In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”] Ingatan saya akan filem-filem yang paling berkesan semasa kecil sebagiannya tak bisa dilepaskan dari ingatan akan almarhum ayah saya. Salah satu yang paling tak lekang: The Birds (Hitchcock, 1963), yang ayah setel di video Betamax kami sesudah makan malam. Tentu saja saat itu –sekitar medio 1980an dan saya masih kelas 3 SD—belum ada pengetahuan sinematik dan tetek bengek filosofis yang saya tangkap dari filem Hitchcock itu selain ceritanya yang horor. Saya hanya mengenal Alfred Hitchcock sebagai pengarang serial Trio Detektif (dan nanti setelah dewasa saya tahu bahwa Hitchcock juga bukan pengarang serial itu!)

Filem lainnya adalah Hamburger Hill (John Irvin, 1987), yang kami tonton di Bioskop Ria sore hari selepas ayah pulang kerja, sebuah filem perang yang tak biasa karena pasukan Amerika di situ (“lakoné,” menurut istilah kami; atau jagoannya) bisa kalah telak dan melarikan diri! (nanti pula sesudah dewasa saya tahu filem ini adalah kisah nyata tentang korupsi dan kebobrokan moral dalam militer AS yang ikut menyumbang kegagalan aksi militer mereka di Vietnam). Lewat Papillon (Franklin J. Schaffner, 1973) ayah mengajarkan bahwa ombak ketujuh di pantai selalu adalah ombak terbesar. Dari ayah pula saya pertama kali tahu arti kata “seksi”, yang diucapkannya sehabis menonton sebuah filem Indonesia yang tak saya ingat benar judulnya.

buku-klub-film

Segala kenangan tentang filem dan ayah menye­ruak hebat saat saya membaca buku The Film Club karya David Gilmour pada 2008 lalu. Saking tercenungnya, saya hanya mampu menulis­kan kesan-kesan pendek seusai membacanya, dan baru berniat mengulasnya lebih panjang setelah tahu buku ini telah diindonesiakan menjadi Klub Film (Gramedia Pustaka Utama, Desember 2011, terjemahan P. Herdian Cahya Krisna). Meski demikian, saya belum membaca edisi Indonesianya dan tetap memakai buku aslinya sebagai rujukan, sehingga tidak bisa berkomentar lebih jauh mengenai kualitas terjemahannya.

David Gilmour adalah novelis dan kritikus filem Kanada. Ia juga seorang ayah. Jesse, anak lelakinya, adalah seorang remaja SMU beranjak dewasa, dan karenanya, tengah mengalami fase-fase pembangkangan yang dialami remaja manapun di dunia. Ia ogah sekolah, tak pernah bikin PR, tak punya tujuan jelas dalam hidup. Singkat kata: Galau. Mungkin rumah tangga Gilmour sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis Jesse, meski saya tak yakin. Gilmour telah bercerai dari Maggie, ibu Jesse, dan kini tinggal dengan perempuan lain, sementara Jesse tinggal bersama ibunya.

Saat nilai-nilai rapor Jesse terjun bebas dan kemalasannya mencapai taraf yang tak dapat diatur, Maggie angkat tangan dan memasrahkannya ke mantan suaminya. Gilmour pun akhirnya mengajak bicara Jesse dan membuat kesepakatan dengannya: Pertama, Jesse boleh tidak sekolah bila memang tidak menginginkan. Pikirkan hal ini barang beberapa hari (“Aku tak perlu beberapa hari”). Kedua, ia boleh tidak bekerja, tidur-tiduran seharian tanpa ngapa-ngapain, tapi sama sekali tidak boleh mencoba-coba narkoba (“Oke”). Ketiga, ia harus menonton tiga filem seminggu pilihan ayahnya (“Serius lu?”).

Maka demikianlah, dari (Fellini, 1963) sampai Rosemary’s Baby (Polanski, 1968), dari Psycho (Hitchcock, 1960) sampai Basic Instinct (Verhoeven, 1992), dari Onibaba (Kaneto Shindo, 1964) sampai La Dolce Vita (Fellini, 1960), buku ini adalah memoar Gilmour tentang upayanya mendidik anak remajanya dengan cara yang tak lazim. Filem pertama yang ditonton “Klub Filem” ini adalah The 400 Blows (Truffaut, 1959). Kita tentu ingat penutup filem ini: Antoine kabur lewat bawah pagar dan lari ke arah pantai. Sampai di batas air, ia menoleh balik ke kamera yang menyorot wajahnya.

“Bagaimana tampangnya?”

“Kelihatan risau,” kata Jesse.

“Apa yang ia risaukan?”

“Entahlah.”

“Lihat kondisinya. Ia kabur dari sekolah dan dari keluarganya; ia bebas.”

“Mungkin ia risau apa yang akan ia lakukan sekarang.”

Aku pun bertanya, “Apa maksudmu?”

“Mungkin berpikir, ‘Oke, sejauh ini berhasil. Tapi lalu apa?’”

“Oke, aku tanya sekali lagi: kau melihat ada kesamaan antara kondisinya dan kondisimu?”

Ia nyengir. “Maksud ayah, apa yang mau aku lakukan sekarang setelah boleh tidak sekolah?”

“Ya.”

“Entahlah.”

“Nah, mungkin itu sebabnya anak itu terlihat risau. Ia juga tidak tahu.”

Dan demikianlah selanjutnya dengan Basic Instinct, North by Northwest, Crimes and Misdemeanors, dst. Dari nonton bareng ayah-anak tiga filem seminggu itulah, mengalir obrolan-obrolan mengenai perempuan, seks, makna hidup, cita-cita, pekerjaan, pergaulan dsb.

Sebagai ayah dua orang anak yang nanti juga akan menjadi remaja, saya anggap buku ini mengharukan dan memberi ilham tentang cara membesarkan anak di zaman yang semakin rumit. Tapi tentu saja saya juga tidak menganjurkannya untuk menjadi panduan utama dalam parenting (terlalu banyak alkohol dan kondom bersliweran). Dan tentu saja kita harus membacanya dalam konteks masyarakat Kanada, yang kebebasan sosialnya pun masih sering membuat orang AS sendiri takjub. Tentu sulit membayangkan dalam konteks Indonesia seorang anak 16 tahun bisa curhat ke ayahnya bahwa pacarnya bisa orgasme dengannya, tapi mengapa saat memeluknya ia terus merasa hanya sebagai teman?

Dan tentu tak semua orang suka atau setuju dengan cara Gilmour. Beberapa orang tua dan pendidik di Kanada dan AS menghujatnya dengan keras dan menganggapnya sebagai orang tua egois yang bereksperimen dengan masa depan Jesse hanya demi penyaluran hobinya. Saya serahkan pada masing-masing pembaca untuk menilainya dalam konteks pendidikan di Indonesia.

Gilmour tidak membimbing Jesse untuk menjadi penggila filem atau kritikus yang serius. Filem di sini dipakai sebagai cara untuk merangsang daya berpikir kritis dan kreatif, untuk memberi arah dan keyakinan pada apapun pilihan jalan hidup yang dia ambil nantinya. Dan pilihan itu bahkan mengejutkan Gilmour sendiri. Setelah memutuskan bekerja serabutan untuk mencukupi hidup sambil terus meneruskan program “Klub Filem” ini, pada akhirnya Jesse memutuskan melanjutkan sekolah menengahnya bahkan kuliah. Mungkin menuliskan ending ini memang spoiler berat, tapi Anda tentu tahu bahwa filem yang benar-benar bagus tidak rusak kenikmatannya untuk ditonton secara utuh sekalipun bocoran soal ending-nya sudah sedikit Anda ketahui. Begitu juga buku ini: Tahu tentang ending-nya tak menjelaskan apa-apa mengenai pergulatan batin Gilmour dan Jesse sepanjang proses itu.

Malam sebelum ujian akhir ia meneleponku. “Bagaimanapun hasilnya nanti,” ucapnya, “aku ingin ayah tahu bahwa aku telah benar-benar berusaha.”

Sekian minggu kemudian sepucuk amplop putih tiba di kotak suratku; aku nyaris tak sempat melihatnya naik di tangga teras, menyambar surat itu dan membukanya, tangannya gemetar, kepalanya naik turun sambil membacanya.

“Aku berhasil,” teriaknya tanpa mendongak, “Aku berhasil!”

Itu terakhir kalinya ia tinggal di rumahku. Ia kembali ke rumah ibunya lantas mencari apartemen sendiri bersama seorang teman sekolahnya. Ada masalah dengan perempuan, kalau tak salah, tapi bisa mereka selesaikan. Atau tidak. Aku tak ingat […]

Ia tumbuh melampaui klub film, dan dengan cara tertentu ia tumbuh melampauiku, tumbuh melampaui seorang anak buat ayahnya. Tahun demi tahun hal ini memang terasa, tahap demi tahap, tapi tiba-tiba saja, mendadak ia sudah besar.

Kadang saat malam aku berjalan melewati kamarnya di lantai tiga; aku masuk dan duduk di pinggiran ranjang; rasanya aneh bahwa ia sudah pergi dan selama beberapa bulan pertama hal itu menghantuiku. Aku perhatikan ia tinggalkan Chungking Express di mejanya; ia tak membutuhkannya lagi; ia mendapat apa yang ia perlukan darinya dan meninggalkannya seperti ular berganti kulit.

Saya nyaris menangis membacanya—sebagai seorang ayah, sebagai penggemar filem. Dan tidak bisa tidak saya pun teringat nasehat Alfredo, pak tua pemutar proyektor bioskop itu, kepada Salvatore muda dalam Cinema Paradiso (Tornatore, 1988): “Kau harus pergi dari tempat ini, nak. Kejar mimpimu. Jangan pikirkan yang telah kau tinggalkan, jangan bernostalgia tentangnya.” Salvatore pun pergi dari Bagheria, desa kecil di Sisilia, menantang hidup di kota besar dan sukses “jadi orang”. Tiga puluh tahun sesudahnya Alfredo meninggal. Salvatore awalnya berkeras tak hendak mudik untuk melayatnya. Tapi tak bisa. Filemlah yang membuatnya kembali. Filem: Segala nostalgia itu. Segala yang tampak di layar dan membuat kita ternganga. Namun juga: Segala yang tak tampak di layar saat kita masih muda. Mungkin adegan-adegan ciuman yang disensor; mungkin pula segala pelajaran hidup yang baru kita sadari jauh kemudian.

Figur 1 "The Film Club" dan "Cinema Paradiso"

Figur 1 "The Film Club" dan "Cinema Paradiso" (Foto: Ronny Agustinus)

[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]
Recommended Posts
Showing 6 comments
  • Gaston Soehadi
    Reply

    Halo,

    Terima kasih atas dimuatnya artikel tentang buku yang nampaknya sangat menarik ini. Saya belum membaca buku ini dan ingin segera memilikinya. Saya bisa merasakan bagaimana eratnya hubungan antara bapak dan anak ini.Ya saya setuju bahwa cara yang dipakai dalam buku ini untuk membesarkan anak bukanlah satu2nya. Masih banyak cara lain yang juga tidak kalah bagus dan menantang.

    Buat saya, menonton filem bukanlah sebuah hiburan tetapi adalah sebuah “pekerjaan”. Untuk hiburan saya lebih suka berolah raga atau jalan-jalan sore. Menonton filem adalah pekerjaan mengamati dan mencoba memahami sebuah cara hidup dan kemungkinan2 lainnya yang ada di dalamnya. Tentu saja pekerjaan mengamati yang saya maksud ini tidaklah sama dengan kenyataan sehari2 karena kita tidaklah dibebani untuk bertanggung jawab terhadap orang lain. Tapi bertanggung jawab terhadap diri sendiri atas apa yang telah kita lihat.

    Menonton filem bukanlah cara saya untuk rileks karena saya, pertama2, telah membayarnya dengan uang yang berarti saya mesti tahu apa yang bermanfaat untuk saya. Dengan demikian seharusnya saya tidak boleh tidur atau bercakap2 dengan teman selama filem berlangsung. Justru saya harus melihatnya dengan benar supaya saya tahu apa artinya untuk saya. Kedua, menonton buat saya, apapun filemnya, adalah pekerjaan yang membutuhkan pikiran. Dengan demikian tetap saja saya masuk ke gedung bioskop dengan sebuah “persiapan” dan sikap mental yang terbuka. Ketiga, suka atau tidak, sehabis menonton, saya/kita selalu “dihantui” oleh keinginan2 untuk berkomentar terhadap filem yang telah kita tonton. Tidak jarang jika menonton bersama teman maka kita bisa terlibat dalam sebuah diskusi apapun bobotnya. Yang penting, tanpa kita sadari, kita telah masuk ke dalam sebuah “dunia” atau “perangkap” yang membuat kita mau tidak mau harus bereaksi. Ini juga butuh sebuah kepekaan dan daya pikir.

    Karena itu semua, maka secara otomatis saya menganggap bahwa menonton filem adalah sebuah kegiatan intelektual atau sebuah wahana yang bisa mendidik. Entah berapa banyak kali saya telah mengalami sebuah “kesadaran” baru setelah menonton sebuah filem (baik itu filem Indonesia maupun filem asing). Padahal saya sebelumnya tidak “meminta” bahwa filem ini akan membuat saya menjadi pinter. Semua itu berjalan tanpa sadar. Mungkin apa yang terjadi dalam sebuah gedung bioskop saat ini menonton filem adalah tanpa sadar kita telah “menyerahkan diri” kita secara ikhlas kepada filem dan narasinya. Dan sebagaimana pernah dijelaskan oleh seseorang pakar yang saya lupa namanya, menonton filem adalah juga kegiatan yang sifatnya analisa diri (secara tidak sadar) atau psikoanalisis. Jadi apa yang saya rasakan, mungkin, adalah sebuah kenyamanan dalam ruangan gelap dimana secara bebas dan indvidual saya menempatkan diri saya dihadapan sebuah mesin cerita yang mengajak saya berdialog dengan..diri saya sendiri. Lucu bukan? Padahal yang saya maksud di atas adalah ketika saya menonton filem, apa yang saya lakukan adalah mengamati kehidupan. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah saya mengamati diri sendiri.

    Jadi saya tidaklah terkejut jikalau beberapa orang memakai filem sebagai alat mendidik. Tapi untuk meniru apa yang dilakukan oleh David Gilmour dengan anaknya ini masih jauh dari keinginan saya. Mungkinkah ia telah tidak mempunyai pilihan lain saat itu. Buat saya, saat yang paling istimewa dalam rangkaian menonton filem adalah saat filem selesai diputar dan lampu di dalam gedung bioskop telah menyala kembali. Di saat inilah kita dalam keadaan yang “labil” karena kita akan atau tengah memikirkan apa dampak filem itu buat kita. Bersykurlah jika kita mendapat teman ngobrol yang baik yang mempunyai minat yang sama ketika menonton. Karena dengannya kita bisa berbagi “pengalaman”. Tapi sebenarnya, ada atau tidak teman itu, kita terus-menerus berdialog dengan diri kita sendiri.

    Maka adalah juga benar jika ada orang yang mengatakan bahwa filem adalah candu. Karena ia bisa memerangkap kita dengan manisnya dan dengan segala akibatnya. Tentu saja ini adalah candu yang positif karena biar bagaimanapun juga jangan sampai kita dibawah kontrol filem. Kitalah yang harus mengontrol filem karena kita ingin ia mempunyai dampak yang bagus buat kita. Entah seberapa jauh filem telah masuk ke dalam sistem pendidikan kita. Saya melihat filem adalah salah satu alat didik yang ampuh karena ia merupakan bagian dari kebudayaan populer.

    Demikian tanggapan saya.

  • Abdalah Gifar
    Reply

    Buku Mantap…

    Ini buku yang menarik Bang. Sangat.
    Saya sendiri baru baca sampai bab 7 (dan akan terus berlanjut).
    Meski begitu, saya bisa anggap buku ini wajib bagi bapak yang sudah punya anak, atau pria yang akan menjadi bapak, ataupun anak yang punya bapak.
    Tidak untuk ditelan mentah-mentah pastinya, hanya memang cara mendidik orang tua di Indonesia ini butuh penyegaran. Buku ini menawarkan hal itu. Persoalan mengizinkan anak tidak sekolah dan yang lain2 yang tidak bisa kita (lebih tepatnya lingkungan sosial) terima, bukanlah hal esensial saya kira. Esensi dari buku ini yang saya tangkap adalah bagaimana kita memahami dan menyikapi orang yang memiliki pertalian darah dengan kita dan kita memiliki tanggung jawab terhadapnya. Dan film sebagai alatnya.
    Sekien 🙂
    ttd
    Gifar https://twitter.com/AbdalGif
    silakan mampir http://abdalahgifar.blogspot.com/

  • Arief Akhmad Yani
    Reply

    terima kasih ……. inspirasi

  • luthfi
    Reply

    saya merasakan hal sama bahwa menonton film adalah pekerjaan. saya membutuhkan waktu khusus, persiapan, dst untuk menonton film.
    ulasan ams ronny selalu menarik. i like it

  • mira
    Reply

    asik sekali tulisannya, mas roni 🙂
    siap meluncur ke toko buku terdekat.

  • elsara
    Reply

    Sudah selesai baca! Sayang, versi terjemahan yang diterbitkan oleh GPU kurang baik, jadi agak terganggu saat membacanya. 🙁

    Kisah ayah-anak Gilmour di buku ini inspiratif, meskipun saya tidak yakin akan membuahkan hasil yang serupa jika ada yang mencoba menerapkannya di sini.

    Sependapat dengan Gaston Soehadi. Ketika menonton film, (yang kita anggap sedang dilakukan adalah), kita mengamati kehidupan. Tanpa kita sadari, sebenarnya ada dua hal yang berlangsung dalam waktu bersamaan; kita juga sedang mengamati diri sendiri.

    Satu hal yang pasti setelah selesai membaca buku ini, saya jadi tergiur dengan film-film yang disebutkan. Masih banyak yang belum ditonton! 🙂

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search