In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”] Laporan Akbar Yumni dari Kopenhagen

“Filem ini bukan untuk melihat ke belakang, tapi sangat mengerti melihat keterkaitan kejahatan pada kemanusian yang terjadi pada masyarakat Indonesia sekarang. Saya dengan bangga menyatakan DOX AWARD 2012… The Act of Killing!” demikian kata Edwin, salah satu juri asal Indonesia dalam sambutan pengumuman pemenang CPH:DOX 2012.

Acara penganugrahan penghargaan CPH:DOX itu diadakan dua hari sebelum penayangan akhir di venue-venue festival. Ini merupakan kekhasan dalam tradisi festival filem terbesar di Denmark ini. Pada waktu yang bersamaan dengan acara penganugerahan award, juga masih berlangsung penayangan-penayangan di beberapa tempat. Acara penganugerahan award malam itu, terbilang cukup sederhana, diadakan di Bremen Theatre pada 10 November 2012, tanpa embel-embel acara seremonial penuh bintang dan hiburan seperti yang banyak diperlihatkan festival filem di Indonesia. Namun sekiranya memang demikianlah sebuah festival filem dokumenter yang baik seharusnya berlangsung, dimana perihal artifisial yang tidak memiliki relevansi terhadap semangat ‘sinema’ dan festival memang tidak perlu dihadirkan.

CPH:DOX International Documentary Film Festival Copenhagen adalah festival filem dokumenter bertaraf internasional yang diadakan tiap tahun di Kopenhagen, Denmark. Festival ini menjadi salah satu ajang forum pertemuan pembuat filem dokumenter dan pelaku sinema dunia yang terbesar di kawasan Skandinavia. Festival CPH:DOX kali ini adalah yang ke-10 ini. Festival ini didirikan pada tahun 2003 sebagai bagian NatFilm Festival yang sudah dimulai pada tahun 1990 dengan beberapa kategori penghargaan yaitu; Dox Award, New Vision Award, Nordic Dox Award, Sound & Vision Award, Amnesty Award, dan Doc Allieance Award. Setiap gelaran, ada 100 lebih filem dokumentar dengan berbagai gaya yang dihadirkan. Selain itu, sebagai bagian dari perayaan festival, dalam CPH: DOX juga ada program bagi inisiastif gagasan filem dokumenter dengan gagasan seni di luar dirinya. Ada juga program yang membuka ruang antara para pembuat filem dokumenter, seniman, dalam memperbincangkan seni dokumenter dalam lingkaran sinema.

Sebagai sebuah festival filem, CPH: DOX secara sadar memproduksi pengetahuan dalam memaknai filem dokumenter. Pandangan terhadap pengertian dokumenter terus dikembangkan, seperti keluasaan ‘keperistiwaan’ yang sukar dipahami melalui hal-hal yang hanya bersifar sinematis. Hibriditas antara dokumentris dan fiksi menjadi ranah yang seringkali digali dalam karya-karya dokumenter yang muncul di festival ini. Dan semua dalam kerangka sinema. Beriringan dengan perkembangan stilistika sinema yang dimungkin, filem-filem yang ditayangkan di festival ini, memuat kemungkinan baru dalam dokumenter dengan kehadiran ‘seni’ dan medium lainnya. Peristiwa festival tidak sekedar peristiwa tontonan semata, ia menjadi fenomena gagasan, khususnya gagasan dokumenter, yang tiap tahunnya mereka terus renungkan. Mempertanyakan dan menginsyafi kepekaan batasan fiksi dan fakta “…berjalan di antara fakta dan fiksi, puitis dan personal, politis dan provokatif ” seperti yang tertulis dalam katalog festival.

Festival sebagai Sebuah Subyektifitas

Festival merupakan sebuah peristiwa penanda budaya yang penting. Selain sebagai indikator dari sebuah perkembangan estetika sinema, festival juga menjadi penanda sebuah subyektifitas dari semesta kebudayaan. Tidak heran, jika masing-masing festival filem di beberapa negara Eropa memiliki kekhasannya tersendiri. CPH: DOX membuka festival dengan memutar filem The Act of Killing. Filem yang memiliki latar cerita tragedi kemanusian paska September 1965 di Indonesia ini, menjadi filem unggulan diantara filem-filem lain. Selain itu, sambutan sambutan penonton pada filem ini sangat antusias. Pada pemutaran filem versi durasi 159 menit[i] di Grand Teatret, Joshua Oppenheimer, salah satu sutradara The Act of Killing hadir memberikan pengantar.

The Act of Killing oleh Joshua Oppenheimer

Work Hard – Play Hard (2011), oleh Carmen Losmann

Sebagai sebuah festival, CPH:DOX sangat terasa menjadi barometer perkembangan dokumenter dunia, dokumenter yang hadir dalam festival ini mayoritas sudah melepaskan diri dari sekedar ‘filem reportase’ atau produk jurnalistik yang masih banyak melekat dalam karya dokumenter di Indonesia. Ada beberapa filem yang menarik untuk diamati, seperti Work Hard – Play Hard (2011), karya Carmen Losmann, berkisah tentang sebuah perusahaan besar yang sedang memberikan tantangan pada para pekerjanya untuk sebuah inovasi dalam semangat kerja. Filem ini nampak semacam sebuah produk public relation sebuah perusahaan, atau dokumenter yang mengangkat isu-isu yang biasa saja. Namun dengan kemampuan menemukan bahasa-bahasa baru dalam sinematografi, filem ini dapat hadir ‘tidak biasa’ dengan menghadirkan rekaman-rekaman dokumenter layaknya sebuah reality show di televisi.

The Expedition to The End of The World (2012) oleh Daniel Dencik

Marina Abramovic: The Artist Is Present (2012) oleh Matthew Akers

Pada The Expedition to The End of The World (2012), karya sutradara Daniel Dencik, menghadirkan sebuah dokumentasi perjalanan sebuah kapal layar seorang ilmuwan geologi, yang sedang meneliti lingkungan di Timur Laut Greenland. Dalam perjalanan tersebuat juga turut serta para seniman untuk mempertanyakan tentang eksistensi alam. Secara umum tema dokumenter ini semacam jurnalisme televisi, namun kehadiaran seniman yang mungkin secara sengaja ditempatkan oleh sang sutradara, membuat dialog dalam dokumenter ini tidak saja merenungkan tentang alam dalam cara pandang ilmuwan semata, namun renungan tentang kemanusiaan. Beberapa adegan ketegangan membuat dramatisasi, sehingga rekaman perjalanan menjadi terkontruksi secara naratif. Stilistika sinema dalam The Expedition to The End of The World, merupakan perkembangan kontemporer dokumenter. Penggunaan lanskap yang berbeda jika disandingkan dengan latar yang sama seperti Nonook of The North (1922) karya Robert J. Flaherty. Beberapa bidikan pemandangan mengedepankan imajinasi fotografis dengan tekstur pegunungan, lautan es sebagai dramtisasi. Bisa dikatakan, lanskap dimaknai sebagai renungan alam akan kemanusiaan. Sedangkan pada Flaherty lebih dekat pada buku harian perjalanan, yang dikonstruksi ulang secara romantik.

Filem yang lainnya adalah Marina Abramovic: The Artist Is Present (2012), karya sutradara Matthew Akers. Filem ini merupakan dokumentasi perjalanan seniman performans ternama, Marina Abrmovic selama 40 tahun karirnya yang berujung pada karyanya The Artist is Present yang presentasikan di MoMA (The Museum of Modern Art) New York. Pada performans The Artist is Present, Abramovic melakukan performans selama tiga bulan (Maret – Mei 2010). Sutradara berhasil menjembatani peristiwa performans Abramovic, melalui bidikan kamera, editing, tanpa menghilangkan ‘keperistiwaan dan ‘kehadiran’ sebagai esensi seni performans. Performans Abramovic seakan hadir dihadapan penonton. Hal ini terlihat jelas pada penayangan filem ini di Club I Teater Grob. Dalam rekaman filem, tampak pengunjung yang antri bergiliran untuk menjadi relawan performans, duduk berhadapan langsung Marina, menghadirkan eskpresi menangis, bahagia dan lain sebagainya. Ekspresi yang sama juga terjadi di Club I Teater Grob.

This Is My Family, oleh Frederick Kigozi

Selain pemutaran filem-filem dokumenter, ada juga program DOX:LAB merupakan sebuah rancangan bersama membuat dokumenter dengan budget kecil. Lab ini membuka ruang pada bentuk sinema pada latar belakan dan metedologi. Selain itu ada juga CPH:FORUM yang memberikan ruang dialog pada hibriditas pergulatan antara fiksi dan non fiksi dalam filem dokumenter. Sebagai sebuah forum, CPH: FORUM menciptakan ruang bagi kelahiran potensi dan bakat filem, khususnya bagi sebuah partisipasi baru dalam proses dokumenter dalam persinggungannya terhadap realitas. Salah satu karya yang menarik pada program ini adalah This Is My Family, karya Frederick Kigozi dari Denmark, yang berkisah tentang kompleksitas permasalahan tokoh Dick dan Mutesa yang berasal dari satu bapak dan dua ibu yang berbeda. Selain itu ada juga karya sutradara Indonesia, Edwin, yang berkolaborasi bersama Thomas Ostbye sutradara asal Norwegia, yang menghadirkan filem 17.000 Islands, namun sayang kami tidak sempat menyaksikan karena keterlambatan kedatangan di Kopenhagen. Ada juga program ART: FILM, yang membaca perkebangan filem sebagai seni visual. Program ini menghadirkan dua sutradara Ben Rivers dan Ben Russel yang menceritakan tentang projek filem mereka bersama.

CPH: DOX sebagai Peristiwa Kota

Kopenhagen memang sebuah kota kecil, namun CPH: DOX sudah menjadi peristiwa kota. Bukan hanya banner festival yang terlihat mulai dari bis umum, pamflet di beberapa sudut kota, spanduk, sampai layar publik di sebuah gedung, festival ini juga banyak dihadiri oleh warga kota dari berbagai kalangan. Sebagai sebuah kota di Eropa yang cukup tua, Konpenhagen memang banyak menawarkan acara hiburan, dari musik sampai filem Hollywood, namun kehadiran festival CPH: DOX sungguh juga tidak kalah diminati oleh warga kota. Menariknya, mereka para warga kota Kopenhagen adalah warga kota yang sadar akan sebuah tontonan dan kebudayaan, jadi tidak aneh penonton yang selalu membeli tiket. Tentu saja sebuah hal yang berbeda jika kita sandingkan dengan fenomena penonton beberapa festival filem yang ada di Indonesia.

Festival CPH: DOX sendiri adalah sebuah semangat independensi dari kebudayaan. Namun sebagai peristiwa kota, di peron-peron tiket penayangan, antrian para penonton dipenuhi mulai dari kalangan remaja sampai dengan para manula. Hal ini menandakan bahwa festival dokumenter sebagai bagian dari kesadaran masyarakat kota Kopenhagen, yang cukup memiliki apresiasi terhadap estetika kebudayaan yang besar. Nyaris tidak ada beda, menyandingkan sebuah kebudayaan populer dan kebudayaan yang macam kanonik seperti CPH: DOX, semua tingkat apresiasi masyarakat merata. Begitu pula dengan kemasan festival yang cukup menarik, mulai dari informasi pemutaran, lembar peta yang menunjukkan letak venue, katalogus, dan lain sebagainya, semua perihal informasi sangat memudahkan bagi kami para pendatang menjadi mudah mendapatkan panduan.

Sekitar 30 an lebih tempat berlangsungnya peristiwa festival CPH: DOX ke-10. Venue tempat pemutaran festival yang dianggap terbesar di negara Skandinavia ini, sebenarnya tidak semua berupa bioskop, dan tersebar di beberapa tengah dan sudut kota. Beberapa venue juga melibatkan kafe seperti di Dox: Club I Teater Grob. Kafe tersebut nampak kecil dari pintu masuknya, hanya ada 3 atau empat meja, namun di belakang kafe terdapat tempat pertunjukkan, dengan kursi yang berjajar bagai bioskop. Beberapa pemutaran di Dox: Club I Teater Grob selalu ramai, sehingga tempat antrian penonton menunggu pertunjukkan yang berada di kafe tersebut nampak sesak. Hal ini memperlihatkan antusias menonton masyarakat Kopenhagen yang cukup tinggi untuk karya-karya filem dokumenter pada festival CPH: DOX kali ini. Pengalaman menonton walau di venue pemutaran pada sebuah kafe, namun kami tetap menonton filem dokumenter di tempat tersebut layaknya sebuah tradisi sinema, dengan pelayanan yang dibungkus cukup nyaman, pelayanan tiket karcis yang cepat.

Hampir semua bioskop besar di Kopenhagen, ikut terlibat sebagai venue festival. Salah satu di antara bioskop yang menarik bioskop Dagmar Teatret (Dagmar Theater). Bioskop ini bagi kami sangat berkesan, karena bioskop yang dibuka pada 15 Maret 1939 ini, pernah diambil alih sutradara ternama dunia asal Denmark, Carl Th. Dreyer pada 18 April 1952. Pintu masuk pada bioskop Dagmar ini terdapat café yang lebih dulu hadir sebelum akhirnya menjadi cikal bakal dari bioskop. Dagmar Teatret memang tempat bersejarah, sebagaimana halnya para bangunan tua yang masih banyak berdiri dan selalu difungsikan bagi Kopenhagen.

Tidak ketinggalan pihak museum di Statens Museum for Kunst Kopenhagen, sampai dengan kebun binatang di Zoo Kopenhagen pun turut serta berpartisipasi sebagai venue di CPH: DOX ini. Tentu masih banyak latar sosial dan budaya yang beragam sebagai venue dalam festival dokumenter ini, yang kami sendiri kurang beruntung bisa hadir di banyak venue tersebut.

The Act of Killing; Bahasan Tentang Mimpi Sebagai Sebuah Perluasan Stilistika Dokumenter

Malam penganugerahan penghargaan adalah momen yang cukup dinantikan dalam setiap festival. Filem pemenang dalam sebuah festival, akan menjadi bukan hanya menjadi prestise dari sebuah festival, namun akan menjadi sebuah bacaan terhadap subyektifitas, bahkan ideologi estetika sinema macam apa yang dibangun dalam sebuah festival. Pada CPH:DOX kali ini, pemenang DOX AWARD filem The Act of Killing, karya sutradara Joshua Oppenheimer.

Joshua Oppenheimer

Antusias penonton pada filem ini cukup tinggi, terlihat pada beberapa sesi pemutaran, bangku penonton selalu terpenuhi. Meski nyaris tidak kebagian tiket menonton, kami pun yang akhirnya berkesempatan menonton filem tersebut, di hari terkahir penayangan versi 159 menit filem The Act of Killing. Layaknya sebuah kine klub, penayangan filem ini pun di awali oleh kata sambutan oleh sang sutradara, Joshua Oppenheimer, sebagai jembatan sang pembuat filem menyapa para penontonnya. Sang sutradara menyampaikan pengantar dan menceritakan ketidaknyamanannya pada persoalan yang melatar-belakangi tema filem ini.

Perluasan stilistika sinematografis dokumenter, sekiranya bisa dilihat dari perkembangan isu yang semakin luas diangkat oleh para pembuat filem dokumenter. Tema-tema macam sejarah, trauma, dan mimpi, adalah bidang bahasan yang cukup baru dalam perkembangan filem dokumenter. Sebagai lingkar sinema, film dokumenter sesungguhnya tidak bisa terpisah darinya. Pengertian fiksi dan realitas, bukan sebuah perdebatan dalam pengertian filem dokumenter itu sendiri. Perkembangan stilistika dalam perluangan bidang dokumenter, adalah menyingkap realitas yang paling sulit dijangkau melalui bahasa estetikanya. Dalam hal ini, The Act of Killing, adalah usaha merekam secara dokumentris tentang mimpi, trauma, atau bahkan tentang ‘ada’ (ontolgi), sebagai sesuatu yang paling esensi dalam bahasan falsafah tentang realitas. Sekiranya, sinema, khususnya sinema dokumenter, bisa menjadi cara pandang baru dalam merenungkan realitas. Tabik.


[i] The Act of Killing memiliki dua versi durasi, 115 menit dan 159 menit.

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]
Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search