In Artikel

Sebagai barang seni, filem sudah dihasrati oleh banyak kalangan dari berbagai lintas bidang seni. Kelahiran medium yang sanggup menelisik gerak dalam satu kesatuan tersebut, banyak mempengaruhi cara berpikir bidang seni lainnya. Namun hal tersebut juga tidak lepas bagaimana bidang seni yang terdahulu seperti teater, seni rupa dan lain sebagainya juga sangat mempengaruhi filem, sehingga filem sebagai bidang seni yang lahir paling belakangan juga tidak luput dari usaha-usaha kemandiriannya karena pengaruh seni sebelumnya. Di sisi lain, ketika filem sebagai sinema yang merupakan sebuah bahasa baru dalam seni,  justru menjadikan seni diluarnya bisa mempertegas diri.

Antonin Artaud (1896-1948), salah seorang seniman Surealias, adalah salah seorang aktor yang berjuang untuk mempertegas pengertian tubuh dalam teater dari pengaruh-pengaruh teks. Ia berusaha membangun sebuah ekspresi yang murni dari tubuh dengan segala potensinya untuk mewujudkan cita-cita seni nya. Pada awal karirnya, Artaud memang berniat menjadi seorang aktor filem, dan pengalaman tersebut sudah memperlihatkan gaya aktingnya yang  memang sering kali ekspresi dan melebih-lebihkan secara gestural. Suatu haru, pada Juni tahun 1922,  Artaud berkesempatan menyaksikan para rombongan pemain-pemain Kamboja yang mengadakan pergelaran pada Marseilles Colonial Exhibition. Pengalaman tersebut semakin  mempengaruhi gaya akting dan pilihan seninya. Sampai kemudiaan, pementasan teaternya pada Desember 1922, Artaud beroleh prestasi yang cukup tinggi ketika ia menjadi aktor dalam drama Sophokles, Antigone oleh sutradara ternama Charles Dullin. Sampai kemudian di tahun 1931, Artaud mengalami pengaruh yang paling ekspresif ketika ia menyaksikan sebuah pementasan para penari Bali pada Colonial Exhebition di Vincennes Forest, di kota Paris. Pengalaman-pengalaman gestural Artaud ketika menyaksikan para penari Bali tersebut adalah kerangka dasar baginya dalam membentuk konsep teaternya yang ternama “Theatre of Cruelty”, yang mempengaruhi khasanah teater dunia.

Pengalaman di bidang filem Artaud adalah sebuah masa-masa yang pendek. Ia  sempat menjadi aktor dalam filem  yang cukup ternama seperti  “Napoleon” (1926) karya Abel Gance, “The Passion of Joan of Arch” (1926) karya sutradara ternama asal Denmark Carl T. Dreyer, dan sampai kemudian ia sempat menjadi aktor dalam karya sutradara ternama asal Jerman, Fritz Lang,  “Liliom” (1933). Kehadiran sinema cukup menggugah dirinya. Kelahiran Artaud adalah sebuah periode Dada dimana ia juga sempat turut serta didalamnya. Di antara beberapa seniman Dada banyak yang merespon kehadiran sinema sebagai bagian dari proyek seni Dada yang mempertanyakan pengertian ‘representasi’ di dalam seni.  Bahasa sinema sebagai medium yang sanggup merekam gerak  ini turut mengilhami Artaud dalam mewujudkan proposal-proposal seninya. Artaud membuat beberapa skenario, sebagai bagian dari visi seni teaternya. Sebuah skenario Artaud berjudul “The Seashell and Clergyman” sempat difilemkan oleh sutradara perempuan asal Perancis, Germaine Dulac, pada tahun 1928. Karya ini oleh beberapa kalangan bisa dianggap sebagai karya awal sinema surealis, sebelum karya filem “An Andalusian Dog” (1929) karya Luis Bunuel dan Salvador Dali.

“The Seashell and Clergyman” yang disutradari oleh Dulac, adalah sebuah hasil perwujudan yang tidak memuaskan bagi Artaud.  Di samping itu beberapa kekecewaannya terhadap beberapa pengalaman menjadi aktor filem, turut serta menjadikan pengalaman Artaud sebagai periode yang cukup pendek. Namun sebagai seorang aktor teater, Artaud bukan tidak menyisakan gagasan sinemanya dari sebuah periode yang pendek. Setidaknya ada dua tulisan Artaud tentang refleksinya terhadap sinema berjudul “Cinema and Reality” dan “The Butcher’s Revolt” . Kedua tulisan tersebut barangkali mungkin tidak memiliki pengaruh penting dalam perkembangan sinema selanjutnya. Namun periode pendek sinema Artaud, cukup penting diperbincangkan ulang, khususnya terkait dengan gagasan percobaan-percobaan sinema ‘kehadiran’ (present) yang memberikan sensasi dan ‘keterkejutan’ (shock) cukup layak untuk dijadikan bahan refleksi dalam emperium sinema ‘representasi’.

“The Seashell and Clergyman”, Sebuah Usaha-usaha Awal Filem Surealisme  

Pengertian surealisme memang bukan sesuatu yang merujuk pada pengertian bentuk atau gaya, namun lebih pada praktik surealisme. Konjungsi antara sinema dan surealis ada sebuah relasi yang sulit untuk dikesinambungan, namun relasi antara sinema dan surealis  terletak pada kekuatannya untuk mengungkapkan apa yang terbengkalai dalam kesadaran kolektif. Surealis dalam sinema berusaha  membuat nyata apa yang laten tanpa merusak misteri dari yang laten[i].  Dalam konteks ini, sinema dipercaya sebagai medium dan bahasa yang dalam kerangka surealis Andre Breton sebagai memainkan perjumpaan antara gelap dan terang, antara yang presence dan yang absence ataupun antara yang aktualitas dan imaginasi. Antonin Artaud sendiri pada tahun 1926 keluar dari gerakan Dada surealisme karena berbeda pandangan dan sikap politik dengan Breton. Meski demikian, naskah “The Seashell and Clergyman” Artaud yang pada dasarnya memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah artikulasi pandangan surealisme, namun dari naskah tersebut sedikit banyak memberikan gambaran tentang visi-visi surealisme.  Sayangnya, Dulac dianggap tidak memenuhi harapan Artaud dalam mewujudkan secara sinematis naskah “The Seashell and Clergyman”, selain Dulac sendiri tidak mengikuti visi yang diharapkan oleh Artaud. Perwujudan “The Seashell and Clergyman” oleh Dulac, dianggap Artaud masih  belum sanggup membawa para penonton kepada pengalaman yang purba dan sensasi-sensasi bawah sadar.

Dalam kerangka teater Artaud pada dasarnya adalah usaha-usaha keluar dari ‘teks’ dalam memandang pengertian tubuh dalam pementasan. Visi teateris ini, sebenarnya memiliki korelasi kuat dalam naskah sinemanya, yang mana perihal-perihal naratif dalam filem bisa dihapuskan melalui gambar-gambar yang membawa pengalaman langsung kepada penonton terhadap  sensasi-sensasi bawah sadar. Perwujudan “The Seashell and Clergyman” oleh Dulac masih mengandaikan sesuatu yang naratif dalam filem, dan cenderung menggunakan teknik-teknik yang realis. Bagi  Artaud sendiri perwujudan visual Dulac  tersebut bisa menghambat pengalaman estetis para penonton, khususnya terkait dengan pengalaman nir sadar dan primodial pada penonton.

Dalam banyak adegan pada filem “The Seashell and Clergyman” memang masih banyak memperlihatkan unsur representatif dari gambaran mimpi, bagi Artaud hal ini justru bisa menghancurkan potensi filem yang pada dasarnya sanggup untuk mencapaikan dimensi ketidaksadaran manusia. Adegan-adegan awal pada “The Seashell and Clergyman” sebenarnya memberikan gambaran yang cukup memberikan pengalaman mimpi, namun gambar yang dikonstruksi Dulac masih bersifat simbolis. Adegan ketika seorang pendeta memasuki sebuah lorong gelap yang turun ke bawah menuju sebuah ruangan, dimana di ruangan tersebut Sang Pendeta seakan menjadi sang Alkemi. Adegan tersebut terurai melalui sekuen dimana Sang Pendeta sedang  menuangkan cairan-cairan dari tabung kimia ke sebuah piring. Kemudian seorang jenderal memasuki ruangan tersebut secara diam-diam, dan di saat yang bersamaan di berbagai ruangan muncul secara tiba-tiba para jenderal lainnya, dan seseorang berada menemplok langit-langit bagaikan seekor cicak.  Kemudian jenderal yang masuk secara diam-diam mengambil piring yang dituangi cairan kimia dari ditangan sang pendeta. Dan Sang Pendeta pun mengikuti sang jenderal dengan berjalan merangkak. Pada adegan-adegan awal ini, nampak sekuen yang memang cendrung kronologis melalui gambar-gambar yang simbolis. Sekuen-sekuen pada adegan awal ini  bagaikan sebuah ilusi dari kesadaran seorang pendeta melalui simbol-simbol gambar yang cendrung naratif.

Jika merujuk gagasan sinema Artaud, adegan-adegan awal “Seashelll and Clergyman” oleh Dulac memang masih mengandaikan kesan naratif melalui banyak adegan-adegan yang bersifat simbolis. Ilusi-ilusi sinema melalui teknik editing memang banyak mewarnai karya ini. Seperti satu bidikan (shot) yang memuat bidikan lainnya dalam satu bingkai (frame). Kecendrungan dari bingkai ini memang menjadikan sebuah gambar yang cendrung simbolis sebagai gambaran abstraksi dari sebuah narasi.  Entah apa yang dimaksud oleh Artaud tentang sensasi dalam kodrat, karena Artaud sendiri belum pernah menyutradari filem. Namun rekaman-rekaman pementasan Artaud pernah menunjukkan bagaimana ia ingin ‘menghadirkan’ pengertian-pengertian tubuh dengan memasukkan mikrofon ke dalam mulutnya untuk menyampaikan detak jantung kepada penonton. Apa yang ingin ditolak Artaud pada dasarnya adalah pengertian ‘representasi’, atau usaha-usaha keluar dari pengertian teks. Artaud memang cendrung percaya pada pengertian tubuh secara utuh dan tidak dikonseptualisasikan dalam kerangka teks.

Ada satu adegan yang cukup menarik dalam kerangka filemis Dulac dalam menerjemahkan naskah Artaud “The Seashell and Clergyman” ini. Adegan tersebut ketika Sang Pendeta berkelahi dengan Sang Jendral. Pada visualisasi adegan tersebut, sang jendral disimbolisasikan secara gambar yang terpecah dua pada wajahnya. Adegan yang sangat simbolis ini adalah penggunaan teknis sinema, khususnya terkait dengan teknis editing yang dimungkinkan dalam medium sinema. Dulac sendiri sebenarnya berusaha untuk membuat sebuah ‘sinema murni’ dari sebuah tafsir dari pengalaman emosi yang kental terdapat dalam naskah Artaud ini. Permainan-permainan tentang ‘bentuk’ (form), khususnya terkait dengan permainan-permainan editing pada gambar, banyak digunakan oleh Dulac untuk mewujudkan sinema tentang ‘mimpi’ dan kebenaran emosional dari Artaud. Jika merujuk pada filem “An Andalusian Dog” (1929), oleh Luis Bunuel dan Salvador Dali, adegan yang cukup terkenal ketika sebuah mata yang disilet dengan pisau adalah sebuah adegan yang cukup memberikan sensasi kepada penonton terkait dengan pengalaman emosional yang primodial dari penonton.

Secara filemis Dulac sebenarnya berusaha membuat sebuah filem yang berdasarkan kebenaran emosional. Seperti halnya pada gagasan-gagasan Artaud yang berusaha membuat pembaharuan dalam teater yang berangkat pada pengertian tubuh yang otonom dan pengalaman bawah sadar, karya “The Seashell and Clergyman” Dulac sebenarnya juga mencoba untuk menggali pengertian emosi secara filemis. Namun Dulac nampaknya masih mengandaikan gambar yang bersifat naratif dan kurang memberikan semacam visual yang bersifat ‘keterkejutan’ kepada penonton, atau memberikan gambar yang mampu menekan  pengalaman bawah sadar penonton. Tingkat abstaksi Dulac pada gambar cenderung lebih pada wilayah-wilayah simbolis dan enigmatik, bahkan juktaposisinya cenderung harmonis.

Artaud sebenarnya berharap filem “The Seashell and Clergyman” adalah sebuah “image murni, bukan menuturkan sebuah kisah namun membangun rangkain kondisi mental, yang dideduksi dari satu sama lain sebagai pikiran dari pikiran”. Namun tidak ada perwujudan yang ideal dari sinema Artaud yang bisa kita lihat, karena hanya “The Seashell and Clergyman” lah yang berhasil diwujudkan. Hanya melalui rujukan-rujukan pementasan aktor dan teater Artaud lah, kita bisa meraba-raba pengertian sinemanya, atau gagasan-gagasan sinema Artaud yang sempat ia tulisakan. Artaud sendiri sempat mengomentari karya sinema Marx Brothes seperti “Animal Crackers” (1930) dan “Monkey Business” (1931). Menurut Artaud “Filem pertama Marx Brothers yang kita saksikan disini, Animal Crackers, nampak pada ku dan pada setiap orang sebagai sesuatu yang luar biasa; pembebasan melalui medium layar dari sebuah magik tertentu yang mana hubungan lazimnya kata-kata dan image-image bukan penyingkapan yang biasa, dan jika terdapat sebuah karakter yang pasti, sebuah jarak kondisi puitis dari pikiran yang bisa disebut surealisme…”[ii]. Bagi Artaud karya Animal Crackers mungkin bukan sinematis maupun teateris secara khusus, semacam penghancuran dari seluruh realitas dalam pikiran. Selain Marx Brothers, Artaud sendiri pernah merujuk beberapa karya sinema macam permainan pada Charlie Chaplin dan Buster Keaton. Sensasi-sensasi tubuh dari kedua aktor tersebut cukup memberikan sensasi pada penonton, khususnya terkait dengan kebenaran-kebenaran emosional secara langsung.

Dalam sebuah tulisan Artaud tentang sinema yang berjudul “Cinema and Reality” (1927) ia menyatakan bahwa “Adalah jelas bahwa segala sesuatunya kita terlihat untuk saat ini yang melewati sinema abstrak dan murni adalah sangat jauh memenuhi apa yang nampaknya menjadi  syarat yang esensial dari sinema. Meski untuk pikiran manusia mungkin dapat menganggap dan menerima abstraksi, tidak ada yang bisa menanggapi murni garis geografis yang mana memiliki nilai yang tidak signifikan dalam dirinya sendiri dan yang bukan berhubungan dengan segala sensasi yang mana mata dari layar dapat menerima atau menjelaskan[iii].

Estetika ‘yang Menghadirkan’ (Present)

Di kemudian hari, Artaud mencoba merefleksikan kembali, dalam salah satu tulisan kritisnya tentang sinema melalui proposal-proposal gagasan teaternya pada buku “Theater and Its Double”.  Dalam buku tersebut Artaud membuat rumusan seni nya melalui konsep “Theatre cruelty”. Model-model pementasan yang ‘cruelty’ Artaud adalah sebuah pementasan yang ingin menggugah ketidaksadaran dan pengalaman yang tersembunyi dari manusia. Secara radikal Artaud mencoba membuat semacam ‘shock’ bagi para penontonnya, untuk merangsang daya aktif dari para penonton. Melalui teknik-teknik pementasan yang gestural secara langsung, merupakan usaha-usaha Artaud untuk menggugah daya aktif penonton terhadap pengalaman-pengalaman tersembunyi yang dimiliki para penonton. Menurut Jasques Derrida sendiri menganggap ide-ide artistik Artaud sebagai sebuah presentasi radikal ide artistiknya. “’Theater Cruelty’ bukanlah sebuah representasi. Ia adalah kehidupan itu sendiri, dalam perluasan untuk yang mana kehidupan tidak bisa direpresentasikan. Kehidupan adalah asal muasal representasi yang  non merepresentasikan.”[iv]

Ada sebuah peluang yang dimungkinkan dalam sinema bagi Artaud, yakni adanya proses reduktif dari representasi. Ada sebuah peluang untuk sebuah ‘kehadiran’ yang dimungkinkan dalam bahasa sinema, khususnya terkait dengan pengalaman-pengalaman ‘keterkejutan’ yang dimungkinkan dalam bahasa sinema ketimbang medium lainnya. Ada pontensi-potensi yang bisa digali lebih jauh di dalam sinema, khususnya terhadap artikulasi pandangan surealis yang mendorong persepsi bawah sadar terhadap realitas. Sinema memiliki potensi untuk memanipulasi gambar, serta kemampuan untuk membuat momen keserentakan dari waktu dan ruang yang berbeda, keserenakan antara batas materialisme dan spiritualisme, dan kesadaran dan bawah sadar.

Bagi Artaud “Sejumlah filem bukan kreasi ulang dari sebuah mimpi…”. Ia menegaskan, bahwa filem adalah sebuah “permainan murni dari penampakan”, sebuah “tabrakan objek, bentuk, penolakan, atraksi,” yang mana “adalah kelahiran bahasa inorganis yang menggerakan pikiran melalui osmosis dan tanpa segala jenis transposisi dalam kata. Itu adalah kehadiran, pendeknya “yang sangat esensi dari bahasa”, sebuah non-diskursif, bahasa yang non-translatable…”[v] Sampai akhir hayat Artaud, kita belum bisa menyaksikan apa perwujudan ideal dari gagasan-gagasan filemisnya. Nasib yang sama juga dialami pada gagasan-gagasan teater Artaud yang dalam perkembangannya kurang mendapatkan dukungan dalam proses produksi. Namun gagasan-gagasan Artaud, khususnya berkaitan dengan gagasan teater terus berkembang dan mempengaruhi visi berteater di banyak sutradara ternama.

Semangat Artaud pada dasarnya adalah estetika yang ‘menghadirkan’ sebagai usaha keluar dari pengertian manusia yang didasarkan pada teks dalam kerangka yang ‘representasi’. “Karya filemnya (Artaud) mencoba untuk menghadapi dan mencabik-cabik imaji yang muncul dari representasi atau penggambaran, menggerakkannya untuk mendekat pada tanda atau sinyal-sinyal pusat sensasi penoton.”[vi] Sinema Artaud adalah semacam perbatasan antara yang fiksi dan yang dokumenteris.  “Semua skenarionya memproyeksikan suatu atmosfir atau suasana kegelapan dan muruh, darah dan goncangan atau kejutan di perbatasan antara dua titik tersebut. Suatu penggandaan (doubling) yang tak henti-hentinya disajikan di sana; pembelahan-pembelahan atau pembagian-pembagian dihancurkan realitas dan fiksi, antara bahaya dan pertunjukan[vii].”

Penutup

Kegigihan dan konsistennya terhadap proposal seni yang ia perjuangkan, menyebabkan ia harus mengalami hidup yang tragis. Kecanduan akan konsumsi morfin, beberapa kali masuk rumah sakit jiwa, serta  pengobatan terhadap penyakit mentalnya menyebabkan ia harus melakukan proses sentruman listrik sebanyak 51 kali. Pada tanggal 4 Maret, tepatnya di tahun 1948, Artaud pun ditemukan dikamarnya dalam penghabisan hidupnya yang lelah dan nyaris tanpa dukungan finansial yan memadai. Periode-periode diseputar kehadiran Artaud memang tidak terlalu menonjolkan gagasan sinematografi. Namun pengalaman-pengalaman pahitnya sebagai seorang aktor filem, dan responnya terhadap kehadiran sinema sebagai medium, sempat ia rumuskan sendiri  tentang gagasan sinema nya.

[divider]

[i] Michael Richardson. Surealism and Cinema. New York: Berg, 2006, hlm. 1
[ii] Antonin Artaud. “Theater and Its Double”. New York: Grove Press, 1958. hlm. 142
[iii] Antonin Artaud. “Cinema and Reality” dalam Film Theory and Criticism; A History/Anthology (volume 1: 1907-1929) diedit oleh Richard Abel. New Jersey: Princenton University Press, 1988. hlm. 339
[iv] Jasques Derrida. “The Theater of Cruelty and The Closure of Representation” dalam Writing and Difference. London: Routledge, 1978, hlm. 294
[v] Richard Abel. “Great Debate” dalam French Film Theory and Criticism; A History/Anthology (volume 1: 1907-1929). New Jersey: Princenton University Press, 1988. hlm. 339
[vi] Stephen Barber. “Antonin Artaud; Ledakan dan Bom”. (terjemahan Max Arifin). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2006, hlm. 31
[vii] Ibid.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search