In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”] Melewati banyak tahun, dengan pengorbanan besar, menjelajahi banyak negara, aku pergi melihat pegunungan tinggi, aku pergi melihat samudera. Hanya saja yang tidak kulihat di depan pintu rumahku sendiri, kilau embun mengkilat di cuping daun pohon jagung.
–Visva Bharati.

Tentang Kota
Januari 2008, musim hujan di Jakarta dan musim dingin di Guwahati. Inilah perjalanan lintas musim Asia pertama saya dan perjalanan itu merupakan perjalanan saya ke sebuah kota India. Saya mengetahui India hanya dari bacaan buku-buku, termasuk novel Pather Panchali dan Aparajito karya Banerji juga puisi Kepada Tanah Jawa, yang dituliskan Tagore ketika berkunjung ke Indonesia. Tidak lupa pula, pengalaman visual yang saya peroleh dari filem-filem produksi India. Mulai dari realisme Satyajit Ray hingga Bollywood.
Kota Guwahati terletak di distrik Assam. Berada di wilayah timurlaut India yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, Myanmar, dan Indo-Cina. Wilayah itu rentan konflik. Setiap hari selalu termuat berita tentang perseteruan antara kaum militan dengan militer India. Di Assam sendiri terdapat banyak kelompok militan. Satu yang paling terkenal bernama United Liberation Front of Assam (ULFA). Nama kelompok ini sangat mudah ditemukan di tembok-tembok sepanjang jalan kota Guwahati. Begitu terkenalnya kelompok ini, dan juga kelompok-kelompok lainnya, membuat ketika saya berkunjung ke Kalkuta dan menetap di mes Guwahati, diawasi dan dijaga begitu ketat.
Persoalan geografi, konflik ideologi dan demografi masyarakat timurlaut India inilah yang memicu dilaksanakannya Northeast India and Its Transnational Neighborhood pada 17-18 Januari 2008, sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Indian Institute of Technology Guwahati, India. Konferensi ini juga menjadi titik tolak diadakannya dua kegiataan budaya yang diorganisir oleh Desire Machine Collective. Pertama, pameran visual Inner Lines yang dikuratori oleh Mriganka Madhukaillya. Kedua, residensi seniman pertama yang diadakan di kota Guwahati, diberi nama Periferry 1.0, yang diikuti oleh tujuh seniman dari enam negara. Dua pameran ini mengacu pada konsep perbatasan beserta sebab-akibatnya. Lintas budaya dan persoalan yang mengiringinya dibicarakan melalui karya-karya visual. Arts Network Asia (ANA) dan International Artists Association KHOJ merupakan lembaga-lembaga yang mendukung kegiatan ini.

Tentang Residensi
Residensi internasional ini dimulai dari 14 Januari-29 Februari 2008, difasilitasi oleh kelompok Desire Machine Collective serta diinisiasi oleh Mriganka Madhukaillya dan Sonal Jain. Ada tujuh partisipan yang terlibat, yakni: Syeda Farhana (Bangladesh), Parismita Singh (India), Desire Machine Collective (India), Bruce Allan (Inggris), Pauliina Salminen (Finlandia), Andrés Jaschek (Argentina), dan Mahardika Yudha (Indonesia). Para partisipan menetap bersama di sebuah apartemen berjarak 15 menit perjalanan menggunakan bus kota ke lokasi kerja yang berada di pelabuhan kecil Sukreswar, sebuah kapal feri bernama M.V. Chandardinga yang dekat dengan Jolporee di MG Road.
Tempat kerja yang berupa sebuah perahu itu tersandar di tepi sungai Brahmaputra, sungai yang telah membelah Assam menjadi dua wilayah: utara dan selatan. Sungai kota, Brahmaputra merupakan sungai satu-satunya di India yang menggunakan nama laki-laki. Brahmaputra: anak laki-laki Brahma. Sungai ini menghubungkan Tibet, timurlaut India, Bangladesh, dan berakhir ke laut Barat Bengal. Sungai inilah yang menjadi nyawa bagi timurlaut India, terutama distrik Assam. Di sungai ini, masyarakat melakukan kegiatan kesehariannya, hingga penggunaan perahu sebagai alat transportasi sungai. Kebutuhan akan transportasi tersebut memicu kemunculan pelabuhan-pelabuhan kecil baik yang beroperasi secara resmi maupun ilegal. Sungai telah penuh oleh lalu-lalang perahu-perahu penumpang. Dari perahu bermesin, hingga menggunakan kayuh. Mobilisasi dari satu daerah ke daerah lain, dari desa ke kota, dari kota ke desa. Mobilisasi yang selalu bergerak hingga malam.
Di pelabuhan-pelabuhan kecil itu saya bisa melihat wajah-wajah yang berbeda dari kota Guwahati. Kadang, jika beruntung, saya melihat wajah yang khas Asia Tenggara, seperti wajah saya, yang berdasarkan ucapan kawan saya: wajah yang biasanya berasal dari distrik Manipur. Interaksi, baik yang saling mengenal ataupun tidak, terjadi. Lintas budaya yang kemudian dibawanya ke sebuah kota bernama, Guwahati. Persoalan urban kemudian muncul, walau tidak sekompleks seperti di kota New Delhi, Bangalore, atau Kalkuta. Pemilihan sungai Brahmaputra sebagai tema untuk residensi ini, sangat penting mengingat Brahmaputra memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat Guwahati.

Tentang Karya
Enam minggu hidup bersama karakter budaya dari enam negara berbeda membawa pengalaman lain bagi saya. Mulai dari persoalan makan hingga perbedaan pandangan atas situasi kota yang sedang terjadi. Ini juga salah satu hal yang menarik dari residensi ini. Bukan cuma residensi ini terletak di wilayah perbatasan dan rawan konflik,tetapi  juga disebabkan pembahasan lintas-budayanya. Tentu ada proses keterpengaruhan dari masing-masing partisipan. Dari saling mempengaruhi persoalan keseharian hingga proses berkarya. Dari individu ke proses kolaboratif yang sifatnya tidak langsung. Lintas budaya terjadi dari masing-masing partisipan.
Karya yang dihasilkan selama enam minggu ini dipresentasikan pada 28 Februari 2008 di perahu tempat kami bekerja. Saya ingin banyak bercerita tentang karya yang dihasilkan. Jadi mari, saya ajak Anda kesana satu persatu.

Parismita Singh
Pekerja visual ini membuat komik setebal 32 halaman. Diberi judul The Adventures of Tejimola and Sati Beula, yang dibuat secara dwibahasa: Inggris dan Assamese. Pengalaman visualnya selama bekerja di perahu itu tertuang melalui tokoh-tokoh yang direkamnya. Tentang pekerja las perahu hingga kegiatan partisipan residensi.

Andrés Jaschek
Dia menghasilkan karya video instalasi berdurasi tujuh menit. Diberi judul, On My Way. Berkisah tentang sekelompok orang dalam perjalanan mereka ke suatu tempat, yang seolah-olah dilihat dari jendela kapal feri yang bergerak. Mereka hanyalah sebentuk garis di tengah-tengah panorama. Tiba-tiba, kapal feri berhenti tapi gerakan terus berlanjut. Video ini seakan ingin mempertanyakan, siapakah yang bergerak. Sebentuk gambar beku yang berbicara tentang mobilitas.

Pauliina Salminen
Juga menghasilkan karya video yang memampangkan perjalanan perahu selama sepuluh menit yang menghubungkan dua tepi sungai Brahmaputra, dua sisi Guwahati: kota dan desa. Video ini mempertanyakan persoalan kepemilikan. Gambarnya dihasilkan dari ambilan-ambilan spontan di hari-hari berbeda dari perjalan bus senimannya di Guwahati, digabungkan dengan teks yang menggambarkan perasaan disorientasi di sebuah kota asing dan mencoba memahami lingkungan tak dikenal.

Syeda Farhana
Menghasilkan karya instalasi fotografi, suara dan video bertajuk, Green Guwahati. Pada saat pameran dia membuat kios penjualan foto digital keindahan Brahmaputra. Di luar kiosnya, dia membuat papan reklame yang memampangkan kehidupan kelas pekerja di kota dan bagaimana kota itu sudah berubah. Di kiosnya, terdengar lagu-lagu yang dikumpulkan dari kelas pekerja kota.

Bruce Allan
Memamerkan karya instalasi fotografi bertajuk, Repository (for One Two) dan Your White Complexion.

Desire Machine Collective – Sonal Jain
Sebuah proyek komunitas dengan video bersama tukang perahu Bhotboti, sebuah perahu kecil yang mengantarkan orang dari dan ke baratdaya Guwahati. Dalam keseharian perjalanan di atas Bhotboti terjalin percakapan dengan tukang perahu mengenai beragam persoalan. Dari filem, Brahmaputra dan sebagainya. Karya proyek komunitas diberi judul, Bhotboti Tales.

Desire Machine Collective – Mriganka Madhukaillya
Dengan menggunakan teks tafsiran Plato atas Heraclitus, “you cannot step twice in the same river,” Mriganka Madhukaillya membuat instalasi suara di atas kapal feri MV. Chandardinga. Pemikiran dasarnya berkisar di antara aliran dan perubahan konstan sungai Brahmaputra yang menciptakan jaringan kerja historis penting dari orang-orang, barang dan gagasan. Dalam konteks perubahan dan pergerakan, teknologi digital dan jaringan kerja hadir sebagai medium ideal bagi segala bentuk penjelajahan yang sama. Karya proyek komunitas ini diberi tajuk, Layers of night.

Saya sendiri membuat single channel berdurasi 51 menit bertajuk, Purush yang mempertanyakan seberapa jauh seorang manusia harus berjalan untuk melenyapkan keterasingannya di sebuah kota asing bernama, Guwahati.

Tentang Purush
Selama perjalanan dari apartemen ke pelabuhan kecil Sukreswar di MG Road, saya selalu melihat kerumunan perempuan yang menunggu pekerjaan di pertigaan jalan Zoo Tiniali dan Mother Theresa. Berjajar perempuan muda dan tua yang duduk di sepanjang lintasan pejalan kaki menuju Narikalbari. Lewat dari pertigaan itu dengan menaiki sebuah bus kota, dari celah-celah kepala penumpang yang berdiri di dalam bus, saya melihat sejumlah perempuan pekerja kasar membawa pengki di kepalanya, berisi batu-batu kerikil di proyek pembangunan jalan di MG Road. Kemudian, di dalam bus kota sendiri, barisan kursi sebelah kiri –8 kursi—diberikan untuk kaum perempuan, sedang sisanya untuk laki-laki.
Lalu, berpindah ke persoalan konflik ideologi yang sedang terjadi antara kelompok militan dengan militer pemerintah India, di mana sampai sekarang belum menemukan titik cerah perdamaian. Militer dan cermin kejantanan. Sesampai di pelabuhan kecil Sukreswar, sejumlah laki-laki mendominasi tempat itu.

Apa yang saya lihat? Apa yang saya pikirkan?
Berjalan dari kedatangan saya di 17 Januari 2008, berbekal kamera tangan, saya merekam apa saja di kota dan di sekitar pelabuhan. Setiap hari apa yang telah saya bingkai dalam sebuah kamera, dicoba untuk dianalisa mulai dari komposisi hingga realitas yang terbingkai itu. Dari sepuluh kaset rekaman tentang keseharian di Guwahati, ada garis besar yang tanpa saya sadari telah terkonstruksi di kepala saya: persoalan kejantanan yang dipicu oleh pengetahuan singkat tentang konflik ideologi yang terjadi dan pengalaman pertama seumur hidup saya berada di wilayah konflik dengan senjata yang tak segan diperlihatkan kepada publik, walau dalam situasi kehidupan yang tenang dan tentram. Awalnya hal itu menjadi hambatan bagi saya. Namun setelah saya hidup lebih dari sebulan, melihat tanggapan masyarakat yang biasa saja menghadapi rangkai kejadian di kotanya, saya mulai menarik diri ke penglihatan obyektif.

Siapa saya?
Jika saya tidak berbicara dengan bahasa Inggris lokal saya, sangat musykil orang Guwahati, yang persis berada di sebelah mengetahui kalau saya bukan berasal dari India. Wajah yang terlihat seperti orang Manipur itu memberikan peluang untuk memasuki ruang-ruang privat masyarakat serumpun: Asia. Saya pun mencoba menawarkan kelokalan saya ke dalam sebuah video yang saya beri judul Purush, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai, jantan. Ambilan-ambilan gambar tentang kota dan situasi di pelabuhan dijalinkan pada padanan pemaknaan kata jantan. Mulai dari orkes masyarakat religius tentang kematian seorang ayah yang saya rekam dari sebuah rumah duka di depan apartemen, hingga artefak-artefak konflik ideologi yang sedang terjadi. Tentang pekerja kasar hingga lembutnya seorang lelaki menyuarakan pendapat soal ibunya. Tentang batas antara kultur desa hitam-putih ke kota yang lebih berwarna. Tentang hukum internasional di atas perairan antara India dan Indonesia. Mungkin terlalu banyak yang ingin saya sampaikan. Atau mungkin karena keterpanaan saya sebagai seorang asing yang datang untuk memastikan imajinasi saya terhadap India.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search