In Artikel, Berita/Liputan, Pameran

Jikalau Anda sempat menerakan nomor telepon seluler pribadi Anda di buku tamu pameran bertajuk “Following”, salah satu acara dalam rangkaian peristiwa seni yang sedang diselenggarakan oleh OK. Video – Indonesia Media Arts Festival tahun ini di Galeri Nasional Indonesia, bisa jadi Anda adalah salah seorang yang sudah menerima sebuah pesan singkat melalui SMS (Short Message Service), berisi penggalan kalimat Ugeng T. Moetidjo: “Senirupa yang biasa kita kenal umumnya berkutat pada soal representasi, sedangkan senirupa multimedia lebih mungkin dilihat dalam presentasi.”1 Kalimat ini adalah penanda zaman dalam sejarah senirupa Indonesia—menyusul penanda-penanda terdahulu yang dengan sadar telah dicanangkan oleh Festival OK. Video dan beberapa kolektif seni lainnya sejak tahun 2000—karena pada saat itulah wacana untuk mengidentifikasi praktik-praktik kontemporer yang bersinggungan dengan teknologi secara lebih filosofis diperbincangkan dalam rangka memformulasikan gagasan “narasi mekanik” dan “narasi teknologis” sebagai pelengkap gagasan “narasi politis”.

Mahardika Yudha, saat memberikan sambutan kuratorial pada pembukaan Pameran "Following", Galeri Nasional Indonesia, 9 Februari, 2017.

Andang Kelana adalah seniman yang mengirim pesan tersebut. Karena ulahnya yang sedikit meng-copy praktik penipuan bermodus SMS “mama minta pulsa” itu, kita yang menerima SMS Andang, mau tak mau, tetap menjadi bagian dari pusaran peristiwa pameran meskipun sudah tidak lagi berada di dalam lingkungan Galeri Nasional Indonesia. Dalam konteks itu, karya Andang mengajak kita untuk “mengalami” daripada sekadar “mencerapi” karya imaterialnya.2 SMS Andang setidaknya memicu refleksi kritis terhadap salah satu isu media saat ini, yaitu fenomena tentang ratusan (atau mungkin ribuan, bahkan jutaan) konten disinformatif yang setiap hari dikirimkan oleh oknum-oknum pemegang kendali mesin informasi. Karena kesukarelaan kita yang tanpa curiga terlanjur memberikan informasi pribadi (nomor telepon kita sendiri) kepada pihak lain, konten-konten yang belum tentu kita inginkan kemudian menyusup ke dalam gawai elektronik yang tersimpan di kantong celana atau tas pribadi kita masing-masing tanpa adanya daya dari kita untuk menolaknya.3

"Message Inception" (2017) karya Andang Kelana.

Karya Andang yang berjudul Message Inception (2017) itu adalah salah satu dari tiga belas karya seni media, dari tiga belas seniman,­ yang dikurasi oleh Mahardika Yudha untuk Pameran “Following” (tapi tak ada seorang pun seniman perempuan di dalamnya). Berlangsung dari tanggal 9 sampai 21 Februari, 2017, pameran ini membingkai lanskap praktik seni media di Indonesia yang sudah membentang sejak lebih dari satu dekade silam. Mulai dari karya yang masih menerapkan praktik analog, found object, atau yang memilih gaya ungkap berdasarkan pemetaan terhadap pengalaman personal, hingga karya yang benar-benar memanfaatkan kecanggihan teknologi digital dan komputer untuk menghasilkan kejutan-kejutan visual. Pada satu sisi, saya memandang bahwa pameran ini mencerminkan matangnya wacana seni Indonesia dalam mengartikulasikan persinggungan antara fenomena media, teknologi, dan kesenian, yang kini diabstraksikan ke dalam terma “seni media” (tanpa embel-embel “multi-“). Tapi di sisi yang lain, sebagaimana yang akan saya coba jelaskan nanti, pameran ini juga tengah menunjukkan kejenuhan tertentu yang menandakan adanya krisis berkesenian di Indonesia pada era bermedia saat ini yang, pada faktanya, situasinya telah banyak berubah sejak pertama kali Festival OK. Video dicanangkan.

***

Semua seniman dalam Pameran “Following”, juga kurator pamerannya, tak bisa dipungkiri merupakan pelaku-pelaku seni yang posisi tawarnya lahir dari wacana yang dibangun oleh OK. Video. Festival ini pertama kali digagas ruangrupa pada tahun 2003 dan sampai sekarang diselenggarakan setiap dua tahun sekali, untuk memetakan bagaimana perubahan, apa perbedaan, dan ke mana kemungkinan arah perkembangan seni di Indonesia pasca-Reformasi. Berangkat dari perayaan atas subversifitas yang muncul dari kaum muda yang dipengaruhi MTV dan program komputer, pegiat festival ini sejak awal membuktikan bahwa di negeri kita, “berkolaborasinya seni dan teknologi…bukan lagi wacana teoritis belaka”4 dan tanpa tedeng aling-aling menggebuk generasi sepuh dari masa sebelumnya dengan pernyataan bahwa video (juga teknologi elektronik lainnya) bukanlah “alat lukis”. Kaidah-kaidah rupa, film, desain, musik, dan pertunjukan melebur dalam suatu multipraktik yang lestari karena adanya kesadaran terhadap perubahan-perubahan paradigma berbagai disiplin pengetahuan.

Pameran “Following” adalah suatu enclosure yang melaluinya kita dapat membaca lagi apa-apa saja yang telah dipersoalkan oleh seniman-seniman ini untuk mematangkan seni media di Indonesia.

Iqra (2005) dan Hoax Machine (2017) karya Ari Satria Darma di Pameran "Following" (Foto diakses dari Instagram @turnleftaftersundaymarket).

Karya Ari Satria Darma yang berjudul Iqra (2005), misalnya, turut dihadirkan dalam pameran ini bersama dengan sketsa (visual script) video tersebut, yang diletakkan berdekatan dengan seri karya video barunya yang berjudul Hoax Machine (2017). Lima di antaranya ditayangkan dalam lima monitor berbeda yang disusun sejajar, sedangkan satu sisanya diproyeksikan melalui proyektor. Ari adalah salah satu yang terpenting untuk ditarik, untuk mewakili bagaimana generasi yang besar di era 90-an menemukan sumber pemicunya dalam berkarya. Dalam tradisi dan sejarah seni video di Indonesia yang telah diformulasikan oleh Hafiz Rancajale,5 Ari bisa disebut sebagai seniman yang berkembang pada fase keenam dalam perkembangan seni video, yaitu mereka yang berkarya dengan kesadaran terhadap bahasa animasi, komputer, dan imaji digital. Karya Ari adalah salah satu contoh yang memanifestasikan bagaimana seni video di Indonesia—bidang spesifik yang kemudian mengantarkan kita kepada wacana seni media saat ini—secara esensial mampu berkembang dan menemukan relevansi kulturalnya sendiri tanpa terbebani oleh gagasan yang dibangun oleh bapak seni video.6

Disconnect (2008) dan x1.mp4 (2017) karya Oomleo. (Foto diakses dari Instagram @turnleftaftersundaymarket).

Sementara karya video animasi pixel yang dibuat oleh Narpati Awangga juga membawa semangat yang sama dengan karya video Ari, puluhan teks di atas kertas yang ditempel di dinding oleh seniman yang akrab dipanggil Oomleo itu, melayangkan kritik-kritik jenaka dengan cara yang justru mengamini “logika disinformatif media”. Lembaran-lembaran berisi dialog tanya-jawab yang terasa tak nyambung itu merepresentasikan bagaimana kengauran budaya komunikasi masa kini telah menjadi suatu kelumrahan di benak masyarakat. Rangkaian dua karya Oomleo, x1.mp4 (2017) dan Disconnect (2008), itu juga mengingatkan kita pada gaya berkesenian yang selama ini melekat pada diri Oomleo: komunikasi ala Komtok. Dapat dikatakan, Oomleo adalah seniman yang menaruh parhatian pada bagaimana era “arbitrari” menggeser status quo dari era kronologis, baik dari segi pengertian yang berhubungan dengan kebutuhan naratif konvensional maupun logika bahasa media baru (yakni arbitrary sequence), sebagaimana halnya era digital menyudutkan era analog.

Kun Fayakun (2017) karya Gelar Soemantri. (Foto diakses dari Instagram @ginasoemantri).

Sikap arbitrer ini, seturut dengan ide tentang “struktur fraktal” pada media baru, juga dapat kita tangkap dalam Kun Fayakun (2017) milik Gelar Soemantri. Menyeleksi ratusan image dari internet, lalu mengintervensinya lewat penambahan efek yang disediakan oleh peranti lunak, Gelar mencoba menggeser makna-makna simbolik dari ikon-ikon yang ia comot dari internet, baik yang berasal dari ranah populer maupun ranah senirupa sendiri. Lewat karya ini, Gelar tidak hanya sadar bahwa ribuan image yang sudah terdigitalisasi itu telah kehilangan daya auratiknya, tetapi juga sadar terhadap celah-celah yang dikandung masing-masing image tersebut: intervensi substansial atas image, walau tak akan mengubah pokok-pokok atomik dari masing-masing image yang sesunggunya independen satu sama lainnya itu, memiliki kemungkinan untuk menyimpangkan ke arah yang paling ekstrem makna konsensus dari visual yang biasa kita temukan pada image tersebut.

Tidak Hadir Karena Bekerja Di Rumah (2017) karya Ari Dina Krestiawan. (Foto diakses dari Instagram @followingexhibition).

Sementara itu, karya Ari Dina Krestiawan, Tidak Hadir Karena Bekerja Di Rumah (2017), memadukan teks digital berupa transkrip percakapan di grup Whatsapp sepanjang 20 halaman yang dipajang menggunakan komputer tablet, bersamaan dengan peta yang digambar manual di atas dinding, fotografi yang diletakkan di atas lantai, video-video yang diproyeksikan ke beberapa sisi (bahkan ke langit-langit galeri), serta jalur kabel dan lampu yang berfungsi untuk menerangi lembaran-lembaran foto, sebagai suatu rangkaian instalasi yang dimaksudkan untuk memaparkan hasil penelitian si seniman mengenai pengalaman personalnya sehari-hari. Masing-masing elemen itu hadir menjadi bagian dari artistik karya, saling berkaitan dan saling menopang gagasan utama yang tengah dibicarakan Ari Dina. Karya instalasi ini membingkai persoalan “seni”, “media”, dan “seni media” baik dari segi bentuk penyajiannya, isu yang diangkatnya, maupun dari konteks bagaimana masing-masing medium itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Motif hadirnya aplikasi yang memfasilitasi grup percakapan di telepon pintar kita hari ini, contohnya, tak bisa dilepaskan dari konteks bagaimana manusia berupaya menyiasati kendala geografis dan waktu, demi memenuhi kebutuhan untuk tetap dapat berkomunikasi dan bersosialisasi seefisien mungkin; dan kendala-kendala itu pulalah yang kenyataannya merupakan faktor utama yang mengubah bentuk-bentuk praktik berkesenian kita di zaman sekarang: tata kelola kota yang tak manusiawi mendorong si seniman mengubah rumahnya sendiri menjadi tempat kerja, dan menciutkan ruang sosialnya ke dalam lingkup layar monitor telepon genggam saja.

Distance (2017) karya Adel Pasha. (Foto diakses dari Instagram @turnleftaftersundaymarket).
Surrounded (2017) karya Ricky 'Babay' Janitra. (Foto diakses dari Instagram @oribahroni).

Instalasi berjudul Distance (2017) karya Adel Pasha dan Surrounded (2017) karya Ricky ‘Babay’ Janitra mengajak pengunjung untuk merasakan sensasi terpaan cahaya dari visual gambar bergerak yang dihadirkan secara “melingkar”; masing-masing karya seolah mengundang penonton untuk berdiri ke tengah ruangan, dikelilingi oleh gambar bergerak. Sementara karya Adel memanfaatkan kain putih panjang sebagai strategi puitiknya untuk mereduksi fokus kita terhadap impresi elektronis, Babay justru menegaskan kehadiran monitor-monitor sebagai pembeda ruang. Adel menyiasati bagaimana terpaan cahaya dari proyektor yang menerjang tubuh pengunjung pameran dapat menghasilkan perpaduan tertentu pada ruang—sehingga melengkapi artistik karyanya. Sedangkan pada karya Babay, “ruang elektronis” terbangun sebagai suatu arena yang berbeda, yang seolah mengantarkan kita pada kesadaran akan suatu sistem pemantauan. Kedua karya ini masih tetap mempertahankan jarak tertentu antara karya dan publiknya; mereka belum beranjak dari realitas fisik aktual yang semestinya sangat mungkin untuk ditinggalkan. Kebutuhan yang berbeda dapat kita maklumi pada karya Aditya Fachrizal Hafiz a.k.a GOOODIT, Gelap Terang (2017), karena kehadiran realitas fisik aktual—atau setidaknya kepekaan atas hal itu—merupakan suatu motif yang tak dapat dielakkan. Dari segi sifat dan bentuk karyanya, karya GOOODIT memang bukan perihal layar, tetapi terpaan cahaya lampu kelap-kelip yang demikian cepat menjadi suatu cara si seniman untuk mengupayakan performativitas teknologi meskipun keberadaan tumpukan TV di salah satu sisi ruangan, tempat karya ini dipertunjukkan, hanya berfungsi sebagai secuil kode yang merelasikan ranah pengalaman sosial atas benda tersebut, ketimbang sebagai suatu polemik yang menerawang perbincangan tentang “mesin besar”. Selain itu, performance yang dilakukan GOOODIT agaknya kehilangan konteks dengan eksistensi galeri yang menjadi tempat peristiwanya. Bagaimanapun, ketiga karya ini mengindikasikan suatu perhatian yang spesifik terhadap kemungkinan-kemungkinan eksperimen dalam mengemas relasi-relasi sosial yang ada di sekitar teknologi tersebut sebagai sebuah performa yang dibingkai dalam kerangka seni.

Clever Box (2017) karya Gelar Soemantri. (Foto diakses dari Instagram @followingexhibition).

Karya yang berkutat dengan bunyi, Clever Box (2017)-nya Gelar Soemantri dan soundscape-nya Mahesa Almeida, berjudul Sara Bara Club 2.0 (2017), mengupayakan perbincangan tidak hanya tentang bunyi itu sendiri, tetapi juga tentang persoalan media dalam konteks yang jauh lebih luas. Gelar mencoba menghubungkan aspek historis bangunan galeri, sosio-kontemporer konsumen dalam kaitannya dengan produk massal, dan sisa-sisa dari pertikaian global Perang Dingin. Ketiga aspek ini menjadi sebuah rangkuman yang dicoba dipilah si seniman untuk mengembalikan ingatan kita tentang bagaimana, pada perjalanannya, teknologi lebih banyak memainkan peran aktif dalam menentukan bentuk interaksi masyarakat daripada hanya menjadi objek untuk membantu kemudahan manusia. Sedangkan pada karya Mahesa, bunyi yang telah ditransformasikan menjadi audio tersebut setidaknya menggapai ruang citra mental pendengar. Merangsang pengunjung pameran untuk mengimajinasikan suatu rangkaian imajinasi visual tertentu berdasarkan wawasan masing-masing orang. Yang penting di sini ialah, ruang tempat audio itu diletakkan tidak hanya bertujuan untuk memadatkan area dengar pengunjung, tetapi juga sebagai cara untuk memicu motif tersebut.

PAL/NTSC/SECAM (2017) karya Adhari Donora. (Foto diakses dari Instagram @followingexhibition).

Adhari Donora sepenuhnya menggunakan perangkat analog untuk mengetengahkan glitch dari medium video sebagai suatu potensi yang memiliki tujuan estetik. Alasan hadirnya kotak TV yang fungsi visual dan suaranya sengaja diganggu menggunakan suatu sirkuit elektronik itu di dalam pameran ini, tentunya bukan hanya untuk sekadar melengkapi kebutuhan kuratorial yang mencoba menyoroti perkembangan wacana seni media di Indonesia secara kronologis (bukan semata “pameran sejarah” dari analog ke digital). Lebih dari itu, karya yang berjudul PAL/NTSC/SECAM (2017) ini tetap memiliki relevansinya di tengah-tengah ledakan karya-karya anekadigital zaman sekarang. Jika ia dibuat pada zaman sebelumnya, yakni ketika TV dan penguasa rezim terdahulu adalah musuh utama para seniman media, agaknya karya itu akan membawa “narasi politis”. Tapi kini, meskipun menggunakan analog, saya berpendapat bahwa praktik yang diterapkan Adhari Donora sesungguhnya tetap menggemakan gagasan yang kerap diusung oleh “seni peranti lunak” (lawan dari “seni peranti keras”, yang umumnya analog), yakni kehendak untuk “mendekonstruksi mitos kemajuan linear dan mengakhiri usaha pencarian gelas suci dari suatu teknologi yang sempurna.”7 Terlebih jika kita mencoba memahami letak karya tersebut yang berdekatan dengan karya instalatif milik MG Pringgotono, bahwa “kekacaubalauan” visual dan bunyi dari karya Adhari seolah mengamini deklarasi Menkman: “glitch…mendoakan kematian aparatus, medium atau alat”8 tertentu yang telah menikmati kedigdayaannya sendiri di masa lampau. Agaknya, terdapat suatu simpangan dialektika yang dicoba untuk dihadirkan secara terbalik oleh kurator: narasi seni media sekarang justru akan menemukan esensinya tatkala dibenturkan oleh artefak dari media lama.

MG Pringgotono sedang menjelaskan karyanya, Hello Future, I'm Data (2017).

Demikian halnya “narasi teknologis” yang dapat kita ungkai terkait Hello Future, I’m Data (2017) karya MG Pringgotono. Mengadopsi ide visualisasi dari Shadows-nya Christian Boltanski, benda yang dibentuk seperti wayang oleh si seniman dengan menggunakan 3D pen itu diletakkan di atas sebuah rakitan mesin sehingga dapat bergerak berputar.9 Di belakangnya, cahaya lampu ditembakkan sehingga bayangan wayang itu terproyeksi ke dinding galeri menjadi gambar bergerak. Karya ini sekelabat akan mengingatkan kita pada kisah lukisan gua di zaman purba, tapi agaknya lebih tepat (dalam tataran yang lebih filosofis) adalah Gua Plato. Ini adalah sebuah kata kunci yang patut digunakan untuk memahami fenomena media (baru). Secara visual, wayang MG hadir sebagai suatu lukisan bergerak di dinding, kalau tak cukup untuk menyebutnya sebagai sebuah panorama. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan teori Lev Manovich yang mencoba menapaki dari mana tradisi simulasi, yang menjadi karakter dunia virtual itu, bermula—yang jawabannya adalah fresco, lalu peralihan bentuknya akan ditemukan pada karya-karya panorama abad ke-19, sebelum menuju VR di masa sekarang10—kita akan melihat keterkaitan antara gagasan yang dibingkai oleh MG dan karakteristik dari era di mana media baru merajalela. Pada konteks ini, Gua Plato tampaknya menjadi metode berpikir yang equivalen dengan ide “masyarakat kontrol” yang diketengahkan Deleuze,11 yakni tentang suatu kondisi keterpenjaraan atau kontrol tanpa adanya kesadaran dalam diri individu-individu terhadap kontrol yang berlangsung. Jikalau alegori gua menyoroti masalah kesadaran yang terpenjara lewat simulasi (visual), Masyarakat Kontrol-nya Deleuze mengingatkan kita tentang kontrol-diri masyarakat lewat bahasa data dan kode-kode. Dalam hal ini, konten wayang milik MG yang berisi jargon-jargon dunia internet, menurut saya, merepresentasikan ide tersebut.

Orkes Buah-buahan (2017) karya Budi Prakosa.
Sejarah Berjejaring (2017) karya Adityo Pratomo.

Dengan demikian, Orkes Buah-buahan (2017) karya Budi Prakosa dan Sejarah Berjejaring (2017) karya Adityo Pratomo dapat dipahami sebagai suatu lompatan—bukan dalam artian linear, tetapi paralel—dari gerak berkesenian media kita sekarang, karena pada karya mereka, data telah diyakini memiliki attitude dan kemungkinan bahasanya sendiri, yang berbeda dengan apa yang dapat ditawarkan oleh medium-medium lainnya. Mungkin memang masih dini untuk dapat melegitimasi “data” sebagai “medium” dalam konteks wacana seni media di Indonesia, tetapi kepekaan kedua seniman ini mengindikasikan dan membuktikan bahwa data juga merupakan elemen transmisi dan ekspresi, yang hanya melalui pemahaman terhadap sifat dasarnyalah kita baru bisa mengidentifikasi material dan cara yang digunakan kedua seniman ini dalam berkarya. Meskipun belum cukup berhasil menyajikan bentuk visual dan kehadiran benda yang secara tegas memicu suatu exstasis12 baru dan berbeda dengan kemungkinan-kemungkinan bentuk yang telah dihadirkan oleh jenis-jenis karya lainnya dalam pameran ini, karya kedua seniman tersebut telah memenuhi keterwakilan dan kebutuhan zamannya, yakni hari ini, ketika data lebih dipandang sebagai polemik ketubuhan daripada semata objek yang berjarak dari manusia.

***

Kini, kita harus menggarisbawahi lagi bahwa “seni media” bukanlah semata-mata praktik berkesenian yang hanya menggunakan kecanggihan “teknologi media”. Seni media adalah “seni (tentang) sistem”, seni yang mendekonstruksi secara terus-menerus pemahaman kita terhadap konstruksi-konstruksi artifisial yang direpetisikan oleh manusia sehari-hari. Penyematan kata “media” berarti merujuk pada gejala-gejala diskursif dan proses-proses relasional dari berbagai aspek kehidupan yang membentuk persepsi kita tentang dunia.13

Pada kehidupan sehari-hari kita sekarang, media tak lagi hadir sebagai sesuatu yang digunakan dan diperbincangkan dalam sekat-sekat ruang yang fisik, karena semuanya telah melebur di dalam Dunia Lian yang, menariknya, telah terbukti dapat disajikan oleh media itu sendiri sebagai sesuatu yang bahkan melampaui “riil”. Dalam konteks ini, Dunia Lian bukanlah “dunia imajinasi” atau “dunia terawang” yang dimaknai melalui benak, tetapi benar-benar hadir untuk dialami oleh tubuh dan psikis manusia, secara langsung, dan tanpa terpisah-pisah satu sama lainnya; komunikasi telah menjadi sebuah aktivitas yang cakupannya “melebihi” rentang waktu 24 jam. Dengan kata lain, sebagaimana “seni multimedia”, maka “seni media” juga tidak lagi berkutat pada hal “psikoartistik”14 belaka.

Suasana pameran pada malam pembukaan Pameran "Following".

Namun, jika hanya berhasil beranjak dari sindrom psikoartistik itu saja, tentulah seni media kita akan dengan segera mencapai titik jenuhnya. Sebab, perkembangan teknologi media dan bagaimana manusia menanggapi kehadiran teknologi itu, pada saat ini, berrevolusi dalam suatu percepatan yang bahkan tampaknya tak akan mampu lagi disaingi oleh seni. Contohnya, tiga tahun setelah OK. Video berandai-andai untuk merealisasikan apa yang dicita-citakan oleh Nam June Paik tentang “era seniman yang memiliki kanal-kanalnya sendiri”,15 inovasi teknologi media baru justru merealisasikan hal yang jauh lebih progresif: semua orang (bukan hanya seniman) bisa mengelola kanalnya sendiri, dan raksasa industri media sekarang telah membuat situasi tersebut menjadi “ledakan media vernakular” yang bukan lagi hanya sebuah asumsi.16 Berita baiknya, kita kini hidup di masa yang semuanya “serba artistik”, mudah akses, penuh inovasi-inovasi, dan komedi-komedi, era yang dapat memproduksi eksperimentasi-eksperimentasi oleh warga awam yang output-output-nya kebanyakan bahkan belum pernah terpikirkan oleh ranah kesenian. Berita buruknya, situasi ini tampaknya menghasilkan suatu krisis bagi para seniman: sebuah karya iseng di media sosial tidak jarang lebih mengungguli apa yang dibuat oleh para seniman. Dengan kata lain, urgensi seni media kita ialah tentang “mental teknologis”, suatu paradigma yang perlu segera diformulasikan untuk melengkapi gagasan “narasi mekanik/teknologis” dan “narasi politis” yang telah dirumuskan oleh pemikir-pemikir terdahulu.

Publikasi Pameran “Following” yang mengumumkan himbauan bagi publik pamerannya untuk mendokumentasikan pengalaman mereka saat melihat pameran dan mengunggahnya ke media sosial, adalah satu persoalan yang saya pikir cukup menarik untuk diperbincangkan. Menurut saya, hal ini justru menunjukkan kegagapan seni media kita saat ini dalam menghadapi fenomena media kontemporer. Kita boleh saja memahaminya bahwa barangkali itu menjadi sebuah strategi untuk mendukung usaha pemetaan lebih lanjut mengenai fenomena pengguna media sosial yang marak “menggarap” dan “merespon” peristiwa-peristiwa kesenian karena kecenderungan narsistik yang lekat pada diri setiap netizen, di belahan dunia mana pun (dan karena itu, benar kiranya untuk meninjau bagaimana materi-materi, atau image dari seni itu, bersirkulasi di Dunia Lian ini). Akan tetapi, dengan membebankannya sebagai “aturan main” dalam konteks pameran, bukankah itu sama saja dengan tirani bagi “demokrasi” yang ditawarkan media sosial? Jika boleh diperbandingkan, rasanya tak mungkin Paik mengharuskan penonton televisi untuk menyetel stasiun WNET supaya bisa melihat proyek “Good Morning, Mr. Orwell”-nya. “Sabotase sistem” yang ia bayangkan dalam rangka meluaskan kritisisme terhadap media massa merupakan suatu proyek yang justru menjadi esensial sebagai karya seni karena Paik memposisikan “reaksi publik” sebagai sebuah kemungkinan (yang layak uji dan layak dispekulasi; bisa terjadi, bisa tidak), bukan sebagai tujuan (yang dengan tendensius dicapai lewat pengarahan).

Persoalan yang lainnya, wacana yang dibawa oleh karya-karya pada Pameran “Following”, pada aspek tertentu (bukan keseluruhan), belum berubah dari wacana yang dahulunya sudah diperbincangkan sebagai “seni multimedia”. Pameran ini masih berkutat pada persoalan “kehadiran internal” dari objek seni, dalam rangka mencapai “kehadiran eksternal”-nya lewat komunikasi yang tercipta tatkala publik pameran “berinteraksi” dengan masing-masing karya. Padahal, dalam agenda yang jauh lebih besar, OK. Video lewat tajuk Militia telah pernah menginfiltrasikan metode berpikir yang baru, yakni kerangka aktivisme seni, kepada masyarakat untuk membangun wacana tanding guna menanggapi fenomena keberhinggapan teknologi video di ranah sosial dan privat orang-orang. Dari segi itu, OK. Video bersama para senimannya mengambil posisi yang jelas sebagai pegiat seni yang tujuannya adalah memproduksi “strategi” dan “tindakan-tindakan yang berkonteks” daripada semata menghadirkan tontonan gambar bergerak. Sedangkan kini, era media sosial, di mana streaming media telah tampak sebagai suatu persoalan yang tidak bisa diabaikan—sekali lagi, pengaruh kulturalnya melebihi televisi dan teknologi video itu sendiri—telah menggeser (bahkan mengubah) situasi yang direspon OK. Video sepuluh tahun lalu itu. Ini berarti bahwa OK. Video di masa sekarang dan para seniman-seniman yang terlibat di dalamnya, semestinya memiliki daya untuk mengungkai pandangan-pandangan paradigmatiknya secara baru.

Tentu saja stand point kita dalam esai ini bukan hanya mengharapkan produksi audiovisual yang semata-mata mengulang produk-produk yang sudah sering kita temukan di media sosial—pada konteks tertentu, produksi meme “Bapak Presiden yang Terhormat” lebih unggul dari Kun Fayakun, video dije-dije-an yang tidak menggunakan peralatan elektronik sama sekali (dan viral di media sosial) lebih menggairahkan daripada proyek Gelap Terang, vlog-vlog para Youtuber lebih masif dampaknya ketimbang Tidak Hadir Karena Bekerja Di Rumah, dan tuturan pengguna Instagram Stories, tanpa teknologi yang ribet, nyatanya banyak yang bisa menawarkan eksperimentasi puitik dan sinematik dibandingkan beberapa karya gambar bergerak di pameran tersebut. Perbandingan-perbandingan sederhana ini saya paparkan bukan dalam rangka menyatakan bahwa karya-karya dalam pameran tersebut “kalah” oleh warga biasa, tetapi kita harus menggarisbawahi: argumen bahwa semua orang telah menjadi seniman, jangan-jangan memang bukan lagi wacana teoritis belaka.

Karenanya, OK. Video harus mengambil posisi taktis dan strategis untuk menyikapi fenomena media kontemporer ini, sebagaimana inisiatifnya dulu yang merespon teknologi video. Rangkaian peristiwa seni ini di tahun 2017 belum lagi selesai, dan kita akan melihat bagaimana Pangan dipersoalkan dalam kerangka wacana seni media. Tapi menurut saya, masa depan seni media kita akan menemukan jalannya yang tepat jika “boom seniman” disikapi secara baru sebagai kekuatan sosial yang baru pula. Sedangkan masalah kurangnya kajian teoritis dari sudut pandang seni—kita memang kekurangan artikulasi-artikulasi teoritik yang berguna untuk mendukung pemetaan dan penafsiran mengenai perkembangan ini—adalah suatu krisis lainnya yang pada faktanya belum lagi ditanggapi dengan cermat oleh para kurator-kurator muda kita. []

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search