In Berita/Liputan, Forum

IFDC (Indonesian Film Directors Club) adalah sebuah lembaga asosiasi yang mewadahi para sutradara Indonesia. Lembaga yang didekralrasikan pada tanggal 2 September 2013 ini merupakan satu di antara beberapa asosiasi lainnya yang berdiri dibidang perfileman. Semangat berdirinya asosiasi ini adalah usaha untuk para pekerja filem secara aktif dan independen untuk memajukan perfileman Indonesia, dengan usaha membangun kerja sama secara sinergis dan setara dengan semua stake holder perfileman Indonesia, baik dari pemerintah, pekerja filem, dan masyarakat. Satu di antara agenda dari IFDC adalah mengadakan penghargaan tahunan bagi karya-karya terbaik berdasarkan spesifikasi artistik yang diwujudkan dalam karya sinemanya.

Pada IFDC Awards 2014, satu di antara sesi yang mereka usung adalah dengan mengadakan dua program diskusi diantaranya adalah “Jejak Penyutradaraan Film Indonesia” yang diadakan pada hari Sabtu 8 Novemver 2014 di Dia.Lo.Gue. Art Space Kemang. Momen perbincangan mengenai sinema Indonesia, khususnya para sutradara Indonesia memang masih sebuah peristiwa yang jarang berlangsung dalam khasanah pergaulan filem Indonesia. Hal ini memang disadari bahwa peta sinema Indonesia yang memang belum terbaca secara memadai bagi banyak kalangan, khususnya bagi para sutradara dan pelaku filem di Indonesia. Hal ini memang tidak lepas dari minimnya perbincangan dan telaah secara akademis tentang bagaimana jejak penyutradaraan filem Indonesia. Dampak dari belum adanya bacaan yang memadai ini sangat penting bagi pengatasnamaan individu para pelaku karya sinema Indonesia, apakah ia sebagai individu yang bersih tanpa pantulan jiwa sosial yang melingkupi dalam proses berkaryanya, atau sebaliknya, dan bahkan adakah pengertian individu dengan cita-cita estetika yang memiliki semangat identitas yang otentik. Pengertian individu memang sangat mudah dilekatkan pada diri sang sutradara  sebagai seniman, yang mana ia selalu merasa dirinya otonom.

***

Diskusi ini diawali oleh sang moderator yang notabene adalah seorang sutradara ternama Indonesia, Riri Riza. Sesi diawali dengan sang moderator memperkenalkan tiga pembicara yang mewakili tiga generasi sutradara yang berbeda dalam konteks  perkembangan sinema Indonesia. Pembicara pertama yang diperkenalkan oleh Riri Riza adalah Garin Nugroho, yang menurut anggapan nya adalah seorang sutradara Indonesia yang membawa semangat new wave pada tahun 1990 an dalam perkembangan sinema Indonesia, seperti halnya new wave di Perancis pada tahun 1960 an, seperti karya yang diperlihatkan Garin pada filem “Cinta dalam Sepotong Roti” (1990), “Bulan Tertusuk Ilalang” dan sebagainya. Gambaran Riri Riza tentang Garin Nugroho juga  sebagai salah seorang yang mengusung gaya neorealisme Italia dalam beberapa karyanya. Dalam konteks ini, Riri Riza juga menggambarkan bahwa Garin adalah sutradara Indonesia yang telah mendobrak bentuk filem yang konvensial dalam sinema Indonesia, melalui karya-karya seperti “Opera Jawa”. Apa yang diungkapkan Riri Riza terhadap Garin Nugroho seperti ingin menggambarkan dia sebagai sutradara Indonesia yang mengikuti perkembangan gaya-gaya sinema yang ada di dunia.

Pada pembicara kedua adalah sutradara yang memiliki latar belakang aktor teater, Slamet Rahardjo. Sang moderator, Riri Riza menggambarkan Slamet Rahardjo sebagai sutradara yang intens dalam mengangkat isu-isu sosial ke dalam karya filemnya. Pengalaman berteater Slamet Rahardjo, khususnya pada Teater Populer binaan sutradara ternama Indonesia, Teguh Karya, banyak mempengaruhi visi berkaryanya. Slamet Rahardjo bisa dikatakan sebagai satu di antara sutradara Indonesia yang berasal dari generasi-generasi 1980-90 an, yang mana teater kental menjadi latar dan  gaya sinemanya, seperti gambaran beberapa sutradara ternama Indonesia di masa-masa 60 an macam Asrul Sani, Usmar Ismail, dan lain sebagainya.

Dan pembicara ketiga adalah sutradara yang memiliki latar komunitas dan seni rupa, yakni Hafiz Rancajale.  Sang moderator, Riri Riza memperkenalkan Hafiz sebagai seorang sutradara yang cukup inovatif, karena banyak berkarya melalui usaha-usaha kolaboratif dengan melibatkan komunitas maupun dengan subyek yang diangkat ke dalam karya sinemanya. Selain itu Hafiz juga dikenal sebagai seorang tokoh yang banyak menginisiasi pendirian komunitas-komunitas seni macam Ruang Rupa (2000) dan Forum Lenteng (2003).

***

Pada sesi awal pembicaraan adalah Slamet Rahardjo, yang banyak bercerita tentang pengalaman dan refleksinya tentang bagaimana ia berani memilih filem sebagai bagian dari ekspresi seninya, selain ia sebagai seorang aktor. Bagi Slamet Rahradjo, filem itu adalah sesuatu yang luar biasa, dan menjadikannya sebuah pengalaman baru dalam mengekspresikan sebuah karya seni. Pada awalnya, di sekitar tahun 1974 an,  Slamet Rahardjo menganggap bermain filem adalah melacur, namun ia pada akhirnya memiliki ketertarikan terhadap filem.  Namun bagi sutradara yang dikenal telah menyutradari filem “Marsinah” ini, teater atau seni secara umum pada dasarnya bukan mengimitasi kehidupan, namun lebih pada refleksi terhadap kehidupan. Hidup bagi beliau adalah sesuatu yang bisa dikemas, dan demikian pula pada teater adalah kebenaran yang diciptakan.

IFDC 2

Sebagai seorang sutradara yang berlatar seorang aktor, Slamet Rahardjo berpandangan bahwa dramaturgi kaya konsekuensi, dan ia bisa berkembang. Pengaruh-pengaruh teater dalam proses berkarya Slamet Rahardjo memang sangat kuat, hal ini diperlihatkan dalam pemikirannya yang menganggap bahwa teater membentuk makna pengadeganan, sehingga bagaimana pentingnya dramaturgi dalam filemnya. Hal ini bisa diperlihatkan ketika  shot-shot bagi sutrdara ini adalah dramatisasi.

Pengalaman membuat dan bermain filem bagi seorang Slamet Rahardjo adalah pengalaman kesalahan yang pernah ia alami. Ia merasa bahwa pengetahuan tentang filem adalah sebuah warisan. Hal yang sama nampaknya juga dialami oleh sutradara lain yang sezaman dalam generasi Slamet Rahardjo. Bagai sebuah proses membuat filem banyak dipengaruhi oleh kebiasaan dan tradisi membuat filem para sutradara sebelumnya, yang bagi Slamet Rahardjo membayangkan filem adalah warisan, dan bukan pengetahuan. Sebagai seorang yang cukup lama bergelut dengan dunia teater dan filem, Slamet Rahardjo merasakan betul bahwa persoalan-persoalan akting adalah bukan menjadi. Mungkin Slamet Rahardjo sedang merefleksikan bahwa akting adalah persoalan interpretasi terhadap tokoh yang diperankan.

Apa yang diungkapkan oleh Slamet Rahardjo pada sesi diskusi IFDC 2014 ini, adalah pengalaman pribadi, sambil ia merefleksikan bahwa pengalaman-pengalaman bermain dan membuat filem dalam perkembangan sejarah sinema Indonesia, masih banyak persoalan-persoalan asumsi dan pengetahuan tentang sinema masih bertindih tumpang. Hal ini tentu berdampak pada bagaimana gambaran sutradara tidak hanya sekedar menggandalkan subyektivitas semata dalam berkarya, namun sinema Indonesia membutuhkan pergulatan estetis dan artistik sebagai pengetahuan dalam sinema, untuk menterjemahkan visi individu sutradara yang lebih memiliki nilai tawar yang baru dan mandiri.

Pada sesi pembicara kedua adalah sutradara ternama Indonesia pada dekade 1990 an, Garin Nugroho. Sutradara yang banyak dianggap banyak kalangan sebagai tokoh yang mendobrak tentang bentuk filem Indonesia kala itu, Garin mengawali pembicaraan tentang dirinya sebagai sebuah generasi yang berada di masa transisi dalam dunia global. Ia lahir dalam suasana multidisiplin, selain ia berasal dari keluarga dengan latar ayahnya yang kental terhadap kebudayaan Jawa, dan saudaranya yang memiliki latar di dunia seni rupa. Dan Garin merasa dirinya bahwa ia berada di situasi yang transisi, dimana ia mengalami sebuah wacana sinema yang mulai muncul di Indonesia, yang ia sendiri memperolehnya melalui bacaan-bacaan tentang wacana sinema.

Tidak heran banyak yang melekatkan Garin pada istilah-istilah new wave, cinema expanded sampai neorealisme pada gaya sinemanya. Salah satu karyanya seperti “Opera Jawa” (2006), adalah sebuah karya dari gaya sinema yang menggunakan medium-medium sinema. Bagi Garin sendiri, beberapa karyanya adalah memandang filem dengan seni yang lain. Garin menanggap dirinya semacam sebuah proses pada situasi yang bercampur baur, termasuk didalamnya adalah dalam persoalan pewacanaan. Tidak heran, khasanah sinema Garin banyak dipengaruhi dan dilatari oleh tradisi di luar filem seperti seni rupa, teater, juga semangat sinema yang berbasiskan pada pemberdayaan masyarakat. Garin memiliki semangat yang tidak pernah takut untuk mencoba sesuatu yang baru.

Cara bertahan dan strategi membuat filemnya pun, bagi Garin adalah bagaimana sebuah produksi sinema tidak disandarkan pada bagaimana banyaknya penonton yang hadir yang bisa menyuburkan industri perfilemannya. Ia lebih memilih jalan idealismenya dengan siasat dan strategi untuk mencari segmen tertentu dan model pembiayaan ‘tumpang sari’. Beberapa diantaranya Garin juga menggunakan pencarian dukungan biaya produksi dalam model filantropi.

Pada pembicara yang ketiga dalam sesi diskusi IFDC ini adalah seorang sutradara yang memiliki tradisi yang berbeda dalam peta sutradara Indonesia pada umumnya. Sutradara tersebut adalah Hafiz Rancajale yang memiliki  latar yang sangat kuat pada komunitas seni yang ia tekuni. Hafiz mengawali pembicaraan pada pandangannya tentang modernitas di Indonesia. Ia merasa telah terjadi jarak dimana para seniman Indonesia merasa asing setiap kali ada perubahan. Hafiz mencoba melihat bagaimana seorang tokoh pelukis Indonesia, Sudjojono, yang mampu merumuskan modernitas Indonesia dengan istilah ‘jiwa yang ketok’. Refleksi Hafiz tentang modernitas di Indonesia juga menggambarkan bagaimana sinema Indonesia di tahun 1960 an begitu bisa hidup, meski pada situasi ada dua kubu ideologi politik yang melatarinya.

Hafiz melihat pada fenomena sinema Indonesia kekiniaan masih pada kaidah yang trial and error ketika mencoba membuat sesuatu. Situasi yang berkembang saat ini, dengan segala kemudahaan alat dalam membuat karya sinema, Hafiz melihat bahwa pertarungan saat ini dalam dunia sinema adalah permasalahan kreatifitas. Namun situasi yang bisa menjadi optimisme baru adalah adanya semangat banyak dukungan dalam membuat karya. Hari ini banyak komunitas-komunitas filem yang sebenarnya bisa memberikan peran besar dalam berkarya, dan bahkan bisa membuat gaya baru dalam khasanah estetika filem Indonesia.

IFDC 1

Pada sesi pertanyaan dalam acara diskusi IFDC 2014 ini tidak terlalu banyak pertanyaan yang cukup signifikan untuk melihat perkembangan sinema dan para sutradara di Indonesia. Namun pada penanya terakhir menjelan ditutupnya sesi diskusi ini,  oleh para pembicara dan moderator dianggap sebagai pertanyaan yang terlambat muncul dalam sesi tanya jawab ini. Sang penanya terakhir ini menanyakan bagaimana peta sinema Indonesia dalam peta dunia, yang oleh beberapa kalangan pembicara ditafsirkan cukup beragam. Slamet Rahardjo sendiri menanggap pertanyaan tersebut dengan memberikan pengalaman bahwa ia pernah mendapatkan pengalaman internasional yang ia sendiri merasa kaget akan penghargaan tersebut. Ia merasa bahwa dalam kancah internasional ada beberapa festival yang memiliki kecendrungan tertentu, sehingga para sutradara sebenarnya bisa memilih dan memperkirakan di festival apa karyanya bisa akan menang. Slamet Rahradjo sendiri mengungkapkan bahwa ada juga festival yang cendrung memenangkan sebuah karya ketika karya tersebut membuat kritik terhadap pemerintah dan negaranya. Artinya ada beberapa festival yang memang tidak mempunyai objektivitas tertentu, namun memiliki standar subyektivitasnya sendiri.

Riri Riza sendiri menggambarkan banyak contoh di negara-negara Asia yang memiliki standar untuk mengembangkan sinema di negerinya untuk diakui dunia. Ia mencontohkan bagaimana Korea dan Tionghoa setidaknya setiap tahunnya memunculkan 5 sampai 6 sutradara yang lahir dan bisa dimunculkan dalam kompetisi sinema dunia. Hafiz sendiri menanggapi pertanyaan terakhir tentang peta sinema Indonesia pada khasanah sinema dunia adalah kurangnya para scholar di Indonesia, yang meneliti tentang filem-filem karya sutradara Indonesia macam Usmar Ismail, Asrul Sani, dan lain sebagainya, yang ditelaah secara akademis dan menjadi pengetahuan bagi sinema dunia. Lemahnya penulisan ini menjadi penting untuk memberikan wacana sinema Indonesia di tengah-tengah wacana sinema dunia.

IMG_0364

Diskusi IFDC 2014 di Dia.Lo.Gue Kemang ini, merupakan sebuah fenomena yang memang cukup langka dalam pengertian publik, dimana sinema Indonesia diperbincangkan dari para pelaku, khususnya para sutradara. Gambaran isi dari diskusi ini sebenarnya sebagai penanda secara tidak langsung tentang bagaimana situasi dan diskursus sinema Indonesia yang berlangsung saat ini. Ada beberapa yang bisa direnungkan dari diskusi IFDC yang melibatkan beberapa sutradara yang berbicara pada forum ini, seperti yang diungkapkan oleh Slamet Rahardjo bahwa filem yang belum menjadi pengetahuan. Hal ini terlihat bagaimana penggunaan istilah yang digunakan oleh sang moderator diskusi Riri Riza yang menggambarkan karya-karya Garin sebagai new wave ataupun neorealisme Italia adalah sebuah istilah yang secara definitif kurang memadai jika digunakan dalam melihat karya-karya Garin Nugroho.Hal ini memang tidak heran, Rosihan Anwar juga pernah menggunakan istilah neorealisme Italia yang dilekatkan pada karya Usmar Ismail dalam restropeksi filem “Darah dan Doa” (1950) pada tahun 1986, yang mana asumsi Rosihan Anwar istilah neorealisme Italia adalah hanya pada penggunaan aktor-aktor non profesional. Istilah-istilah dalam khasanah sinema dunia macam new wave Perancis, atau neorealisme Italia memang sering kita dengar. Namun istilah-istilah tersebut pada dasarnya belum menjadi perihal yang definitif jika dilekatkan pada khasanah sinema Indonesia. Kecendrungan penggunaan istilah-istilah sinema dunia pada sinema Indonesia, terkesan sepihak tanpa disiplin akademis apalagi disiplin kritisi yang memadai dan bahkan belum dimulai di Indonesia. Refleksi ini menjadi penting untuk sebuah kejujuran dan pengetahuan, agar pembacaan sinema Indonesia bisa secara dilihat secara jujur dan jelas posisinya dalam sinema dunia. Dalam konteks ini, peran kritikus menjadi signifikan, untuk menelaah gambaran sinema Indonesia secara memadai secara disiplin akademis. Namun bidang kritikus sinema ini, belum ada sejarah, tradisi, kemandirian, dan dan keyakinan akan profesinya dalam dunia sinema Indonesia. Setidaknya kritikus sebagai pengawal diskursus para sutradara Indonesia, harus sudah mulai dimunculkan, ditradisikan dan mendapat tempat. Tabik….

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search