. DVD masih belum punya. Belum banyak buku (filem). Internet masih lambat. Ada sedikit lah referensi-referensi dari perpustakaan IKJ—filem-filem yang agak terlambat datangnya, misalnya filem Zhang Yimao (Cina) baru kita tonton di tahun 1999 itu. Tapi kenapa kita memutuskan ingin membuat filem di luar tugas? Mungkin kalau saya bisa bilang, karena agak kecewa dengan sistem tugas yang diberikan. Dikasih tugas, jadi kayak beban yang gak suka saya kerjakan. Jadi, secara tidak sadar, A Very Slow Breakfast itu semacam apa ya… Pembalasan terhadap apa yang saya tidak bisa kerjakan di filem-filem tugas itu. Banyak hal-hal yang sebenarnya kita yang gak terlalu tahu alasannya kenapa kita membuat filem. Tapi kita punya energi lebih. Energi yang meyakinkan kita “udah dibuat aja”. Nah, di filem-filem tugas, banyak gak bolehnya. Semua harus punya alasan. Punya konsep sebelum shooting. A Very Slow Breakfast semacam protes terhadap itu lah. Teman-teman juga memberikan apa yang mereka punya: Energi maksimal mereka.

Hafiz: Gua menonton A Very Slow Breakfast. Ya… Memang sudah biasa banyak aturan dalam karya tugas kuliah. Terus, motifnya apa? Apakah hanya sesederhana itu? Hanya karena muak dengan urusan akademik, dan aturan dalam membuat filem, atau ada motif lain?. Dalam artian begini, setiap orang dalam membuat sesuatu terutama berkarya seni, selalu ada motif.

Edwin: Gak ada lagi. Cuma begitu saja. Ingin terbebas dari apa yang kita pelajari selama ini. Menurut kita membosankan. Sebenarnya kita juga gak terlalu punya motif yang jelas: Kenapa kita membuat filem itu?.

Hafiz: Misalnya, kenapa adegan itu ditempatkan di ruang yang sangat tidak mengenakkan, gak agronomis lah. Itu kan estetika. Gue bicara itu. Motifnya apa? Kalau lu melihatnya sekarang.

Edwin: Sekarang, ya? Mungkin kalau dulu, antara sok sadar atau gak sadar. Tapi kalau sekarang saya lihat lagi filem itu… Ya… Mungkin kita waktu itu mengartikan suatu kondisi keluarga yang melaksanakan rutinitas di dalam sebuah atmosfer atau lingkungan yang menekan. Semua memberikan beban pada anggota keluarga lain. Jadi, memainkan postur badan pemain. Menjadi bungkuk, gak bebas, semuanya menekan kanan, kiri, atas, dan bawah. Mungkin simple-nya seperti itu.

Hafiz: Apa betul ‘kebebasan’ ada di situ, waktu lu membuat?

Edwin: Waktu itu senang banget. Mungkin karena gak harus ada-apa—misalnya, persetujuan dari kampus—bahwa, “ini, yang benar seperti ini”. Ketika tidak ada yang mana benar  yang mana yang salah, menyenangkan sekali. Bisa dibilang, bebas sekali. Kita semua bebas, misalnya, melanggar continuity.

Hafiz: Jadi, ketika itu persoalan besarnya, sistem pendidikan yang lu alami. Bagaimana sih idealnya? Dengan pengalaman lu sekarang, melihat sebagai peristiwa sinema di berbagai tempat, di sini (Indonesia) dan tempat lain (internasional). Dalam konteks pendidikan, apakah seharusnya sekolah filem memperlakukan pendidikan seperti saat lu bikin A Very Slow Breakfast itu?

Edwin: Mestinya sih, iya. Maksud saya, sekolah ini kan investasi yang lama. Lima tahun gue tempuh pendidikan filem di Jakarta. Di IKJ seharusnya bisa berbuat lebih, dari cuma sekedar ngajarin struktur tiga babak, skill direction untuk penyutradaraan atau cara menulis untuk skenario. Maksudnya, sejujurnya yang saya alami di IKJ sama sekali di bawah ekspektasi dalam untuk mempelajari filem. Mungkin buat yang lain-lainnya cukup. Tapi mestinya, sebagai institusi pendidikan, mereka melihat jumlahnya berapa. Oke, ada yang bilang cukup, tapi ada yang bilang gak cukup. Mestinya diatur lah. Supaya yang tadinya bilang “cukup” ini, ditarik menjadi “lebih”.

Hafiz: Espektasi lu bagaimana?

Edwin: Espektasi saya? Mestinya sekolah filem di Jakarta itu, harus yang bisa sampai mengkritik industri filemnya. Menghasilkan karya-karya yang… Pokoknya kalau sudah sama dengan industri, itu paling jelek.  Harus lebih baik daripada industrinya atau mengkritik industrinya dengan caranya sendiri. Paling jelek, memang harus sama. Tapi industri kita sendiri kan udah jelek banget (tertawa kecil). Bagaimana? Masih belum. Belum maksimal. Harusnya bisa. Mungkin cara paling gampang, kalau IKJ itu cuma dengan mengurangi jumlah mahasiswa.

Hafiz: Kenapa?

Edwin: Karena banyak banget. Berapa tuh? Tahun sekarang saja mungkin sekitar 200 orang. Untuk mempelajari filem, gak bisa kayak ngajarin satu ditambah satu sama dengan dua. Kalau 200 orang mungkin gampang banget. Itu pun pasti masih ada orang-orang yang mempertanyakan kenapa satu ditambah satu sama dengan dua.

Hafiz: Harusnya bagaimana?

Edwin: Filem itu seharusnya secara “personal” mengajarinya. Melihat karakter orang seperti apa. Mahasiswa interest-nya seperti apa. Jadi, sangat fleksibel. Oke, di tahun-tahun pertama diajarin yang sejarah dan diajarin basic (dasar). Tapi itu gak lama kok ngajarin basic. Kata buku-buku filem, cuma ada 12 movement camera, yang memang sudah diukur. Tapi, untuk menerapkan, karakter filmmaker-nya itu yang sebenarnya ada andil dari sekolahnya.

Hafiz: Setelah lu lepas (keluar IKJ), apa yang dirasakan?

Edwin: Lepas dari IKJ? Ya… Saya kerja di perusahaan filem dan PH (Production House). Filem yang maksudpun, gak ada hubungannya dengan yang diajarin di sekolah.

Hafiz: Jadi, maksud lu IKJ juga gak beradaptasi dengan apa yang terjadi di industri?

Edwin: Itu dia… Memang sih (tertawa kecil). Misalnya begini, pertama kali saya kerja di filem itu, di Miles (Miles Production) sebagai asisten sutradara Riri (Riri Riza), dalam produksi filem Gie (2005). Saya ingat, saat pertama kali sudah lengkap krunya, kita mulai berkumpul, itu artinya produksi awal. Ada sutradara, asisten sutradara, bagian production, pokoknya tim produksi lah, semuanya ada workshop khusus sendiri untuk membagi tugas. Jadi, kayak belajar lagi. Miles itu punya standar cara kerja. Ada yang sama dan tidak sama dengan yang diajarin di IKJ. Maksudnya, harus ada penyesuaian. Harus di-adjust gitu. Mungkin, keahlian yang diajarkan IKJ, memang gakgak apa ya? Gak tahu ya… Apa mereka ambil yang lama atau satu bentuk metode kerja saja. Dari siapa, saya gak tahu. Dan memang pada akhirnya semua yang ada di para pembuat filem, memang masih fleksibel, masih banyak yang gak sama standar dan cara kerjanya.

Hafiz: Yang lu hadapi waktu itu apa setelah pengalaman kerja?

Edwin: Saya cuma kerja dengan perusahaan yang bisa dibilang cukup gede, di Miles Film. Sebagai asisten sutradara, yang saya lihat adalah: Bagaimana ada kompromi antara hal yang realistis misalnya, keadaan lokasi. Permainan antara kompromi itu tetap untuk membuat suatu bentuk yang kita setujui. Saya belum pernah sih, mendapatkan yang desainnya A, jadinya A. Itu gak pernah. Selalu ada yang berubah-ubah.

Hafiz: Ketika gue wawancara Riri Riza, dia bilang industri punya ukuran-ukurannya sendiri. Misalnya, pasar, membaca audiens dan sebagainya. Produksi menjadi pertarungan atau pergulatan dan adaptasi dengan kondisi pasar. Misalnya pada filem Gie, kenapa memakai Nicholas Saputra? Apakah pilihan estetika atau pasar? Maksud gue, hal ini kan sangat wajar dalam konteks industri dengan kepentingannya. Tidak hanya ngomongin filem atau sinema saja. Tapi juga industri dan pasarnya. Lu ngalamin itu gak?

Edwin: Gak sih! Gak terlalu banyak ngobrolin tentang pasar atau lainnya. Kalau saya terlibat, lebih ke teknis. Mulai dari desain, membaca skenario, casting, lokasi, dan jadwal. Itu saja.

Hafiz: Lu pernah kerja sama dengan siapa saja?

Edwin: Dengan Riri doang, kalau di filem panjang.

Hafiz: Filem yang lain?

Edwin: Di video klip, macam-macam sih. Dengan Agung (Agung Sentausa—red) dan sama Lasja (Lasja Fauzia—red).

Hafiz: Bagaimana? Atau kritik lu terhadap mereka apa?

Edwin: Apa ya? Hehe… (tertawa kecil)…Gak ada sih. Menurut saya, mereka mengerjakan apa yang mereka suka. Kalau dilihat di video-video klip itu, saya melihat mereka dan saya menghormati mereka. Membuat saya betah dengan mereka adalah ketika sudah percaya sama apa yang mereka mau, mereka akan melakukan. Itu suatu bentuk kejujuran menurut saya. Saya sangat hormati itu.

Hafiz: Oke. Setelah keluar dari IKJ, lu membuat berapa filem?

Edwin: Filem Pendek.

01

Hafiz: Bisa cerita sedikit? Prosesnya, semacam yang lu bilang tadi, pemberontakan terhadap sekolah, setelah itu bagaimana?

Edwin: Setelah filem A Very Slow Breakfast adalah filem Dajang Soembi: Perempoean Jang Dikawini Andjing, 2004. Filem ini juga masih di masa kuliah. Juga bukan filem tugas. Filem Dajang Soembi: Perempoean Jang Dikawini Andjing dikerjakan bersama Sidi Saleh (sinematografer Babi Buta Yang Ingin Terbang). Sebenarnya, kita coba menawarkan ke IKJ untuk mempelajari proses lab (laboratorium) black and white manual. Karena menurut kita, itu mungkin banget dikerjakan. Saat itu, pakai filem mahal. Juga shooting dan prosesnya. Repotlah! Nah, pada Dajang Soembi itu, kita ngumpulin duit. Gak mahal. Kita juga dapat sponsor dari Bank Mandiri yang kantornya di depan IKJ persis. Untuk research bagaimana cara membuat filem pendek dengan filem 16 mm, black and white, dan memproses sendiri. Semua materi, kita beli lewat internet. Akhirnya, filem jadi, hasilnya kita laporkan ke IKJ, “ini hasil filemnya seperti ini, pengeluarannya sekian, sekian, cara bikinnya begini”. Terus kita berharap ini bisa diajarkan di kelas. Artinya, supaya mereka bisa membeli bahan yang lebih banyak lagi! Karena bahan yang kita belikan sedikit. Jadi, gak bisa macam-macam. itu motivasinya filem Dajang Soembi. Lalu, filem Kara, Anak Sebatang Pohon (2005). Filem ini semestinya karya filem ujian. Ujian akhir saya. Waktu melewati pembimbingan, semuanya beres. Cuma saya lupa kenapa gak lulus. Gak boleh ikut ujian. Jadinya, saya gak lulus dari IKJ.

Hafiz: Menurut lu kenapa?

Edwin: Saya lupa. Mungkin salah saya. Menurut mereka (IKJ), “salah” saya adalah telat ngumpulin laporan. Padahal udah jadi… Cuma telat berapa hari. Ini masalah disiplin saja. Lalu, ada satu dari pembimbing, yang mungkin gak puas dengan filem ini. Aspek rasionya 1:85, widescreen. Mereka bilang maunya 4 banding 3 (4:3). Yang biasa satu tiga-tiga (1:33). Saya gak suka. Gak mau ganti. Mungkin itu salah satu juga, Mereka sebel

Hafiz: Kenapa 4:3?

Edwin: Ada “tertulis”, katanya.

Hafiz: Katanya?

Edwin: Ada di bukunya katanya. Saya cek memang ada. Jadi, di poin pertama disebutkan aspek rasio 1:33. Di poin kelima atau keenam, bentuk filem, film form dan film style terserah, bebas. Film form kan berarti naratif atau non-naratif kan? Terus, film style termasuk di dalamnya sinematografi dan segala macam. Menurut saya, kalau sudah ngomongin filem style “bebas”, aspek rasio kan ada di dalamnya film style itu! Kenapa 1:33 diharuskan? Itu sudah sangat gak matching. Gak konsisten. Pokoknya, gak pernah dapat kesempatan untuk menjelaskan, kenapa saya gak mau mengganti 1:33 itu. Lalu, yang keempat adalah filem A Very Boring Conversation. Itu didorong oleh Sidi. Saya harus selesai kuliah, masih punya satu semester di IKJ sebelum bener-bener di D.O. (Drop Out). Masih punya satu tahun, saya coba ngerjain bikin filem lagi. Cuma, saya gak suka lagi untuk pembimbingan. Jadi, saya gak bimbingan. Jadinya, saya gak bisa ikut ujian. Akhirnya D.O.. Filem A Very Slow Conversation, saya tertarik bikin karena filem-filem saya sebelumnya selalu banyak tidak pakai dialog. Saya ingin belajar, bagaimana memakai dialog. Di filem ini semacam tantangan buat saya sendiri: Membuat dialog. Filem ini saya yang tulis sendiri, dibantu sama Daud Simolang, bercerita tentang perubahan dua karakter. Saya cuma merubah hubungan mereka berdua yang tadinya seperti ibu dan anak, lalu dalam 10 menit, berubah menjadi hubungan yang lebih dewasa. Buat saya, cukup berhasil. Lalu filem berikutnya, Hulahoop Soundings (2008). Filem itu dibuat karena diminta Rotterdam International Film Festival. Mereka membiayai dua filmmaker dari Belanda dan Indonesia. Dari Indonesia mereka pilih saya. Mereka minta membuat filem pendek Tribute to Coen Brothers (Joel dan Ethan David Coen). Saya gak tahu kenapa dipilih. Memang sih… Saya suka sama filem-filem Coen Brothers. Maka dibikin lah. Dan lagian dibayar pula. Lalu, filem Trip to the Wound (2007) yang masuk dalam Kompilasi 9808. Filem ini dibuat untuk mengisi waktu perjalanan kita (crew filem) dari Jakarta ke Surabaya, waktu shooting filem Babi Buta Yang Ingin Terbang. Terakhir, filem Roller Coaster (2010), yang masuk dalam Kompilasi Belkibolang. Di sini saya tertarik untuk mengeksplorasi… Lagi-lagi dua karakter. Bicara tentang persahabatan dan seksualitas.

Hafiz: Babi Buta Yang Ingin Terbang gimana?

Edwin: Pada filem Babi Buta… Jadi, saya punya kebiasaan menulis image-image, atau deskripsi image lah. Pendek-pendek. Semua filem-filem pendek saya itu, awalnya dari deskripsi pendek. Dan filem Babi Buta muncul dari kumpulan dari berbagai macam (deskripsi pendek) yang belum sempat saya filemkan. Filem ini dibuat dari tulisan-tulisan pendek, yang tadinya sama sekali gak ada hubungan. Misalnya, gadis makan petasan, perempuan makan petasan meledak, deskripsinya seperti itu saja. Lalu ada gambar. Tulisan  tentang anak kecil lempar-lempar batu ke lampu. Lampunya pecah. Kumpulan-kumpulan seperti inilah yang coba di-puter-puterin, “apakah punya makna?”. Jadi, ya… Babi Buta Yang Ingin Terbang. Memang gak semua dari situ. Akhirnya, saya harus menambahkan untuk mengikat. Menjadi sesuatu yang utuh. “Ini tentang apa sih?”. Filem Babi Buta itu, saya rasa terwujudnya memang banyak dorongan dari luar. Dari produser seperti Dede (Meiske Taurisia—red), dan Sidi (Sidi Saleh—red). Saya hanya punya 10 halaman skrip, tulisan-tulisan, dan kumpulan puisi, yang akhirnya kita develop bareng. Kebetulan juga, kita lagi mempertanyakan atau memperbincangkan identitas “ke-cina-an”. Saya orang keturunan Cina di Indonesia, Dede juga Cina, Panca (Herman Kumala Panca, editor Babi Buta Yang Ingin Terbang—red) juga Cina. Tapi, sebenarnya kita gak terlalu banyak ngobrolin masalah ini sama siapapun. Menariklah kalau di share. Di filem ini banyak dialog-dialog yang terjadi, Oh gitu ya…?. Saling mempelajari apa yang kita rasakan. Itulah yang jadi bahan baku yang paling utama untuk menjadi filem ini.

Hafiz: Bagi lu penting identitas itu?

Edwin: Menurut saya sih penting. Harusnya, kita tahu berdiri dimana. Artinya begini, yang membuat ini penting adalah sebelumnya saya tidak tertarik untuk ngomongin, atau bisa dibilang lebih banyak “mengingkari” lah. Gak jujur. Tapi sebenarnya, dari dalam hati, sebenarnya saya ingin tahu, apa yang terjadi? Apa yang saya rasakan ini perlu saya perjelas. Begitulah.

babibutababibuta-foto

Hafiz: Menempatkan posisi lu?

Edwin: Iya begitu. Tapi, sebenarnya saya gak terlalu peduli.

Hafiz: Tapi problem?

Edwin: Awalnya problem banget. Tapi, karena mungkin sistem survival yang dibangun berlebihan. Jadinya, naskah antara cuek dan apa. Mati rasa. Jadi, kalau sudah mati rasa, gak terlalu penting lagi, memang. Tapi, sebenarnya kan jadi membahayakan, kalau kita gak nyaman. Lama-lama mati rasa. Nah, filem ini, untuk dan tentang itu.

Hafiz: Jadi, semacam puzzle?

Edwin: Iya. Semacam dari pecahan-pecahan memori tentang perasaan-perasaan kecil yang tadinya jelas. Terus, lama-lama jadi gak jelas. Menghilang. Terus, cari-cari lagi.

Hafiz: Gue balik lagi ke filem-filem luGue pernah nonton filem lu… Yang ada di Kompilasi 9808 apa tadi judulnya?

Edwin: Trip to The Wound

Hafiz: Di Trip to The Wound dan gue nonton Babi Buta, ceritanya menjadi jelas hubungannya, tentang trauma. Apalagi di Trip to the Wound. Di Babi Buta ini pengen lu bongkar lagi, tentang trauma itu? Untuk mempertegas atau bagaimana?

Edwin: Iya. Sebenarnya, soal mempelajari lagi saja. Tadinya, ada pertanyaan yang belum selesai. Belum ketemu jawabannya, tapi sudah di-cut oleh sistem survival. Gak usah lah dipertanyakan yang gitu-gituan!, sampai 20 tahun gak ada jawaban apa-apa. Dan gak ingin bertanya. Sekarang, di Babi Buta pertanyaan itu dimunculkan kembali untuk mencari jawaban. Buat saya, jawabannya jadi penting. Mungkin bukan jawabannya yang terpenting tapi proses menghadirkan kembali pertanyaan itu. Dan ada jawaban yang muncul yang  bisa ditarik dari pertanyaan-pertanyaan yang dihadirkan kembali. Itu adalah hal penting.

Hafiz: Pertanyaan itu ada di dalam Babi Buta?

Edwin: Di dalam prosesnya, ada banget. Gak tahu di filemnya ada apa gak. Tapi, kalau di prosesnya ada, seharusnya di filemnya ada.

Hafiz: Karena nonton filem lu dari yang pertama. Bagi gue, ada loncatan-loncatan dalam satu persoalan. Pertama, loncatan tema. Kedua, loncatan estetika. Gue membaca lu seperti puzzle juga. Ketika gue membaca satu sutradara, ada konstruksi estetika dan tema yang punya persinggungan awal dari sutradara. Walaupun eksperimentasi berikutnya jauh lebih gila. Di filem-filem lu, semua puzzle-puzzle. Jujur saja, gua bilang ‘agak tersesat’. Gue membaca Edwin dengan cara apa? Misalnya, ketika menonton Trip to the Wound dan Babi Buta. Secara bangunan estetika, beda banget. Di Trip to the Wound, sangat linier, bicara trauma dengan luka. Di Babi Buta, sangat permainan simbolik. Si perempuan hadir sampai proses petasan di mulutnya, itu cara yang lain lagi. Ketika merujuk ke belakang, yang lu percaya apa? Kita pernah bicara ini waktu di Copenhagen, lu bilang, “kalau gue lihat filem gue yang dulu, gue ya bisa ketawa, gue bisa kelécéin”. Maksud gue, yang lu tertawakan itu apa? Gue mau tahu konteks membaca Edwin dirinya, sekarang.

Edwin: Ya… Terus terang saja gak terlalu mau tanyain pola filem, pattern-nya apa. Itu mestinya ada di situ.

Hafiz: Iya. Yang lu rasain apa? Misalnya, lu sangat suka dengan apa? Gambar? Tema? Mungkin itu bisa lu baca. Bukan pattern maksud gue. Seperti, “wah gaya gue begini!”. Gue juga gak bakal percaya dengan orang atau sutradara yang begitu. Kan gak bisa dikonklusikan dengan baku begitu. Dari lu sendiri apa?

Edwin: Apa ya? Melihat semua filem-filem itu, ada dua mungkin. Satu, yang sifatnya “intim”. Misalnya, filem Trip to the Wound, Roller Coaster, A Very Slow Conversation. Saya senang sekali. Bisa ngobrol. Karena membangun emosi hubungan itu susah banget. Ya… Intimacy. Ketika kita sudah ngomong intim, selalu muncul kecenderungan untuk sensual, dan erotis. Tapi, sensualitas itu tetap ada lucunya. Ada sesuatu yang shocking juga. Jadi, menurut saya, sensualitas harus dibangun dari macem-macem. Ditambah “ini” dan “itu”. Kedua, kalau dari dari image… Filem-filem seperti Kara, Breakfast, Babi, saya bekerja selalu dari satu image yang kuat. Misalnya, pada filem Babi Buta, gadis makan petasan. Itu gambar yang saya punya dari awal (sebelum produksi—red). Sama persis terjadi seperti di filemnya. Dalam filem Kara, ada patung McDonalds jatuh menimpa ibu-ibu. Dan dalam Breakfast, kopi yang diminum isinya ketombe. Image-image yang seperti mimpilah. Punya perasaan yang kuat. Tapi, gak terlalu punya makna yang bagaiman gitu.

Hafiz: Ya. Lu bicara semiotika filem. Kode visual yang lu hadirkan seperti; ketombean itu yang jatuh di kopi, patung McDonalds yang jatuh di ibu-ibu, dan petasan di mulut. Apa yang bisa dibaca dari kode? Gue bisa saja mengintepretasikan versi gue. Kan lu membebaskan. Tapi, apa sih sebenarnya dari lu sendiri? Ini bukan proses membuat, tapi proses menonton lagi gambar itu. Itu apa?

Edwin: Itu beda-beda sih.

Hafiz: Kalau sekarang? Kita kan bicara sekarang.

Edwin: Kalau sekarang….

Hafiz: Sebagai penonton. Walaupun nonton karya lu sendiri.

Edwin: (Tersenyum) Kalau sekarang apa ya? Misalnya, ketombe di minum, gak ada makna-makna yang lain sih. Kalau dulu mungkin panjang perasaannya (maknanya—red). Kalau sekarang cuma, “waahhh..”. Shocking aja. Ya… Memang gak enak di tenggorokan. Perasaan yang seperti itulah yang hadir. Bukan arti lagi. Secara literal bisa. Bukan keluar dari kata-kata, tapi… Menonton filem-filem saya lagi, kalau diartikan, memang lucu jadinya. Dulu mungkin berarti, waktu membuatnya. Sekarang, saya masih melihat itu sebagai sesuatu yang menarik, tapi bukan dari artinya, verbal, atau montase dari editing-nya, tapi image-image itu.

Akbar: Kalau bisa dikategorikan, lu adalah sutradara independen. Di luar industri. Bagaimana cara lu berkarya dan bertahan dalam jalur itu?

Edwin: Kalau produksi filem pendek, semuanya dari duit sendiri. Duit sendiri dari mana? Macam-macam, Saya masih ngerjain di bidang audio-visual. Saya tidak mendapatkan duit dari filem. Ada funding-funding untuk filem. Funding dari luar negeri, yang biasa membiayai filem panjang,

Akbar: Menurut lu, para filem maker di Indonesia mungkin gak ngikutin track yang sama dengan lu?

Edwin: Kalau begini terus agak susah. Maksudnya, kalau cuma mengandalkan duit sendiri dan duit funding. Ya… Bisa-bisa saja. Cuma tergantung, mereka mau ngasih duit apa nggak? Gak bisa dipastikan. Gak ada jaminan. Misalnya, saya ingin ikut lagi membuat filem untuk dapat funding lagi, belum tentu juga.

Akbar: Itu pilihan atau gimana?

Edwin: Pilihan? Sebenarnya, hampir dibilang bukan pilihan. Karena memang sudah gak ada pilihannya lagi. Yang saya tahu, bisa maksimal di filem pertama dan di filem kedua saya dari funding-funding ini. Karena kebanyakan funding itu memang tertarik ngasih ke karya-karya yang pertama atau yang kedua dari seorang filmmaker. Jadi, saya maksimalkan itu saja dulu. Saya berharap ke depan, saya bisa lebih mandiri lagi. Nah, itu saya masih belum tahu gimana. Tergantung pada filem kedua saya ini.

04

Hafiz: Masalah pilihan tadi, apa benar lu gak ada pilihan lain? Di industri kan memberikan pilihan?

Edwin: Maksudnya bikin filem seperti di Indonesia pada umumnya? Itu sih bukan pilihan. Maksudnya, saya tidak akan memilih bikin filem yang ada di Indonesia pada umumnya sekarang ini.

Hafiz: Kenapa?

Edwin: Bukan keahlian saya saja. Gak cocok.

Hafiz: Dalam artian apa nih… Gak cocok?

Edwin: Selera.

Hafiz: Ini pertanyaan paling basic, bagi lu, filem apa sih? Sinema itu apa?

Edwin: Filem ya? Filem itu seperti mimpi. Sangat bebas diterjemahkan, Gak diterjemahkan juga gak apa-apa. Dia “ada” tanpa kita sadari. Tanpa kita minta, dia “ada”. Menyenangkan ketika kita menonton atau merasakan sebuah mimpi di luar kontrol kita. Filem mestinya permainan antara imajinasi-imajinasi yang ada ekspektasinya juga. Tapi, juga bisa gak ada sama sekali. Filem mau se-mainstream apapun, seperti  Hollywood, kan sebenarnya cuma permainan antar ekspektasi. Jagoannya diharapkan berhasil, tapi ternyata (gak jelas) kayak apa. Permainan ekspektasi yang dikaburkan dengan berbagai macam cara. Filem dan mimpi semacam jenis yang sama.

Hafiz: Ada gak, sutradara yang menginspirasi lu?

Edwin: Kim Ki-duk (Korea Selatan) saya suka! Dia salah satu sutradara idola. Masih hidup, masih bikin filem. Menurut saya, dia bermain-main dengan dunianya sendiri. Dengan cara apa? Seperti mimpi. Filem pertama dari Kim Ki-duk, The Isle (2000). Sekitar 10 tahun yang lalu mungkin, salah satu filem yang bermain dengan image saja, tanpa banyak dialog, bermain dengan perasaan yang menyakitkan tapi gak sekedar menyakitkan.

Hafiz: Gak serampangan lah.

Edwin: Nah begitu. Itu salah satu jagoan saya.

Hafiz: Yang lain?

Edwin: Yang lain? Banyak pasti. Saya nonton filem itu, kadang benar-benar cuma senang dengan salah satu shot saja. Tonton lagi, ganti shot yang lain yang suka. Jadi lebih seperti itu. Jarang ngeliat satu filem utuh yang benar-benar bisa nempel artinya apa itu. Jadi, memang seperti puzzle. Puzzle itu juga image-image tertentu yang saya ambil. Senang sekali saya nonton 10 menit. Di tengah-tengah hilang. 10 menit gak ada apa-apa itu, asik sendiri di kepala. Terus, nyambung lagi ceritanya.

Hafiz: Oke. Gaya filem yang seperti lu kan jarang, yaitu yang menggunakan bahasa kayak puzzle. Menurut lu, arah dari filem kita itu ke mana? Kalau kita bandingkan, apa yang lu lihat?

Edwin: Arah filem kita? Ya, gak kemana-mana, sih! Masih jalan di tempat! Bahkan agak jauh terlambat. Sedih sih, saat membandingkan dengan yang saya lihat banyak di festival-festival (internasional).

Hafiz: Misalnya?

Edwin: Nah, misalnya di festival filem dokumenter, saya datang ke festival filem dokumenter di Copenhagen kemarin (CPH:DOX 2011), perdebatannya sudah bukan lagi, “filem dokumenter harus seperti apa?”. Terserah mereka saja. Kalau dia merasakan dokumenter, ya… itu. Bahkan bisa dibilang sudah gak ada lagi bilang, “dokumenter dan fiksi”. Hanya filem! “This is cinema”. Habis di situ! Kalau di sini, dokumenter harus begini dan begitu. Kita senang dengan pengkotak-kotakan, ke aturan-aturan yang sudah gak terlalu relevan lagi. Filem Indonesia sepertinya masih senang begitu. Kenapa ya? Kurang sejalan dengan perkembangan, misalnya teknologi. Teknologi itu pilihannya banyak banget. Kita merekam filem dengan filem 35mm, sampai handphone yang paling kecil. Macam-macam resolusi yang ada. Tapi filem yang hadir di Indonesia cuma itu-itu saja, gak ada eksplorasi yang sejalan dengan perkembangan teknologi. Karena perkembangan itu kan bisa dilacak dengan perkembangan apa yang berhubungan. Kalaupun di sini gak ada sekolah filem yang bagus, gak bisa dihubungkan dengan sekolah filem… Oke lah. Tapi kita kan senang banget dengan teknologi. Kalau ada barang baru, pasti tahu! Tapi hasilnya sama. Ini kesedihan.

Hafiz: Kenapa?

Edwin: Ya… Karena gak berkembang.

Hafiz: Ya, Gak berkembang kenapa?

Edwin: Banyak sih. Mungkin karena pendidikan. Karena kurang melihat, Kurang dibebaskan dan kurang percaya diri. Percaya diri itu ternyata penting sih.

Hafiz: Percaya diri karena harus ada eksperimentasi….

Edwin: Betul! Maksudnya, Gak dianggap gila kalau gak takut dianggap gila. Atau menganggap ada orang lain yang menganggap gila, Itu penting lah! Maksudnya mungkin kebanyakan agak terlalu anti sama personalitas dalam sebuah filem. Itu juga sesuatu yang menghambat. Terserah deh… Mau bikin filem untuk banyak orang, Tapi mau gak mau semuanya ada di pembuatnya. Ada semacam personalitas yang hadir dalam sebuah karya. Gak akan bisa dipungkiri. Jadi sebenarnya buat apa juga kalau takut menghadirkan dirinya sendiri di sebuah filem.

Hafiz: Kalau sutradara menurut lu apa?

Edwin: Sutradara?

Hafiz: Ya. Tadi kan lu ngomong soal persoanalitas. Yang ideal menurut lu?

Edwin:Filmmaker” lah disebut yang paling enak. Idealnya? Gak tahu sih. Ideal, mestinya dilihat dari filem-filem yang hadir. Mungkin saya lebih enak kalau omongin filem Indonesia. Saya berharap. Oke lah, gak usah yang eksperimental banget lah. Tapi jangan yang terlalu “filem kebanyakan”. Saya bosan dengan (filem) yang mendidik, terlalu mendidik, mendidik-mendidik… Yang ngasih tahu: “Ini baik!”. Oke lah, ngasih tahu bahwa kita butuh sistem demokrasi yang baik, ya… Semua orang juga tahu itu. Tapi bagaimana “menampilkannya”, itu juga penting. Bukan cuma sekedar memberikan informasi. Saya masih melihat filem-filem Indonesia yang dibilang baik itu, cuma sekedar memberikan informasi. Seakan-akan informasi adalah yang paling penting dalam sebuah filem. Tidak ada “kepercayaan” pada bahasa. Tidak ada “kepercayaan” terhadap eksplorasi perasaan. Tidak ada “ruang” untuk abstrak. Itu gak tahu itu kenapa. Gak terlalu banyak bacot.

Hafiz: Apa itu karena pengetahuan?

Edwin: Gak juga sih. Banyak juga orang yang pinter-pinter, tapi hasilnya ya… Gini-gini aja. Ya… Senang memberikan informasi. Yang punya interest untuk tidak memberikan informasi, dianggap tidak penting. Tapi kalau dianggap tidak penting, seharusnya tidak mematikan orang yang mau bikin juga. Harus tetap bikin.

Hafiz: Dari cara lu sebagai filmmaker, setelah gue lihat, lu memainkan tradisi auteur, di mana otoritas ada di sutradara. Sutradara punya otoritas dalam soal eksperimentasi,  interpretasi dan lain sebagainya.

Edwin: Bener sih. Auteur sebenarnya cuma satu kata yang juga perlu dipertanyakan. Kalau bikin filemnya masih orang banyak sih. Malah susah dibilang auteur. Kalau mau dibilang sebagai auteur, bikin sendiri saja semuanya. Main filem sendiri. Pasang kamera sendiri, musik sendiri. Semuanya sendiri dan ditonton sendiri (tertawa kecil). Mungkin itu kata-kata yang “asik” saja untuk dijual sebagai teori. Untuk membuat filem menjadi keren dan dianggap penting. Auteur theory kan zamannya New Wave (Prancis 1950 an) itu, ya? Mereka itu ngasih penekanan bahwa, “filem ini bukan cuma hiburan, tidak sekedar cuma Hollywood”.

06

Hafiz: Bukan hanya soal hiburan?

Edwin: Ya bukan.

Hafiz: Seharusnya?

Edwin: Seharusnya? Ya… Mimpi! Seharusnya tidak bisa dengan mudah bisa disebut sebagai hiburan saja.

Hafiz: Mimpi atau fantasi? Mimpi atau imajinasi?

Edwin: Saya lebih suka menyebutnya mimpi. Karena mimpi itu lebih tidak sadar. Imajinasi itu kadang-kadang kita masih bisa memutuskan untuk berhenti. Misalnya, lagi ngelamun, khayal apa, ya sudahlah bisa di stop. Mimpi gak bisa di stop. Saat kita tidur, bangunpun kita juga gak tahu kenapa kita bangun.

Hafiz: Kalau lebih agak serius, lu lebih dekat dengan teori psikoanalisa. Atau di dalam seni, adalah surealisme.

Edwin: Gak tahu, fiz. Saya kan gak lulus! (tertawa kecil)

Hafiz: (tertawa kecil), Gue kan menonton beberapa filem surealisme dan membaca teori psikoanalisa. Kita kan sering orang menerjemahkan surealisme hanya sekedar mimpi. Padahal dalam teori surealisme adalah membuat shock realitas dan society dengan mimpi-mimpi yang dia terima. Mimpi itu sebenarnya rekaman realitas yang tak sadar hadir di kepala. Ketika “dilempar” ke society, ini membuat kejutan dan semacam kejutan visual dan imajinasi. Lu dimana?

Edwin: Asikan yang tadi itu…

belkibolang_roller

Hafiz: (tertawa) Karena ini politis banget soalnya. Gerakan surealisme itu kan sangat politis. Tidak sekedar berhenti ngomongin di tingkat estetika. Salah besar kalau surealisme hanya ngomongin mimpi-mimpi doang. Nah, karena lu sangat suka dengan itu, berarti gue tanya, hal yang paling politis dari lu apa?

Edwin: Politis gimana maksudnya?

Hafiz: Ya… Misalnya menghadirkan “petasan di mulut” atau menghadirkan “McDonalds jatuh”, konteks politiknya apa?

Edwin: Politik itu kan sebenarnya sikap ya?

Hafiz: Sikap terhadap publik…

Edwin: Ya. Apa ya? Di filem-filem itu pasti ada sikap-sikap yang cukup jelas. Harus diceritain, fiz?

Hafiz: Maksud gue, “kejutan” yang lu bangun misalnya. Kan sangat cémén kalau hanya untuk sekedar membuat, mengimajinasi penonton, gak enak melihat itu. Misalnya, ketombe yang jatuh di kopi atau petasan di mulut, kan bukan sekedar itu kan? Motifnya apa? Politis?

Edwin: Ya… Sebenarnya… Bener sih, itu. Gak asik aja”.

Hafiz: Begini, ada image-image yang lu hadirkan ke publik. Ini realitas masyarakat begini? Lu melihat kondisi realitas masyarakat disejajarkan dengan image yang lu hadirkan itu apa? Kalau kita lihat dengan cara politis.

(Lama terdiam)

kara-anak-sebatang-pohonkara-anak-sebatang-pohon-2

Edwin: (Tertawa) Panas nih. Tunggu ya.

Hafiz: Lu gak boleh ngerokok lagi sih sekarang.

Edwin: (Lama terdiam) Gak tahu ya… Fiz. Jawabannya apa ya? Memang sejujurnya saya banyak bikin filem, lebih ngikutin insting. Hal-hal di luar kesadaran. Bukan sengaja bikin gambar petasan untuk ngagetkan orang, Gak sih! Tapi, yang saya percaya bahwa penonton kita itu harusnya “dirangsang” lah, untuk menggunakan otak yang nggak biasa mereka pergunakan. Selalu sama selama ini. Kalau nonton, selalu logika. Jadi, lebih senang kalau penonton kita itu gak masuk di logika, tapi di mata “nempel”. Saya yakin, yang saya kerjakan adalah itu. Memastikan bahwa gambar itu nempel. Sesudah gambar itu nempel, terserah otak mereka mau ngapain.. Yang paling ideal adalah mereka akan bekerja keras dan menghadirkan memori-memori yang berkaitan dengan gambar itu. Dialog antara gambar dan orang-orang itulah yang paling penting. Gak tahu apa itu politis atau tidak. Saya juga gak terlalu banyak memotret masyarakat. Saya cuma menghadirkan apa yang saya rasakan saja. Sangat personal memang. Apa yang saya tahu saja. Masyarakat apa ya? Keluarga dan teman? Sejauh televisi itu media yang paling luas, masyarakat dalam konsep saya itu bukan sesuatu yang banyak. Atau sesuatu yang masih image. Selalu image. Ide yang disebut tadi, misalnya surealisme, mimpi yang sebenarnya, mimpi hadir dari kenyataan. Ya… Tetap ada hubungannya dengan kenyataan. Masing-masing orang itu punya karakter sendir. Image-image itulah yang merepresentasikan kenyataan ini. Nah, ketidaksadaran itulah yang sebenarnya yang saya coba hadirkan lewat filem. Ketidaksadaran dari memotret kenyataan. Oke, kenyataan bisa kita sebut masyarakat atau kenyataan Indonesia. Tapi, kepedulian saya terhadap Indonesia sangat terbatas. Misalnya, kepedulian saya terhadap SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), saya tidak terlalu ingin menanamkan itu ke banyak orang. Itu sangat personal buat saya. Tapi yang ingin saya kasih ke orang lain sebenarnya adalah pandangan terhadap SBY, “segini” misalnya. Itu diolah, bagaimana caranya hadir seperti mimpi dalam filem, dikasih ke orang lain. Sebelumnya, SBY ada di dalam mimpi saya, pindah ke orang lainnya seperti apa? Begitu.

Hafiz: Bagi gue, surealisme, atau pun yang dikatakan lu, mimpi, dihadirkan kembali, selalu ada motive critical-nya pada realitas. Motive critical inilah yang wilayah politis. Misalnya, filem Luis Buñuel dan Salvador Dalí, Un Chien Andalou, ketika diputar, terjadi kerusuhan. Ada pameran-pameran lukisan dibakar, waktu pemutaran perdana. Karena image dalam filem itu dianggap provokatif. Melecehkan Gereja. Buñuel dan Dalí membuat seperti mimpi yang lu jelaskan tadi. Di Un Chien Andalou, ada adegan pastor yang di-seret-seret, tiba-tiba ada piano, ada kuda dan lain-lain. Ketika image itu dihadirkan di society, waktu itu di Paris, terjadi kejutan seperti ledakan. Filem itu pun dilarang. Cukup lama. Daya kritik surealisme dan daya kritik mimpi, yang dipakai dalam filem-filem lu sekarang itu kan punya daya kritik yang sangat besar dalam konteks terhadap realitas. Dalam wawancara ini gue pengen tahu itu. Apakah dia punya daya ktirik itu? Lu sudah menyebutkan tentang trauma tadi. Bahwa lu ada trauma itu. Tapi, apakah motifnya bisa gue posisikan sama dengan apa yang dilakukan Buñuel dan Dalí?

Edwin: Gak tahu sih. Saya rasa sih gak sama. Mungkin Buñuel gak tahu juga bikinnya. Apakah sadar akan membuat orang lain jadi apa. Misalkan tentang melecehkan itu, akan menimbulkan reaksi, sadar apa gak?

Hafiz: Itu sebenarnya kan bukan sekedar melecehkan. Dalí punya mimpi dan Buñuel punya mimpi. Dan ini yang digabung. Kan bikinnya berdua. Itu kan semacam puzzle-puzzle yang lu maksud tadi. (Tertawa kecil)

Edwin: (Tertawa kecil) Tapi kalau dari omongan lu ini kan berarti si Buñuel dan Dalí cuma memfilemkan mimpinya, kan?

Hafiz: Tapi dia kan punya kesadaran politis ketika membuat itu.

Edwin: Yaaa kesadaran politis itu. Emang kenapa dia mau bikin filem berdasarkan mimpi? Kalau saya cuma merasa penting untuk memfilemkan sesuatu seperti mimpi. Bukan mimpi yang difilemkan. Mungkin beda. Saya gak pernah bermimpi tentang gadis pemakan petasan. Tapi di filem ada. Bentuknya seperti mimpi. Kayaknya ada sedikit perbedaan deh… Antara surealisme dengan filem-filem saya.

Hafiz: Cerita sedikit dong tentang filem lu yang sekarang…

Edwin: Postcards From The Zoo?

poscards1

Hafiz: Iya.

Edwin: Postcards From The Zoo ini ceritanya tentang anak kecil yang ditinggalkan bapaknya di kebun binatang. Lalu, dibesarkan oleh orang-orang yang ada di Kebun Binatang, kerja di situ, tinggal di situ sampai umur 20 tahunan. Dia ketemu dengan tukang sulap dan diajak keluar dari Kebun Binatang, melihat Jakarta. Lalu, ditinggalkan lagi oleh si laki-laki ini. Sendirian di Jakarta dan bekerja di Spa, bertemu dengan beberapa orang laki-laki yang menurutnya sama seperti dia: Orang yang butuh disentuh. Lalu, dia pulang lagi ke Kebun Binatang untuk ketemu sama Jerapah, temannya. Dia santai dulu, pengen pegang perut Jerapah yang gak bisa-bisa. Tapi sekarang dia bisa. Ceritanya seperti itu. Bentuknya cukup linier dan naratif. Cukup banyak informasi yang gak ada, namun tetap ada hal-hal yang hilang. Alasan kenapa dia ditinggal oleh bapaknya, alasan kenapa dia di tinggalkan oleh ‘cowboy’ (tukang sulap di Postcards From The Zoored), alasan kenapa dia balik ke Kebun Binatang, gak ada juga. Banyak alasan-alasan yang memang tidak dihadirkan di situ.

Hafiz: Kenapa tidak ada alasan?

Edwin: Karena tidak penting lagi di situ, kita omongin alasan. Artinya begini, saya melihat filem itu selalu yang dipertanyakan adalah “kelogikaannya”. Filem bagus karena semua dapat dijawab, itulah kebanyakan filem yang dianggap bagus. Nah, di filem ini saya cuma mau ngasih lihat yang intinya saja, bahwa dia ditinggalkan. Dia itu “kehilangan” tanpa perlu tahu alasannya apa. Seharusnya penonton juga harus bisa menerima itu. Karena ketika kita bertemu dengan orang lain atau teman misalnya, yang kehilangan sesuatu. Kehilangan orang tua, meninggal, hak dia mau cerita atau gak meninggal karena apa. Kita gak punya hak untuk memaksa dia bercerita. Tapi, kita harusnya bisa juga merasakan rasa kehilangan itu tanpa harus tahu sebabnya. Ya itulah, kebanyakan informasi-informasi yang hilang adalah alasan-asalan itu, seputar kehilangan. Filem ini banyak bercerita tentang rasa kehilangan.

Hafiz: Harapan lu sama filem semacam ini apa?

Edwin: Harapannya?

Hafiz: Kan ada beberapa orang gue tanya, misalnya dulu ketika lu memutar Babi Buta, “gimana filem Edwin?”. Mereka bilang, “biasalah Fiz, aneh-aneh gitu!”. Terminologi “aneh-aneh” itu kan di telinga gue juga gak mengenakkan. Bagi gue keanehan itu kan pasti ada logika yang bisa dibaca. Menurut lu gimana?

Edwin: Ya… Mudah-mudahan gak dianggap aneh. (tertawa kecil)

Hafiz: (Tertawa)

Edwin: Kalau yang awal, biasalah gak wajar ngelihat nya. Maksudnya, gak biasa nonton yang kayak Babi Buta, ya… Dibilang aneh. Gak apa-apa juga. Cuma saya bikin filem berikutnya, dengan cara yang sama, dengan konsistensi yang boleh dibilang sama bentuknya, naratif dan linier. Seharusnya sih… Orang-orang  bisa bilang lebih dari sekedar aneh.

Hafiz: Apa misalnya?

Edwin: Misalnya ya… Apa kek, sedih, yang lebih sederhana daripada aneh. Kalau aneh kan lebih kompleks. Filem kan cukup kompleks. Ada kata-kata yang simple, yang bisa di over ke orang lain, biar orang lain mau nonton.

Hafiz: Satu lagi, harapan lu pada sinema Indonesia apa?

Edwin: Sinema Indonesia! (tertawa kecil) Gak banyak sih. Tapi kalau mau berharap lebih, ya… Sistem pendidikan filem lebih bagus. Pengajarnya lebih macem-macem background –nya. Mahasiswa jangan terlalu banyak, penyaringannya lebih ketat. Lalu apa ya… Jangan mahal-mahal tapi fasilitas lengkap, perpustakaan, akses terhadap referensi buku dan filem itu lebih terjangkau. Sistem distribusi mesti lebih dipikirinlah. Jangan cuma twenty one (Bioskop 21—red) saja yang jadi tulang punggung nasib perfileman Indonesia. Sensor juga harus dihapuskan, dan kayaknya harus lebih serius ngomongin censorship ini. Lebih punya sikap! Mungkin itu harapan kepada para filmmaker.

Hafiz: Filem lu disensor gak?

Edwin: Gak…! Ngapain? Sensor tidak perlu ada di Indonesia.

Hafiz: Kenapa?

Edwin: Karena sudah gak perlu ada. Maksudnya sudah bukan lagi kenapa. Sudah harus gak ada! Kalau gak salah, buku juga udah gak ada kok. Kenapa buku gak ada, filem ada?

poscards2

Hafiz: Lu selama ini buat filem feature, pembiayaannya kan dari luar (negeri). Lu berharap dari sini gak?

Edwin: Dari sini? Iya dong…!

Hafiz: Bagaimana?

Edwin: Ada funding yang jelas dari pemerintah. Ya… Kalau saya bisa dapat 1 miliar dari Italia, masak dari negara sendiri gak ngasih apa-apa sih? Ya… keterlaluan juga sih. Mesti ada lembaga-lembaga yang jelas. Membuat filem Indonesia itu punya kedudukan yang terhormat. Kalau di sini sudah jelas, karena dunia pasti akan dilihat. Akan sangat membantu, ketika kita punya organisasi yang kredibel. Bisa dipercaya. Misalnya, kita mau bekerjasama, seperti filem-filem yang saya, sebenarnya bukan saya saja yang bikin kayak begini. Kalau kita lihat, di Yogya sebenarnya banyak orang yang pengen bikin, yang “bermain-main” dalam bentuk (filem). Artinya, ini kan harus ditanggapi serius sama pemerintah. Harus gimana nih? Yang lain kan nantinya bisa bikin filem juga. Kalau dari luar negeri skemanya sudah cukup jelas. Contohnya, kalau untuk first and second film, banyak funding yang men-support filem negara-negara dunia ketiga. Ketika ada support dari pemerintah lokal, Indonesia misalnya, berapa persen, itu akan jadi lebih enak lagi skema financing yang  melibatkan luar negeri itu.  Oke lah… untuk membiayai satu filem yang kecil dan tingkat komersialismenya sedikit seperti ini akan menimbulkan rugi. Filem harus dilihat jangka panjang. Investasinya harus dilihat gak masalah uang. Lebih kayak kita bikin Candi! Apa hubungannya bikin candi dengan komersial? Gak ada untungnya secara komersial.

Hafiz: Ada pertanyaan gak buat gue?

Edwin: Lu berharap apa dengan membuat Jurnal Footage?

Hafiz: Biar bisa belajar dengan para filmmaker. Mendapatkan pengetahuan, biar tahu bagaimana cara bikin filem yang bener.

Edwin: Menurut lu, itu cukup orang belajar dari kita? Maksudnya dari metode…

Hafiz: Ya… pasti gak cukup lah. Ya minimal kita ngasih “pintu” saja. Balik ke estetika filem lu. Filem-filem lu kan banyak menghadirkan banyak kode-kode simbolik, seperti yang tadi kita bahas, dia hadir menjadi semacam puzzle yang lu susun lagi. Gue mau tahu, apa sih sejarah visualnya? Maksudnya, sejarah antropologis dari puzzle-puzzle itu. Begini, karena lu gak mau menjawab hal yang politis tadi… oke. Di Babi Buta gua melihat perempuan dengan petasan di mulut, itu sudah pasti ngomongin hal critical. Sesuatu yang sadis, sadis dalam arti peristiwa yang lu hadapi. Tapi di dalam filem itu, gue gak melihat sejarah visual dari peristiwa itu. Mungkin gue luput, “sejarahnya” ketika petasan itu menjadi kode. Bukan sebagai petasan, melainkan sebagai makna. Karena dia hadir tiba-tiba saja. Dalam montase kan ada sejarah yang menghadirkan dulu kode-kodenya hingga dia menjadi klimaks. Di sini kan seperti tiba-tiba ada. Mungkin lu bisa cerita sedikit. Kemudian tokoh-tokohnya, kritik gue, cara lu mengkaitkan puzzle-puzzle itu dalam bercerita (storytelling), gak seimbang. Gak seimbang dalam artian antara gambar dan imajinasi lu, yaitu imajinasi dengan petasan. Gue mau tahu sejarahnya.

Edwin: Sebenarnya, petasan ada sih. Dalam filem memang gak dijelaskan. Lu benar… memang itu tiba-tiba ada. Ada semacam… saya juga gak terlalu senang, kalau terlalu banyak kode-kode yang dijelaskan dulu. Ini dan itu apa artinya. Jadi bahasa yang jelas lagi, kalau montase kodenya jelas. Ya… ada. Mau tahu hubungannya, cuma masalah mau cari tahu apa gak? Petasan itu apa? Simple-nya, kalau lu tertarik dengan petasan kenapa ada di mulut, dan petasan itu apa? Lu bisa googling sejarah petasan. Ada petasan buat kebudayaan Cina, untuk mengusir setan. Mengusir roh jahat. Itu sebenarnya macam-macam. Saya gak terlalu tertarik menanamkan arti sebuah simbol dalam sebuah filem. Karena namanya juga simbol, pasti banyak interpretasi. Nah, simbol itu akan disepakati artinya apa. Tapi itu sebenarnya penyederhanaan saja. Tetap simbol dan tanda-tanda itu bisa dianggap bebas.

Hafiz: Misalnya di filem La Strada (Federico Fellini, 1954), tiba-tiba saat Gelsomina ditinggal oleh Zampano, ada kuda lewat. Kehadirannya tiba-tiba ada saat Gelsomina sendiri. Tapi, dalam soal ini kita bisa merujuk pada konteks sejarah Roma atau Romawi, seperti juga sejarah petasan tadi. La Strada kan memang bicara tentang sejarah Romawi, sirkus jalanan. Secara intuitif tidak terdeskripsikan Fellini, cuma begitu saja, “kok tiba-tiba ada kuda?”. Di kasus filem lu kan gak jelas. Mungkin gue luput. Gak muncul di dalam pikiran. Gak kebangun saat hal sangat dramatis hadir. Ya… itu kritik gue saja. Bukan berarti lu harus deskripsikan. Mungkin terkait dengan cara lu membangun storytelling-nya.

Edwin: Kalau di La Strada deskripsinya jelas kan, tahu-tahu ada, “apaan nih?”. Dan lu merasa itu sebagai simbol. Kalau di Babi Buta kan tidak naratif. Semuanya acak. Jadi semuanya gak ada yang spesial kalau gak ada yang berteriak, “eh lu perhatiin ini loh!”.

Hafiz: Kenapa filem Trip to The Wound begitu sangat beda?

Edwin: Bedanya dimana?

Hafiz: Beda dalam artian “bahasa”.

Edwin: Kalau bahasa sih macam-macam. Saya lebih senang meng-explore bentuk yang beda-beda. Gak mau terus-terusan sama kayak Babi Buta atau Kara, Anak Sebatang Pohon.

Hafiz: Kecuali Trip to the Wound? Semua pakai filem ya?

Edwin: Cuma Kara, Dajang Soembi, BreakfastVery Slow Conversation, filem-filem pendek yang pake filem.

Hafiz: Yang gak pakai filem?

Edwin: Hulahoop dan Trip To The Wound.

Hafiz: Mayoritas pakai filem?

Edwin: Iya.

Hafiz: Kenapa?

Edwin: Karena gak terlalu bisa mengikuti digital sih. Perkembangannya cepet banget. Gak bisa dipercaya sebagai teknologi. Terlalu fleksibel. Buat saya, filem saya itu sudah cukup kemana-mana dan fleksibel sebagai bentuk. Kalau mediumnya juga gak bisa “dipegang”, gak habis-habis. Kalau filem ada batasan. Maksudnya, kalau kita shooting, apa yang kita shoot begini jadinya apa. Saya lebih senang begitu. Gak usah diapa-apain lagi. Filem, begitu filem… dari negatif jadi, negatif cutting… sudah… beres.

07

Hafiz: Romantik sama filem (seluloid)?

Edwin: Gak sih. Cuma itu saja, teknis yang memang harus dipenuhi. Gak terlalu bisa fleksibel. Saya suka filem itu. Salah hitung rusak. Gak bisa dibenerin. Bagus ya bagus.

Hafiz: Terakhir, boleh gak kasih tahu tips dan trick, untuk survival di filem?

Edwin: Tips and trick? (tertawa kecil) Gimana ya? ‘Konsisten’ sebenarnya penting. Bikin filem memang kita harus punya duit sendiri dari kerjaan lain. Maksudnya, jangan terlalu berharap bisa dapat duit dari filem, selama kita hidup di negara yang tidak terlalu supported ini. Mau dapat duit dari filem? Ya… bikinlah filem-filem seperti yang ada sekarang di bioskop. Kalau gak suka dengan filem-filem seperti itu, jangan berharap untuk bisa hidup dari filem. Ya… kerjalah di sinetron, iklan, video klip dan lain-lain. Selebihnya, ngumpulin duit itu sudah “harus”. Konsisten dengan “bentuk” yang kita percayai. Teruslah bikin. Jangan juga lupa untuk di pertontonkan. Di lokal (Indonesia) dan luar (internasional) juga. Di festival yang ada sistem funding-nya, apply! Untuk filem panjang ada badan funding yang cukup jelas. Jangan tanggung-tanggung sih. Harus yang “jedueeer!” gitu. Kesempatannya cuma sekali, bikin filem pertama. Saya gak percaya, bikin filem yang bisa hasilkan duit dulu. Di kepala ternyata gak di situ. Kalau memang mau bikin yang komersil, itu sih menurut saya bisa belakangan. Yang pertama ini (filem pertama) yang butuh energi banyak. Filem pertama justru yang personal. Minimal, filmmaker harus bikin yang personal sih, untuk menghadirkan pertanyaan-pertanyaan. Kalau gak, pasti sakit. Selebihnya, mau bikin buat komersial atau apa, terserah!


Tentang Edwin
Edwin, lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 24  April 1978. Menyelsaikan diploma (D3) Desain Grafis Universitas Kristen Petra Surabaya, dan tidak menyelesaikan pendidikan filemnya Institut Kesejenian Jakarta. Pada tahun 2005, karyanya berjudul Kara, Anak Sebatang Pohon masuk dalam sesi  Director’s Forthnight pada Festival Film Cannes di Perancis. Pada tahun yang sama filem Dajang Soembi, Perempoean Jang Dikawini Andjing, Juara Kedua  filem pendek pada festival Jiffest Short Film Competition 2005. Pernah menjadi partisipan dalam Berlinale Talent Campus, Berlin Film Festival, Jerman. Mengikuti Asian Film Academy, Pusan Film Festival, Korea Selatan. Trip to the Wound diundang pada sesi kompetisi Clermont-Ferrand, Perancis. Hulahoop Soundings merupakan proyek yang dibiayai oleh Rotterdam Film Festival  dalam program “Meet the Maestro”, sebuah program Tribute untuk Coen Brothers” (Joel dan Ethan Coen—red).

Filemografi
2002: A Very Slow Breakfast (16mm, 5 mins 40 secs)
2004: Dajang Soembi: Perempoean Jang Dikawini Andjing (Dajang Soembi: The Woman who is Married to a Dog) (16mm, 7 mins)
2005: Kara, Anak Sebatang Pohon (Kara, Daughter of a Tree) (35mm from 16mm/DV, 9 mins)
2006: A Very Boring Conversation (16mm, 9 mins)
2006: Nyanyian Negeri Sejuta Matahari (Songs from Our Sunny Homeland) (video documentary, 63 mins)
2007: Trip to the Wound (mini-DV, 7 mins)
2007: Misbach, Di Balik Cahaya Gemerlap (video documentary, 35 mins)
2008: Hulahoop Soundings (mini-DV, 7 mins)
2008: Babi Buta Yang Ingin Terbang (Blind Pig Who Wants to Fly)
2010: Belkibolang (salah satu Episiode)
2011: Kebun Binatang (Postcards From The Zoo)

Penghargaan
2005: Filem Pendek Terbaik Festival Film Indonesia (FFI), Kara, Anak Sebatang Pohon
2009: FIPRESI Award, Rotterdam International Film Festival, Babi Buta Yang Ingin Terbang
2009: Silver Prize, Festival des 3 Contintents, Nantes, Perancis, Babi Buta Yang Ingin Terbang
2010: Jury Special Mention, Singapore International Film Festival, Babi Buta Yang Ingin Terbang

Recommended Posts
Showing 16 comments
  • Prima Rusdi
    Reply

    Wawancara ‘in-depth’memang seharusnya seperti ini. Terima kasih JF!

  • Riri Riza
    Reply

    Gue suka obrolan ini ‘fiz. Penting! bacanya banyak Ha Ha Ha :-)(via facebook)

  • Daniel Rudi Haryanto
    Reply

    Memang semestinya seperti yang Edwin katakan juga Mbah Parmin yang ada di pedalaman Wonosari katakan hehehehe (via facebook)

  • Denmas Ipung
    Reply

    Keresahan itu ngga hanya miliki mahasiswa aktif ataupun mahasiswa yg baru ngga atif, tp juga pada alumni yg establis pun, bahwa film ngga semata2 hanya 12 movement camera, tp juga bagaimana kreatifitas juga mengalahkan industrinya, tanpa ada beban dari siapapun dan bebas….mengespetasikan….persisnya mengubah aturan dengan pertanggungjawaban…salut (via facebook)

  • Gaston Soehadi
    Reply

    Terima kasih mas Hafiz karena wawancara nya cukup mendalam dan bagus. Saya bisa banyak belajar dari pandangan yang diberikan salah satu generasi muda perfileman Indonesia.

    Mendirikan sekolah filem seperti IKJ memang cukup mahal biayanya. Idealnya memang harus ada beberapa sekolah filem seperti IKJ karena kalau hanya satu maka tidak ada rivalitas dengan dampak yang sehat tentu saja. Keberadaan sekolah filem dan industri sangat berkait erat. Kedua belah pihak bisa saling mengisi atau memberi input. Yang terjadi sekarang, seperti yang dikatakan Edwin, sekolah filem bersandar kepada industri filem yang tidak sehat. Jadi hasilnya ya kita tahu semua bagaimana. Tapi ini rasanya juga terjadi di California dimana sekolah filem ternama juga semakin pragmatis dalam kebijakan kurikulumnya; mereka cenderung untuk mengikuti praktek2 industri filem (termasuk yang tidak sehat). Hanya, di Amerika ada banyak sekolah filem dan beberapa diantaranya masih terbilang mempunyai sikap sendiri. Untuk bisa membawa lulusan sekolah filem menjadi kritis kepada industri filem maka sekolah tersebut juga harus mengajarkan kajian kritis tentang film (film studies). Tapi saya dengar jurusan ini sepi peminat. Namun sebenarnya kajian filem tidak harus menjadi milik sekolah filem semata. Jurusan humaniora di universitas juga bisa mengadakan mata kuliah ini.

    Teori auteur sudah mengalami perubahan cukup mendasar dari aslinya. Teori ini memang banyak mengundang polemik karena pada mulanya menganggap sutradara sebagai satu2nya yang bertanggung jawab dalam menciptakan karya filem. Ada kecenderungan pada awal mulanya untuk melihat peran sutradara sama seperti pelukis dan penulis.Bukan itu saja, Gelombang Baru di Perancis juga membedakan sutradara yang melulu sebagai “tukang” dan yang benar2 “pengarang”. Sebagai pengarang maka sutradara menuliskan dan menciptakan karya2nya yang dianggap sebagai karya seni tinggi. Pandangan seperti ini menafikan realitas bahwa ada kolektifitas dalam berkarya dan pengaruh2 industri yang harus dipertimbangkan oleh sutradara dan timnya. Alhasil, teori auteur di Perancis dianggap menyamakan sutradara dengan penyair abad Romantisme. Jelas, sutradara bukan penyair maupun penulis yang relatif bisa bebas dari kungkungan industri.

    Lama kelamaan konsep auteur mengalami penyesuaian di Amerika dan Inggris. Di Amerika, konsep ini justru digunakan untuk menilai sutradara2 yang bekerja dalam tradisi studio. Di Inggris, konsep auteur banyak dipakai untuk melihat sutradara2 realis. Ini juga karena kritikus2nya banyak yang beraliran kiri. Dengan kata lain, teori auteur mempunyai warna atau ciri yang berbeda dari negara asalnya, Perancis. Yang juga telah dilakukan sekarang di kalangan akademis adalah ‘men-diversifikasi’ teori auteur. Maksudnya, tidak hanya sutradara yang menjadi orang penting dalam kerja filem, tapi juga penata kamera, penata gambar, penata musik dsb. Hasil kerja mereka juga diperbicangkan sama seperti karya sutradara. Pendewaan terhadap seorang sutradara memang menjadi kesalahan para perintis kajian filem.

    Pada akhirnya saya menganggap bahwa kajian autuer tetaplah relevan untuk dilakukan. Subyek kajiannya bukanlah semata2 sutradara, tapi bisa juga penata kamera, penata musik dsb. Dengan variasi semacam ini seharusnya kajian auteur akan menjadi lebih menarik karena materinya menjadi beragam (dilihat dari berbagai sudut). Sutradara hanyalah salah satu auteur dalam kerja kolektif itu.

  • Gaston Soehadi
    Reply

    …lanjutan:

    Kita di Indonesia kurang atau belum pernah melakukan kajian auteur secara mendalam dan mencoba melihat benang merah antara generasi Usmar Ismail, Teguh Karya, Garin Nugroho dan pembuat filem paska reformasi. Sejarah filem kita rasanya seperti terputus2 alias tidak saling terkait. Mungkin kajian auteur yang mendalam bisa menyambungkan semua ini. Kajian auteur menurut saya harusnya dilakukan tanpa memilih2. Artinya, bisa diterapkan kepada semua pembuat filem (baik yang dianggap jelek maupun bagus oleh para kritikus).

  • roni
    Reply

    thank”s. pertanyaannya bagus, ngejar, ndak terasa hingga indept.
    baru kali ini aku bisa baca jenak. ndak tahu kenapa ya? mungkin ndak semua butuh alasan…..hahahahaha… thank’s fiz & bar

  • Gaston Soehadi
    Reply

    ..semacam tambahan juga:

    Saya sependapat dengan Edwin bahwa filem tidaklah harus selalu soal logika. Seperti dia, saya juga berpendapat bahwa filem mirip mimpi. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang ditampilkan sutradara di layar sudah berhasil mendukung ide pokok dia? Tentu saja ini juga tidak bisa dinilai dengan logika, tapi berdasarkan pengalaman2 kita nonton berbagai macam filem.

    Namun sejujurnya saya juga harus mengatakan bahwa sebagai penonton, saya juga tidak mau sering2 dijejali “kewajiban” menerjemahkan simbol2 yang ada di sebuah filem. Biar bagaimanapun juga, saya tetap harus menemukan aspek hiburan lebih banyak daripada aspek “mikir” nya kalau nonton filem. Yang saya cari dan nikmati adalah akting dan cerita. Soal simbol itu nomer ke sekian kali. Mungkin permainan simbol ini ada hubungannya dengan keterbatasan iklim berbicara bebas di Indonesia, jadi terlalu banyak simbol maupun cara2 lain untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya sederhana.

    Yang paling penting adalah beragam nya cerita dan tema yang kita tonton. Dan tentu saja kita mesti nonton banyak.Cuma saya tetap ragu juga untuk hal yang terakhir ini.

  • Hafiz
    Reply

    Bung Gaston,
    Dalam tradisi klasik memang cerita dan tema yang menjadi ‘soal’ dalam filem. Persoalan penggunaan simbol, code, dan tanda dalam filem adalah khas dalam sebuah filem. Jadi, sebenarnya filem yang baik bukanlah filem yang bergantung pada ‘cerita’ tapi pada ‘penceritaan’ yang didalam ada rankaian ‘tanda-tanda’ yang secara universal berlaku dalam bahasa filem. Hakikat filem adalam “how to tell a story” bukan the story it self. Kalau pun ceritanya hanya tentang kambing makan daun…tapi kalau ‘penceritaannya’ bagus…pasti filem itu akan baik.

    salam
    Hafiz

  • Gooodit
    Reply

    bagus sesi wawancaranya.. 🙂

  • Afra
    Reply

    Wawancara ini sangat ciamik! Dalam bayangan gw emg mas Hafiz paling cocok wawancarain Edwin. Pertanyaannya eksploratif tapi gak klise. Dari jawabannya Edwin, kita bisa kebayang gambaran estetika dan konsep film-filmnya. Dan yang terakhir, ternyata Edwin tanggal lahirnya samaan #gakpenting. Thanks JF!!!

  • Bintangk
    Reply

    Gue baru ngeh nih… bener banget, filem yang baik bukan yang bergantung pada ‘cerita’ tapi pada ‘penceritaan’… setuju banget… how to tell a story, not the story itself. makanya (menurut gue) ada sutradara di filem…

    thanks banget!!

  • Reply

    “filem yang baik bukan yang bergantung pada ‘cerita’ tapi pada ‘penceritaan'”

    I disagree. Form dan content bukanlah dua entitas terpisah yg bisa divaluasi secara sektarian. Form dan content berinteraksi untuk membentuk sebuah cinematic experience; apakah pengalaman sinema ini nantinya bisa disebut ‘buruk’ atau ‘amazing’ ada pada domain persepsi-kognisi si penonton. It has nothing to do with ‘story content’ or ‘story structure’. Subject matter DOES matter! And storytelling matters just as much. Kalo keduanya berinteraksi secara koheren (untuk film narratif), storytelling comperehension akan lebih efektif, kecuali kalo fokus dari si film itu lebih kepada penonjolan ‘poetics’ nya dimana mekanik gaya storytelling jadi atraksi utama, more so than anything else, seperti film2nya Maya Deren, Arthur Lipsett atau untuk contoh kontempor nya film thriller “Triangle”(Christopher Smith, 2009).

    Salam hangat,
    Ari Ernesto

  • andi imam prakasa
    Reply

    sangat menarik…

  • andi imam prakasa
    Reply

    coba bung hafiz wawancara india-india itu… kita mau tahu jawaban mereka seperti apa.. thank you 🙂

  • syamsul hadi
    Reply

    menarik diskusinya.lok pandangan saya mengenai sebuah perfileman bukan hanya sekedar kemasan yang bagus..tapi isi dari filem itu sendiri mampu menampilkan astetika filem,sinematograpinya, semacam olah pikir kepada penonton..bukan hanya pada cerita tapi lebih kepada penceritaan..seperti filem-filem new realisme.cerita sederhana tapi penceritaanya luar biasa.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search