In Artikel

covermisbach

Resensi Buku

Judul Buku: Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa
Penulis : H. Misbach Yusa Biran
Penerbit : Komunitas Bambu & Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Penerbitan : Cetakan ke II, Agustus 2009
Tebal Buku : xxxiv + 446 hlm

Penulisan peta historiografi film Indonesia amat sedikit dan tak berkelanjutan dilakukan oleh kalangan akademisi, peneliti bahkan praktisi perfilman tanah air. Sedikit sekali orang yang setia melakukan pekerjaan ini dan salah seorang yang cukup berkelanjutan ialah H. Misbach Yusa Biran yang penuh dedikasi dan totalitas untuk mewakafkan sebagian besar hidupnya dalam bidang ini. Kita sebagai anak bangsa kiranya patut berterima kasih dan takzim atas jihad akbar ini untuk benar-benar serius menulis sejarahnya sendiri bukan oleh siapapun. H. Misbach Yusa Biran telah mendirikan Sinematek di tahun 1975 sebagai satu-satunya arsip film pertama dan terbesar di Asia Tenggara. Peristiwa itu penting sekali artinya bagi kelangsungan sejarah perfilman tanah air. Pencapaiannya tak berhenti disitu. Ia pun merintis penulisan sejarah film Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Beberapa buku sejarah film lahir dari sutradara, pendiri Sinematek, peneliti, dan penulis. H. Misbach, seorang perawi ensiklopedis, saksi sejarah pergulatan film Indonesia yang memahami runut peristiwa perfilman Indonesia, seorang yang tak sekedar sadar dokumentasi, juga seorang yang tahu bagaimana dokumentasi itu diolah, dibaca, disimpulkan dan disajikan untuk kebutuhan masyarakat.

Buku Sejarah Film Indonesia 1900-1950: Bikin Film di Jawa menawarkan berbagai praktik diskursif yang penuh dengan suasana emosional pergulatan perkembangan film dan lingkungannya masa kolonial dan revolusi. Buku ini merupakan penyempurnaan atas terbitan sebelumnya Film Indonesia Bagian I (1900-1950) yang diterbitkan oleh Dewan Film Nasional di tahun 1993 yang dinilai susunan babnya masih terlalu acak, dan buku ini juga akan berlanjut pada edisi kedua yang meliputi rentang 1950-1967.

Salah satu keistimewaan dari buku ini yaitu imej-imej sejarah, seperti: foto biografis seputar pelaku perfilman Indonesia, iklan-iklan tayang, foto lingkungan bioskop, bingkai-bingkai adegan film, foto suasana perekaman, yang dipetik dari berbagai sumber publik; media massa, koleksi pribadi, dan Sinematek. Buku ini juga memuat enam lampiran yang amat penting bagi masyarakat untuk menelusuri jejak-jejak sejarah seperti dua surat yang membicarakan tentang rencana produksi film Kartini (lampiran 2), ulasan film De Merapi Dreigt karya A.P Balink yang dimuat di Algemeen Handelsblad, 6 Juli 1935 (lampiran 3), sajian lampiran-lampiran sebagai bukti otentik di zaman itu. Dalam penyuntingannya, buku ini menginventarisir daftar-daftar produksi film rentang 1926-1950 dan lampiran daftar bioskop di Hindia Belanda.

*

Film dalam buku ini, selain sebagai bentuk kesenian, ia dianggap telah membentuk suasana khayali masyarakat kita pada saat itu. Film yang juga lahir dari skandal kesenian rakyat seperti opera stamboel dan toneel melajoe berperan menghantarkan eskapisme rakyat Indonesia yang kehidupannya dalam keadaan represi kolonial. Tak ayal, beberapa kritikus film menyebut masa itu sebagai cikal bakal dosa asal film Indonesia dan hingga kini kutukan tersebut masih melekat dan menjadi momok yang menakutkan dalam dunia perfilman tanah air.

Dosa asal inilah yang sangat detail diwartakan oleh H. Misbach Yusa Biran dalam bukunya. Ia dengan sangat akurat menggambarkan kondisi situasional ketika itu dan Misbach pun menelisik jauh secara empatik dengan menyampaikan deskriptif seutuhnya, sesuai dengan refensi yang ia diperoleh dari sumber-sumber; surat kabar, majalah, dan wawancara dengan pelaku perfilman Indonesia masa pra kemerdekaan.

Negeri Hindia Belanda adalah negeri jajahan yang amat beruntung. Dalam lima tahun sejak kelahiran sinema di tahun 1895, gambar idoep telah mendarat di negeri zamrud khatulistiwa ini. Berita kedatangan film di tanah Hindia Belanda secara jelas diwartakan dalam iklan surat kabar yang bernama Bintang Betawi edisi 30 november 1900. Iklan surat kabar tersebut memuat pengumuman dari perusahaan Nederlandsche Bioskop Maatschappij bahwa sebentar lagi mereka akan memperlihatkan tontonan, gambar-gambar idoep dari banyak hal yang belum lama terjadi di Eropa dan Afrika Utara. Dalam Bab Pendahuluan ini H. Misbach mengulas bagaimana kisah pemutaran film perdana ditonton oleh masyarakat Hindia Belanda. Menurut iklan Bintang Betawi tanggal 5 Desember 1900, pertunjukan itu adalah “Pertoendjukan Besar Yang Pertama dan seterusnya akan main pada alamat di atas, yakni tanah abang Kebon Jahe (Manage) mulai jam 7 malam. Harga karcisnya terdiri dari tiga peringkat, yakni untuk kelas I f 2 (2 gulden, rupiah Belanda), Kelas II f 1 dan Kelas III f 0,50.” Ketika itu pertunjukan bioskop belum memiliki tempat tetap. Pemutaran berpindah-pindah dari satu gedung ke gedung lainnya; seperti menyewa gedung milik Kapten Cina Tan Boen Koei. Selain di gedung film, secara sederhana pemutaran dilakukan di tanah lapang seperti di lapangan Mangga Besar atau di los Pasar Tanah Abang.

Di sebuah iklan yang dimuat harian Bintang Betawi kita juga dapat mengetahui harga karcis yang dijual dengan kategori dan variasinya. Karcis dari pertunjukan yang diselenggarakan oleh perusahaan American Animatograph di daerah Glodok, Batavia, hanya f 0,25 bagi penonton Cina dan f 0,10 bagi penonton slam. Konotasi kata “slam” mengacu pada Pribumi yang umumnya beragama Islam. Untuk penonton Pribumi, sejak 1903 diberikan keringanan agar bisa ikut menonton. Harga karcis yang relatif lebih murah ketimbang penonton Cina dikarenakan umumnya tingkat ekonomi Pribumi amat rendah.

Pada gilirannya muncullah bioskop-bioskop yang merepresentasikan ras penonton yang terdiri dari penonton Eropa, Cina dan kalangan slam. Pengelompokan ini akibat sistem nilai ekonomis yang mulai terbentuk dan menjadi lahan bisnis baru, usaha perbioskopan. Bioskop-bioskop di bagi menjadi tiga kelas. Sebut saja bioskop Kelas I; Bioskop Capitol yang terletak dekat Masjid Istiqlal (sekarang sudah tidak ada) adalah bioskop Kelas I; Bioskop Kramat Theater, di wilayah Senen adalah bioskop Kelas II; disamping Bioskop Rialto yang juga terletak di Pasar Senen merupakan Bioskop Kelas III yang khusus diperuntukan bagi penonton slam.

Dalam Bab Pendahuluan ini, H. Misbach Yusa Biran secara kronologis menggambarkan kondisi sosiologis masyarakat Hindia Belanda di mana tontonan panggung sebagai bagian yang tak terpisahkan dari watak bawaan film Indonesia yang turut andil besar bagi pembentukan dan polarisasi pada segmentasi tontonan yang ujung-ujungnya bermuara pada bentuk tipikal budaya tontonan masyarakat Hindia Belanda dalam menonton film. Tontonan panggung merupakan mimesis dari kisah atau hikayat yang telah dikonversi dan dimodifikasi. Karakter khas pertunjukan panggung ialah nukilan kisah-kisah yang diadaptasi dari cerita-cerita ala 1001 malam dengan nuansa kehidupan raja-raja yang serba gemerlapan, sebagian dialog diucapkan dengan dinyanyikan sebagaimana lazimnya opera, penggalan babak diisi oleh adegan nyanyian, lawakan, dan tarian.

Awalnya jenis pertunjukan ini adalah wayang cerita “Siti Akbari”. Rombongan pertunjukan ini dipimpin oleh Lie Kim Hock di Bogor. Ia sendiri yang menggubah naskah dalam bahasa Melayu Pasar. Karangan yang ia buat berbentuk prosa bersajak mengisahkan cerita istana. Pertunjukan Lie juga menggunakan musik gambang kromong. Selanjutnya di Surabaya berdiri pula sebuah perkumpulan Komedi Stamboel di tahun 1891 oleh August Mahieu, pemuda Indo yang mempunyai bakat bernyanyi dengan suara tenor. Perkumpulan ini dibiayai oleh Yap Goan Thay. Dalam perkumpulan ini cerita tak jauh berbeda dengan rombongan Siti Akbari namun Mahieu meniru pertunjukan di Semenanjung Malaya yang terkenal dengan pertunjukan Abdoel Moeloek-nya. Penamaan stamboel diidentifikasi melalui kisah anak buah Mahieu mengenakan topi merah khas orang Turki yang berkuncir hitam. Bagi masyarakat Hindia Belanda, topi seperti itu dinamakan stamboel, sedang kata stamboel sendiri berasal dari Istambul, ibukota Kesultanan Turki.

Pertunjukan yang dilakukan oleh Mahiea berdampak besar dengan diikuti oleh berdirinya perkumpulan sejenis seperti Opera Srie Permata, Opera Bangsawan, dan Indra Bangsawan (untuk selanjutnya penamaan semua jenis kelompok ini dinamakan Komedi Stamboel).  Pada nomor-nomor pertunjukannya, yakni tari kabaret, dansa tango, tablo dan sebagainya yang serba ala Barat mengingat Mahiea sendiri meramu repertoarnya yang diadopsi dari cerita ala 1001 malam dan Abdoel Moeloek dengan nuansa roman Barat. Adapun penambahan kata Bangsawan mengacu pada nomor-nomor repertoar mereka yang mengisahkan cerita sekitar istana yang gemerlapan, tentang kebangsawanan, pakaian-pakaian yang indah, dan pangsa pasarnya adalah kalangan rakyat jelata yang hidupnya susah.

Dalam nomor-nomor pertunjukan Komedi Stamboel dipentaskan cerita-cerita seperti Aladin dan Lampu Ajaib, Ali Baba dan Empat Puluh Penyamun, Penangkap Ikan dan Jin, Abu Hasan (cerita Lucu 1001 Malam), Siti Sanimbar, Genoveva, Hawa Majelis, Panji Semirang, Siti Rudina, Hamlet & Merchant of Venetia (Shakespeare). Konon repertoar yang dicampur aduk dari Persia, Baghdad, India dan Eropa, hanya mereka kuasai garis besarnya saja. Naskah tertulis tidak ada karena umumnya para pemain buta huruf. Selebihnya, pemain diberi improvisasi setelah mendapatkan garis besar cerita yang dibawakan di panggung. Dalam perjalanannya Komedi Stamboel bergerak lebih besar dengan munculnya dua raksasa di bidang ini yakni rombongan Miss Riboet Orion pimpinan Tio Tek Djien dan Dardanella pimpinan A. Piedro seorang Rusia. Kedua Opera Stamboel ini juga melakukan pembaruan dengan mengalihkan kepopuleran pertunjukan Opera Stamboel ke Toneel Melajoe (kata toneel merupakan istilah Belanda untuk kata sandiwara).

Cerita yang disajikan berkenaan dengan kehidupan modern. Tidak seperti cerita dalam nomor pertunjukan opera stamboel yang berorientasi pada naskah klasik ala 1001 Malam. Namun segmentasi penonton tetap sama yakni kalangan rakyat miskin yang membutuhkan hiburan ketimbang memikirkan isi cerita. Tokoh yang sangat berpengaruh dalam kedua rombongan tersebut ialah, Nyoo Cheong Seng untuk rombongan Miss Riboet Orion dan Andjar Asmara untuk rombongan Dardanella. Kedua tokoh di toneel melajoe ini sama-sama berasal dari satu profesi, yakni wartawan. Andjar Asmara adalah redaktur majalah Doenia Film, edisi Film Land untuk Hindia Belanda.

Dalam testimoninya, Andjar Asmara mengatakan bahwa Dardanella bukanlah satu perkumpulan “Stambulan” yang mengutamakan business, tetapi, “Berikhtiar mempertinggi derajat permainan Toneel Melajoe, mempertinggi pandangan orang banyak terhadap kedudukan toneel dan artis-artis bumiputera. Oleh sebab itu Andjar bergabung dengan Dardanella sejak 1930. Ia meninggalkan kedudukannya sebagai redaktur majalah Doenia Film, sebuah penerbitan yang bergengsi. Alasannya meninggalkan Doenia Film adalah ‘untuk menolong dan menunjang dengan kesanggupan yang ada pada saya guna kemajuan Toneel Melajoe’.”

Dalam Bab Pendahuluan ini juga disajikan bagaimana dua raksasa toneel melajoe bangkrut akibat hijrahnya orang panggung ke film setelah lahirnya film cerita pertama, Loetoeng Kasaroeng sebagai proyek ambisius antara L. Heuveldorp dan G. Kruger dengan sokongan Bupati Bandung, Wiranatakusumaha V atas gagasan De Locomotief yang secara mendalam di bahas pada Bab I. Bangkrutnya Toneel Melajoe yang menamatkan riwayat tontonan panggung karena sebagian besar pemain mereka eksodus ke dunia film terutama setelah film Terang Boelan yang diedarkan tahun 1938 meledak dan terjadi gelombang eksodus besar-besaran orang-orang panggung ke film.

Film Terang Boelan diulas di akhir Bab I buku ini. Film yang diproduksi oleh ANIF Studio akronim dari Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat dalam pengerjaannya melibatkan tiga orang utama yakni Albert Balink, Wong Brother’s, dan Saroen yang dipercaya menulis cerita. Ide Saroen-lah film Terang Boelan menggunakan resep dunia panggung. Ia menjadi padu dalam film ini sehingga pulau dalam cerita diberi nama “SAWOBA”, yang merupakan singkatan dari Saroen – Wong – Balink. Pemain utamanya adalah Roekiah, aktris yang dibesarkan di panggung dan penyanyi keroncong yang sedang naik daun. Ia adalah penyanyi, maka lazimnya diwali namanya dengan “Miss”. Yang berperan sebagai Khadam adalah suami Roekiah, Kartolo yang memerankan Dullah. Kelompok musik keroncong yang sedang populer dipentas radio, Lief Java pimpinan H. Dumas, dipilih sebagai pengisi ilustrasi musik keroncong. Pemain yang bukan berasal dari dunia panggung hanyalah Rd. Muchtar dan E.T Effendi, yang ditemukan Balink di proyek ambisiusnya, Pareh.

Gaya penampilan film ini amat dekat dengan gaya film yang dibintangi Dorothy Lamour, yang pada masa itu sedang popular, yakni tentang kehidupan masyarakat primitif yang bernuansa Hawaiian lautan Pasifik.

Bab I mengulas sangat panjang bentangan perkembangan film di tanah air. Bab ini memiliki jumlah halaman terbanyak. Bab ini dimulai dengan penjabaran percobaan membuat film pertama. Pemerintah Belanda berkepentingan membuat film untuk tujuan praktik kolonialismenya dengan mengedepankan film-film bercorak dokumenter di bawah bendera National Film Fabriek. Yang terekam adalah apa-apa saja yang indah dalam khazanah Hindia Belanda atau yang dijuluki “moii indie”, dengan kilasan pemandangan nan permai, persawahan dan eksotika budaya masyarakat Hindia Belanda yang penuh misteri. Ada dua nama yang sangat penting disini, yakni F. Carli dan Krugers. Mereka inilah yang menginisiasi pembuatan film di tanah Hindia Belanda.

Kemudian dalam Bab I juga dijelaskan secara renyah tentang film cerita pertama, Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi oleh N.V. Java Film Company yang dibuat di Kota Bandung oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers. Pembuatan film ini adalah respon terhadap anjuran De Locomotief, sebuah kantor penerbitan yang menaruh harapan akan dibuatnya film-film cerita pertama yang mengambil legenda dari masyarakat pribumi. Pembuatan film ini mendapatkan sokongan besar dari Bupati Bandung, Wiranatakusumah V yang berobsesi ingin ambil bagian dalam menggembirakan kesenian Sunda ke publik luas. Film Loetoeng Kasaroeng mengambil cerita tentang legenda kuno Sunda, Loetoeng Kasaroeng. Dalam Bab ini juga dikemukan bagaimana hambatan dan respon terhadap pembuatan film cerita pertama, Leotoeng Kasaroeng. Tak berhenti di situ, N.V. Java Film Company kembali membuat film keduanya, Eulis Atjih, yang di produksi tahun 1927 bercerita tentang drama rumah tangga modern, bukan lagi cerita kuno.

Ulasan Bab I berlanjut pada rintisan orang Cina dalam pembuatan film. Menurut tulisan Nio Joe Lan De Vertegingen van Een Indische Film Industrie  dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang Cina di Hindia mulai tertarik pada bidang pembuatan film sejak munculnya film produksi Shanghai Feng Shen (Pengangkatan jadi Dewa). Dalam film ini, orang Cina Betawi ikut bermain. Keikutsertaan Cina Betawi merupakan sensasi besar, terutama di Batavia sendiri. “Sensasi Besar” tersebut dikutip pers Cina di Hindia Belanda agar para pengusaha Cina di Hindia terjun dalam pembuatan film cerita. Film Boenga Roos Dari Tjikembang adalah realisasi dari imbauan tersebut yang dibuat oleh Kwee Tek Hoay. Dalam laporan Pewarta Soerabaja menyebutkan bahwa the South Sea Film Co., adalah kongsi pembikinan film Tionghoa yang pertama di Indonesia. Pada Juni 1928, Lily van Java dirilis ke publik yang bercerita tentang seorang gadis yang dijodohkan dengan seorang pemuda, namun si gadis sudah punya pilihan sendiri. Naskahnya telah lolos sensor oleh Film Commissie yang terbentuk pada tahun 1926. Dari film Lily van Java inilah lahir sebuah kongsi yang bernama Wong Brother’s, kakak-beradik yang terdiri dari Nelson, Joshua dan Othiel Wong, Cina totok yang beragama Kristen. Wong Brother’s juga melakukan perkongsian dengan Yo Eng Sek. Mereka mendirikan Batavia Motion Picture. Tetapi perkongsian ini bubar dan Wong Bersaudara menghidupkan kembali Halimeon Film Co. di Bandung yang sempat mereka bentuk.

Di Bab I ini juga dikemukakan berbagai macam dinamika yang mewarnai sepak terjang para produsen film Cina untuk merebut pangsa pasar, yakni masyarakat Cina sendiri yang telah kadung terjejali oleh film-film impor yang berasal dari Shanghai. Untuk merebut simpati penonton Cina di Hindia, para pembuat film Cina, salah satunya The Teng Cun, mengedepankan film-film yang diambil dari legenda klasik Tiongkok yang berjejal dengan kisah-kisah siluman. Harapannya dengan membuat film seperti itu, The Teng Cun mampu menutupi kerugian atas film Roos Dari Tjikembang yang ia buat sebelumnya di bawah bendera Cino Motion Picture. Menurut The Teng Cun yang kini memimpin Java Industrial Film Co., (JIF), motif utama pembuatan film-film siluman, seperti; Ti Pat Kai Kawin (1935), Pan Sie Tong (1935), Lima Siloeman Tikoes (1936), Pembakaran Bio Hong Lian Sie (1936) atau Moesnanja Gowa Siloeman Boaja Poeti dan Anaknya Siloeman Oelar Poeti, hanyalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menggaet sebanyak-banyaknya penonton Cina, bukan sebagai usaha menghidupkan legenda kuno Tiongkok.

Penjabaran sejarah perfilman pada Bab ini berlanjut ke kehadiran film suara pertama di Hindia Belanda. Penonton Indonesia baru bisa menyaksikan keajaiban film suara pertama sekitar akhir tahun 1929-1930. Dua tahun setelah film suara pertama The Jazz Singer diterbitkan di 1927 di Eropa. Kota Surabaya yang mendapat kesempatan pertama memutar film-film bersuara. Mulai 26 Desember 1929, di gedung Princess Schouburg, dipertunjukan film bicara Fox Follies dan pemutaran film The Rainbowman. Di Bandung film The Rainbowman dipertunjukan di bioskop Luxor. Tiga bulan kemudian setelah pertunjukan perdana di kota Surabaya, tepat tanggal 27 Maret 1930, kota Batavia mendapat giliran.

Pemutaran-pemutaran tersebut adalah promosi yang dilakukan oleh General Manager Fox dan Mr. Hugo yang memperkenalkan model proyektor baru khusus untuk film bicara. Kehadiran  film bicara rupanya menjadi persoalan yang sangat serius di Hindia Belanda. Mahalnya proyektor yang applicable dengan film bicara sehingga hanya bioskop-bioskop tertentu yang dapat memutar film bicara. Persoalan yang muncul kemudian dalam produksi yaitu mahalnya single system camera yang khusus untuk film bicara dan usaha ke arah itu telah dilakukan oleh Wong Bersaudara dengan meminta bantuan Lemmens, seorang dosen dari Technische Hoogeschool (T.H., -sekarang ITB), untuk melakukan percobaan-percobaan menemukan pilihan lain. Dari berbagai eksperimentasi tersebut rupanya ada yang mendekati suara sempurna meskipun tidak sebagus suara film dari Amerika dan Jerman. Tapi intinya, sejak 1931 sejarah film di negeri ini telah memasuki masa pembuatan film bicara dengan momok filmnya seperti Roos Dari Tjikembang dan Zuster Theresia sebagai perintis film bicara pertama Indonesia. Selanjutnya film bicara kedua keluaran studio Halimoen Film adalah Indonesia Malaise yang dalam iklannya menekankan: “100% Film Bitjara dan Menjanjikan”.

Dalam Bab II buku ini yang menjadi tema utamanya adalah ledakan pertama dan gambaran bagaimana film sebagai sebuah industri mulai menemukan tata kelolanya dengan baik. Pondasi itu telah berdiri kokoh setelah keberhasilan film Terang Boelan. Dunia perfilman kita saat itu seolah-olah sudah menemukan formulasi yang tepat atau dalam istilah penulis buku ini menyebutnya sebagai resep film Terang Boelan.

Resep mujarab Terang Boelan mendaulat orang panggung di ranah perfilman saat itu. Pasangan pemain Rd. Muchtar-Miss Roekiah dipopulerkan sebagai pasangan yang paling ideal sesuai dengan tuntutan industri. Penting disini bahwa mau tidak mau film Terang Boelan telah melahirkan tonggak yang amat penting dalam sejarah film Indonesia hingga kini karena watak inilah yang kiranya mendominasi industri perfilman nasional dewasa ini dan juga industri film Indonesia di tahun 1970-1980-an. Film Terang Boelan didakwa sebagai faktor geologis dan determinisme dosa asal film Indonesia. Di dalam film inilah lahirnya konsep star system dengan pasangan Rd. Muchtar dan Roekiah sebagai kampiunnya. Di film ini berbagai tipikal pembawaan orang panggung berkondensasi dengan media baru yang mereka geluti, yakni film. Segenap sikap, watak, tabiat dan kebiasaan orang panggung seraya meninggalkan rekam jejak yang tak terampuni hingga saat di mana target pangsa pasar penonton menjadi skala prioritas utama. Mekanisme inilah yang terus bekerja di tengah dunia film se-akan otonom dengan dirinya tanpa terpengaruh dengan zaman pergerakan dan revolusi fisik di zaman pasca kemerdekaan.

Pada paragraf pertama Bab II dijelaskan bagaimana resep film Terang Boelan sangat berpengaruh secara signifikan bagi pertumbuhan industri film saat itu. Di paragraf tersebut ditulis pada awal tahun 1940, para pemilik modal telah mengetahui dua pelajaran: pertama, usaha pembuatan film bukan saja merupakan bisnis yang dapat dikerjakan (feasibele), tetapi menjanjikan keuntungan yang fantastik; kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah ditarik dari panggung tonil. Jadi, sejak tahun 1940, dunia film telah didominasi oleh subkultur panggung. Selain itu mulai banyak bermunculan perusahaan-perusahaan film baru seperti Tan’s Film Coy, Populair Film Coy, Oriental Film Coy, Union Films dan Star Film Coy disamping Java Industrial Film yang semakin mengibarkan sayapnya. Kesabaran dan keuletannya dalam menghadapi krisis itulah yang dimiliki oleh seorang The Teng Chun yang mampu bertahan di paruh tahun 1940-an, bahkan usahanya semakin berkibar kencang dengan adminstrasi dan manajeman yang lebih professional untuk ukuran saat itu. Namun Praktik hubungan antara tuan dan budak tetap bertahan dengan istilah tauke yang merupakan bawaan dari dunia panggung dahulu dan kini dipraktekkan kembali di studio-studio film. Adat yang sama saja dengan di dunia panggung dahulu.

Menurut harian Sin Po, penyebab JIF (Java Industrial Film) mampu bertahan adalah berkat ketepatan pengelolaan yang dilakukan The Teng Chun. Melalui tangan dinginnya lahirlah film-film seperti Dasima arahan sutradara Tan Tjoei Hock yang ia temukan. Kemudian film-film JIF berikutnya seperti Soerga Palsoe, dan Rentjong Atjeh, kisah bajak laut yang dikarang Ferry Kock. Andjar Asmara sebagai tokoh yang amat disegani di dunia panggung Dardanella ketika berada di dunia film juga mengukuhkan kecerdasannya berstrategi komunikasi. Ia memprakarsai penerbitan JIF Journal yang berisi catatan-catatan produksi Java Industrial Film. Selain itu juga Andjar Asmara juga terlibat dalam gagasan strategi komunikasi JIF Orchestra yang juga telah berkembang sebagai bagian dari Departemen Musik JIF. Atas jasa-jasanya Andjar Asmara diberi kesempatan menyutradarai film Kartini (yang kemudian berganti judul menjadi Kartinah). Dengan bergabungnya Andjar Asmara ke JIF maka The Teng Chun semakin berambisi mengibarkan perusahaannya dengan mengubah nama JIF menjadi The New JIF yang hanya memproduksi film kelas satu, atau “ super production”! Demi capaian target tersebut The Teng Chun mendirikan anak perusahaan di bawah bendera The New JIF seperti Jacatra Pictures dan Action Film. The Teng Chun juga merekrut dua wartawan yang sudah makan asam garam di bidang pers dan opera stamboel: R. Inoe Perbatasari yang dipercaya memimpin Jacatra Pictures dengan menyutradarai dua buah film, Elang Darat dan Poetri Rimba; Soeska (Sutan Oesman Karim), mantan pemimpin redaksi harian Persamaan di Padang, menyutradarai film Ratna Moetoe Manikam diolah dari Djoela-Djoeli Bintang Tiga, kisah ala 1001 Malam yang biasa dibawakan oleh rombongan stamboel.

Bab II juga membahas tentang perjalanan singkat rumah produksi lainnya seperti Tan’s Film Coy, Populair Film Coy, Oriental Film Coy yang didirikan oleh Nyoo Cheong Seng dan Fifi Young, Union Film Batavia, Star Film Company, Standard Film Company,  dan Majestic Pictures yang berasal dari kota Malang. Salah satu film yang menarik yang dibuat oleh Majestic Pictures adalah film Djantoeng Hati yang bercerita tentang orang terpelajar dan berpendidikan tinggi yang menyukai budaya dari Barat termasuk musik. Masa antara 1940-1941 adalah masa di mana tidak hanya menjamurnya perusahaan film paska booming Terang Boelan tetapi juga meliputi kondisi sosial dan politik baik di negeri sendiri dan dunia. Pecahnya Perang II dan penantian kedatangan balatentara Jepang menjadi sebuah masa yang penuh pergolakan dalam dunia perfilman kita saat itu. Di satu sisi film asyik dengan dunianya sendiri, di sisi lain, lansekap politik menuju kesadaran nasional tak terelakan.

Selain mengikuti resep Terang Boelan, film-film yang dibuat juga mengikuti imbauan yang digelorakan pergerakan nasional yang sedang menggebu-gebu dengan wacana harapan menuju kemerdekaan dan tentunya setelah ini ialah fase di mana babak yang tak kalah menentukan bagi perjalanan sejarah film nasional ialah kedatangan balatentara Jepang ke Nusantara yang akan banyak di ulas di BAB III. Pada masa ini dunia film kita mengalami dinamikanya sesuai dengan tuntutan pergerakan nasional dengan mencoba menjangkau kalangan atas dan elit pergerakan nasional. Drs. A. K. Gani terlibat dalam film Asmara Moerni yang diproduksi oleh Union Film. Bagi A. K. Gani film ini sebagai salah satu cara meningkatkan cinta buatan sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri. Film ini merupakan film pertamanya sekaligus film terakhir yang ia bintangi.

Bab ini ditutup dengan keterlibatan pers dan para artis film secara politis dengan membentuk sebuah perkumpulan. Masa itu peranan pers amat vital bagi kelangsungan industri film tanah air yang sedang berkibar di tengah kecamuknya Perang Dunia II. Masalah yang dihadapi ialah bagaimana film dinilai layak ditonton oleh kalangan atas dan terpelajar yang selama ini memandangnya dengan sebelah mata. Dalam wacana yang terjadi di seputar pers mengindikasikan bahwa orang-orang film merasa terbebani untuk memenuhi tuntutan kaum terpelajar dan pers perjuangan. Tuntutan bagaimana film Indonesia dapat mencapai tuntutan cita-cita pergerakan nasional dan ikut serta dalam pembangunan masyarakat dengan kualitas film-film yang dibuat. Menurut Armijn Pane, salah satu eksponen Pujangga Baru mengatakan bahwa kelemahan film dalam negeri sampai pertengahan 1941 adalah masih terlalu mengikuti kehendak publik. Publik disini ditekankan pada publik kelas bawah. Sama halnya dengan Ki Hadjar Dewantara, ia mengatakan bahwa perbaikan film bisa dilakukan kalau seniman film mau menyadari bahwa mereka adalah seniman bukan orang sembarangan. Begitupun kritik pedas Raden Winarno, pemimpin redaksi harian Berita Oemoem yang dengan pedas menandaskan bahwa film dalam negeri hanya menggambarkan cinta birahi, cinta muda-mudi waktu terang bulan, cinta dokter pada mantan kekasihnya, tukang becak dan lain-lain, dengan sedikit keroncong, Hawaiian dan aurat-aurat gadis. Perdebatan juga terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Dr. Soepomo dalam Polemik Kebudajaan yang soal pembentukan nation character building termasuk dalam memajukan dunia perfilman.

Tepat pada tanggal 28 Juli 1940 para pelaku perfilman Indonesia mendirikan organisasi artis film, Sjarikat Artist Indonesia yang disingkat SARI. Pencetus utamanya ialah Saroen dan Moehamad Sin, wartawan dan pengasuh desk film pada majalah Pembangoenan. Para artis film yang tak asing namanya seperti Ferry Kock, M. Sardi, Roekiah, dan lain-lain pun terlibat dalam kepengurusan SARI. Anggota mereka tak terbatas pada orang film saja melainkan juga pemain tonil, penari, pengarang cerita, penyair, pemusik, pelukis, dan sebagainya.

Kemenangan Jepang dalam tempo yang relatif singkat pada akhirnya membuka mata warga pribumi tentang kekuatan bangsa Asia dan kemenangan inilah yang mematahkan bangunan postulasi yang begitu kokoh selama ini yaitu segala sesuatu yang dari Barat adalah baik dan Barat adalah satu-satunya sumber kemajuan. Dalam masa pendudukan balatentara Jepang yang singkat tetapi penting artinya bagi pembentukan kesadaran nasional yang mengkristal dengan konversi budaya. Bahasa Indonesia adalah bahasa wajib yang dipakai oleh elit pergerakan yang sebelumnya menggunakan bahasa Belanda. Akibat dari penggunaan bahasa Indonesia maka istilah-istilah dunia film yang selama ini mengakar pun berubah. Istilah seperti toneel berubah menjadi sandiwara dan film reiseur berubah menjadi sutradara. Yang menarik adalah pendekatan tema cerita film seperti sosok pahlawan berasal dari kalangan rakyat jelata bukan seorang kelas menengah dalam film Berdjoang karya Rd. Arifin. Ahmad, seorang pemuda terpelajar digambarkan sebagai pemuda yang tidak mau berjuang. Ia justru terperosok menjadi pencuri. Justru seorang anak kampung-lah yang punya semangat perjuangan tinggi. Citra inilah yang dipropagandakan oleh Jepang dimana berbagai asumsi tentang kemajuan Barat dipatahkan termasuk kesan bahwa orang yang terpelajar didikan Barat akan baik perilakunya.

Berkat Jepang lahirlah Panglima Besar Jenderal Soedirman dari kalangan rakyat jelata termasuk dalam dunia film. Sebelum kedatangan Jepang, orang-orang tertentu saja yang dapat mengeoperasikan kamera dan menduduki tempat strategis di perusahaan film. Namun di masa pendudukan Jepang, sejak dibentuknya Nippon Eiga Sha yang sebelumnya merupakan Studio Multi Film milik Belanda, tenaga Pribumi dapat menduduki pekerjaan yang strategsi seperti juru kamera, juru suara, editor dan jabatan-jabatan penting lainnya. Melalui lembaga itu Jepang mempropagandakan diri sebagai Pemimpin Asia Raya. Bukan hanya itu saja, muncul kesadaran baru tentang potensi seni film bagi alat pendidikan dan penerangan rakyat.

Andjar Asmara dalam tulisannya mengemukakan bahwa film di masa depan akan memasuki masa gilang gemilang dan tujuan film untuk mencari uang tanpa peduli akibatnya akan hilang. Seturut dengan Andjar, Usmar Ismail tokoh muda yang berjasa dalam pembaruan teater menuju konsepsi teater modern menandaskan bahwa, “datanganya para instruktur Jepang ke Indonesia telah menyadarkan pengertian fungsi film. Hal itu perlu dikembangkan pada usaha dalam membangun perfilman nasional. Kemudian ia menambahkan, “bahwa barulah pada masa Jepang itu orang sadar akan fungsi film sebagai sarana alat komunikasi sosial. Usaha menumbuhkan kesadaran kebangsaan terasa pada film (pendek) ke Seberang. Disitu digunakan bahasa Indonesia yang terjaga, hingga film itu lebih mendekatkan diri kepada perasaan kebangsaan.”

Pada Bab III diterangkan tentang pentingnya kesenian dan kebudayaan sebagai media propaganda Jepang. Sejak menduduki Indonesia, Pemerintahan Militer Jepang membentuk Sindenbu, Badan Propaganda dan Penerangan. Pada bulan April 1943, Sindenbu mendirikan Keimin Bunka Sidhosho (Pusat Pendidikan Populer dan Pengembangan Kebudayaan). Secara garis besar badan ini bertugas mengembang kebudayaan tradisi Indonesia, memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang, mendidik dan melatih seniman Indonesia. Di dalamnya ada lima bagian: (1) Bagian Sastera; (2) Bagian Sandiwara dan Tari; (3) Bagian Seni Rupa; (4) Bagian Musik; dan (5) Bagian Film. Semuanya terdiri dari orang Jepang dan orang Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang ini kegiatan kesenian yang paling menonjol adalah sandiwara yang mempunyai hubungan erat bagi sejarah film Indonesia. Di buku ini H. Misbach Yusa Biran menuliskan bahwa panggung sandiwara hidup kembali setelah sempat vakum akibat dari hijrahnya orang-orang panggung ke dunia film di tahun 1930-an. Namun sandiwara disini bukanlah bercerita tentang negeri antah berantah dan gemerlapan istana ala 1001 Malam, melainkan sandiwara propagandis seperti Jepang Pemimpin Asia Raya, peperangan Asia Timur Raya, dan nasionalisme. Dari dunia panggung sandiwara inilah Usmar Ismail terlahir sebagai pembaharu dalam pentas teater modern. Ia melakukan penyimpangan (heretic) dari sandiwara professional. Usmar dan kawan-kawan mendirikan grup sandiwara yang diberi nama Sandiwara Penggemar “Maya”. Kata “penggemar” itu adalah pengganti kata bahasa Belanda “amateur” yang tidak boleh digunakan. Maksud penamaan demikian adalah bahwa grup mereka ini grup yang bukan cari makan dari sandiwara, melainkan kegiatan yang tujuannya adalah kebudayaan.

Apa yang dilakukan Usmar Ismail dalam panggung sandiwara merupakan langkah maju. Kini, panggung sandiwara tidak lagi menjadi anak wayang yang tidak terhormat dan kedudukan panggung sandiwara naik pamor menjadi lapangan kerja kreatif yang terhormat.

Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Dalam masa pergolakan revolusi ini riwayat kesenian dan kebudayan tampil sebagai garda terdepan pembela revolusi bahkan tidak sedikit pula yang dahulu dicap anak wayang kini berada dalam gugusan terdepan. Di Bab ini dijelaskan bahwa sebelum Jepang angkat kaki dari Indonesia, mereka menyerahkan studio bekas Multi Film kepada Pemerintah baru Indonesia. Peristiwa ini disaksikan oleh Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Selanjutnya, dibentuk Berita Film Indonesia (BFI) yang dipimpin oleh oleh R.M. Soetarto dan Rd. Arifin. Tugasnya adalah membuat film-film dokumenter. BFI banyak berjasa dalam merekam peristiwa-peristiwa bersejarah perjuangan kemerdekaan. Kumpulan sejumlah rekaman disusun untuk meyakinkan pihak laur negeri bahwa apa yang terjadi di Indonesia bukanlah aksi teroris. Kumpulan film BFI itu diberi nama Indonesian Fight for Freedom yang dikirim ke PBB dan ke berbagai Negara (hal. 353).

Pada tahun 1946, Belanda berhasil merebut Jakarta dan Pemerintah RI pindah ke Yogyakarta. Begitupun pusat kebudayaan yang baru terbentuk hijrah bersama Pemerintah RI ke Yogyakarta. Nama-nama seniman yang ikut pindah ke Yogyakarta ialah, Usmar Ismail, Suryo Sumanto, D.Djajakusuma, Gayus Siagian dan Hamidi T. Djamil. Di luar itu, bergabung juga penyair muda Asrul Sani. Dari sinilah ketergugahan Usmar terhadap pentingnya media film. Di mulai dengan diskusi film di Jalan Sumbing No. 5 Yogyakarta di mana Usmar terkesan pada kesadaran fungsi film yang diberikan Jepang.

Usmar Ismail melihat film sebagai media baru yang akan menjadi media seni mereka di kemudian hari. Hasrat besar kepada film menghantarkan Usmar, dkk untuk secara intensif mempelajari film termasuk mendirikan sekolah film Kino Drama (KDA)  yang didirikan oleh Dr. Huyung mantan serdadu Jepang asal Korea, D.Djajakusuma, D. Suradji, Kusbini dan lain-lain. Meskipun hidup sekolah ini singkat, namun telah berjasa besar dalam sejarah film Indonesia.

Di akhir Bab III muncul nama-nama seperti Djamaluddin Malik yang nantinya menjadi peletak dasar industri perfilman Indonesia di tahun 1950-an. Kemudian keterlibatan Usmar Ismail dalam South Pacific Film Corp. milik orang Belanda. Dalam South Pacific Film Corp. (SPFC) ini Usmar Ismail mengawali debut pertamanya dengan menyutradarai film Tjitra (1949) yang sebelumnya ia menjadi asisten sutradara, Andjar Asmara. Keterlibatan Usmar di SPFC ini memicu polemik yang menghebohkan dan bahkan tak masuk akal. Di bab III ini dijelaskan hal-ihwal alasan Usmar bergabung di SPFC. Menurut H. Misbach Yusa Biran, munculnya Usmar Ismail di studio Belanda SPFC adalah hal yang misterius. Hal ini disebabkan Usmar Ismail adalah seorang seniman pemikir, Mayor TNI, Ketua PWI, bagaimana tiba-tiba saja ia ada di studio ini? (hal. 361)

Mengenai keterlibatan Usmar di studio SPFC ini H. Misbach menulis bahwa Usmar dalam surat balasannya di surat kabar Duta Masyarakat edisi Minggu dalam rubrik “Muara”, Lembaran Kebudajaan, 29 Maret 1964, membantah tuduhan Sitor Situmorang yang sebelumnya dimuat di Bintang Timur, Maret 1964, bahwa Usmar Ismail telah bekerjasama dengan Belanda di masa revolusi dan Usmar dalam surat bantahannya menjelaskan bahwa alasan ia berada dan menyutradari film buatan studio SPFC adalah perintah untuk tetap tinggal di pos (hal. 363). Bab III ini ditutup dengan ketidakpastian dunia film Indonesia dengan diproduksinya film-film seperti Air Mata Dari Tjitarum pada tahun 1948. Tak lama setelah SPFC mulai produksi. Dalam tahun-tahun belakangan muncul kembali para produser-produser film di zaman sebelum pendudukan Jepang seperti Wong Brother’s dan The Teng Chun yang muncul dengan nama perusahaan baru Bintang Surabaya. Ia membuat dua film pada periode ini, Sapu Tangan (1949) dan Sehidup semati (1949). Di tahun-tahun terakhir revolusi, Usmar Ismail membuat dua film produksi SPFC seperti Tjitra (1949) yang ceritanya berasal dari naskah sandiwara yang ia tulis, dan Harta Karun, merupakan film kedua dan terakhir yang digarap Usmar Ismail di SPFC.

Di akhir Bab buku ini, penulis tidak mencantumkan pembuatan film Usmar Ismail, Darah dan Doa (1950) yang merupakan film produksi pertama PERFINI, perusahaan film yang ia bentuk sebagai perusahaan film milik pribumi yang pertama dalam sejarah dan hari syuting pertama film ini tanggal 30 Maret 1950 ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Selain itu, penulis juga tidak menuliskan tentang masa-masa terakhir di zaman revolusi dalam dunia film Indonesia. Transformasi bentuk film Indonesia yang dianggap lebih berhasil mendekati kelompok intelektual (baca: kelas menengah) Indonesia belum sempat dibahas. Jika jilid kedua buku ini terbit, maka penjelasan mengenai lahir dan berkembangnya perfilman bagi penonton kelas menengah di negeri ini diharapkan akan muncul.

Demikianlah ketakziman kita sebagai bagian dari masyarakat yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan dunia perfilman Indonesia dan semoga buku ini semakin memperkaya perbendaharaan mengenai penulisan historiografi bangsa Indonesia dan lebih khusus lagi sebuah catatan sejarah sosial dan budaya yang dinilai masih minim di bandingkan sejarah politik negeri ini. Hadirnya buku ini sangat penting dan membantu kita semua untuk kembali sejenak menengok konteks historis film Indonesia dan seminimalnya kita bisa memahami peta dan kondisi nyata dunia perfilman tanah air saat ini dan akan datang. Lalu apakah pencatatan historiografi film Indonesia ini secara arbitrer kita sebut sebagai dosa asal tak berampun? Mungkin tidak. Melalui buku ini diharapkan tergugahnya kesadaran anak bangsa yang mempunyai kecintaan terhadap film Indonesia untuk dapat lebih giat lagi dalam menghadirkan film-film yang memberikan pencerahan akal budi dan semakin memberikan sebuah tuntunan bagi bangsa ini seperti yang pernah dilakukan oleh Andjar Asmara yang terjun ke dunia toneel untuk memajukan toneel melajoe sebagai media yang efektif menuntun masyarakat. Dengan itu, stigma dosa asal (tak berampun) film Indonesia dapat diminimalisir atau dosa tersebut terhapus dalam jagat film Indonesia.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search