In Artikel

Tahun 2000, saya mulai mengenal Anggun Priambodo lebih dekat. Sebelumnya, saya hanya mengenal dia sebagai aktivis mahasiswa seni, yang banyak melakukan kegiatan luar kampus di Institut Kesenian Jakarta. Perkenalan lebih dekat terjadi saat ia menjadi salah satu mahasiswa yang aktif membantu ruangrupa sebagai volunteer pada proyek seni pertama kami, yaitu; Seni Publik. Dari beberapa volunteer yang terlibat di proyek pertama inilah, nantinya banyak memberi warna dalam perkembangan proyek-proyek seni di ruangrupa selanjutnya.

url-3

Rocket Rain, 2013

‘Culap’ atau ‘Culapo’! Begitulah kawan-kawan di ruangrupa memanggilnya. Ia merupakan salah satu seniman aktif yang banyak memberi warna dalam proses perkembangan artistik organisasi seniman kontemporer Jakarta ini. Warna yang paling menojol, tentu imajinasi ‘kekanak-kanakan’ Culapo di antara arus wacana ‘serius’ seni kontemporer yang ada di ruangrupa. Ia sering meletakan imajinasi anak-anak sebagai pijakan artistiknya. Misalnya, pada waktu saya dan kawan-kawan membuat proyek workshop video musik pada 2003 di mana Culapo menjadi salah satu partisipannya. Video musik kolaborasinya dengan Platon Theodoris (Australia) sangat mengejutkan kami. Ia membuat video aksi ‘intip-mengintip’ dengan tokoh boneka buatannya, yang merupakan penokohan para pemusik dari lagu PDKT 6 Bulan garapan grup band Bandempo di mana Culapo menjadi vokalis utamanya. Dalam video ini, digambarkan ‘boneka-boneka’ ini sedang mengintip perempuan seksi. Culapo berhasil meletakkan imajinasi tersebut dalam komedi permainan antara wilayah ‘dewasa’ dan anak-anak. Meskipun lagu yang ia pilih adalah persoalan yang sangat sederhana, tentang mimpi mendapatkan cinta seorang gadis.

Dalam beberapa video berikutnya, Culapo tidak pernah meninggalkan permainan yang saya sebutkan di atas. Namun dalam perkembangannya, ia jauh lebih matang dan serius dalam konten maupun capaian artistik. Bersama Henri Irawan (Henry Foundation), ia berkolaborasi mendirikan The Jadugar—sebuah kelompok yang memproduksi video-video musik yang eksperimentatif. Kelompok ini cukup berhasil memberi warna dalam dunia video musik di Indonesia. Bahkan mendapat penghargaan pada kompetisi dalam ajang penghargaan video musik di salah satu stasiun televisi. Pada sisi lain, sebagai seniman, Culapo juga sangat berkembang dalam menjelajahi kemungkinan bahasa seni video. Bisa dilihat pada karya videonya, Crash (2004) yang cukup fenomenal. Dalam video ini, Culapo dengan genial memainkan ‘bahasa’ frame dengan membenturkannya pada kesadaran realitas kita. Dalam Crash, ia berdiri di pinggir jalan di mana kendaraan lalu-lalang. Anggun menyengaja tubuhnya ‘tertabrak’ dengan imajinatif oleh lintasan kendaraan-kendaraan yang lewat ‘dalam frame’. Video ini secara langsung meletakkan peran medium video sebagai kritik pada ide ‘representasi’ kenyataan. Di mana Culapo bisa menyatakan: Tak ada kenyataan dalam video.

Ada banyak karya seni videonya yang bisa diungkap dalam tulisan ini. Namun, tentu saya tidak akan membahas satu persatu. Setelah banyak melihat dan mengikuti berbagai karya Culapo, baik yang dibuat di ruangrupa maupun di berbagai tempat, saya melihat kecenderungannya menggunakan ‘tubuh’ sebagai medium representasi dalam mengkritik kenyataan. Dalam hal ini, kita dapat melihat pada karya videonya yang paling fenomenal dan mendapat perhatian yang sangat luas dari kalangan peminat dan pengamat seni rupa kontemporer Indonesia, Sinema Elektronik (2009). Video ini mengkritik kuasa media dalam representasi kenyataan pada opera sabun di televisi Indonesia. Dalam video ini, Culapo menjadikan tubuhnya sebagai mendium representasi bagaimana televisi menghadirkan ‘mimpi’ kepada pemirsanya.

 

Lalu, bagaimana jika Anggun Priambodo membuat sebuah filem fiksi feature?

Dalam wawancara yang saya lakukan di rumah seorang kawan pada 14 Mei 2013, Anggun menceritakan latar ia memutuskan untuk membuat sebuah filem fiksi feature. Menurutnya, sebuah filem adalah sebuah tantangan lain yang memberikan peluang yang berbeda dari apa yang dia alami saat membuat karya-karya seni video. Seni video belum cukup memberikan ruang yang luas bagi penonton untuk berimajinasi dan mendapatkan pengalaman lain. Selain itu, dengan memproduksi sebuah filem cerita panjang, itu adalah kesempatan untuk memperluas jangkauan ‘penonton’ pada hal-hal yang eksperimentatif.

Rocket Rain, 2013

Rocket Rain, 2013

Filem Rocket Rain (2013) diniatkan sebagai sebuah bentuk lain dari filem berlatar otobiografis. Filem ini berangkat dari pengalaman pribadi yang ia fiksikan dan dikolaborasikan dengan imajinasi-imajinasi ‘tak terduga’. Imajinasi-imajinasi itu ia bayangkan dari latar belakang tokoh-tokoh (pemain) yang ia ajak berkolaborasi dalam filem ini. Tokoh-tokoh ini memainkan perannya dan membangun metafora pada bagian-bagian tertentu. Dalam Rocket Rain, Anggun tidak terlalu peduli pada persoalan ‘kemunculan’ dan ketidakmunculan tokoh dalam berbagai adegan filem. Tokoh dengan sengaja dibiarkan melebur dalam ‘konflik’ yang dibangun dari catatan-catatan pribadinya. Menurut Anggun, filem ini merupakan sebuah pertanyaan bagaimana sebuah kejujuran dapat dihadirkan dalam rangkaian peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang.

Rocket Rain bercerita tentang Culapo (Anggun Priambodo), seorang seniman, berlibur ke sebuah daerah berpantai, berhutan, dan selalu membawa kamera video bersamanya. Dalam filem, tidak pernah ada keterangan di mana lokasinya. Penonton dibiarkan untuk menduga-duga, di mana tempat sang seniman berlibur. Culapo mengundang temannya untuk datang berlibur, meski ada kesibukan di Jakarta. Jansen (Tumpal Tampubolon), sang teman, datang dengan membawa persoalan pribadinya. Selama liburan mereka saling sharing tentang persoalan keluarga, hidup, cita-cita dan sebagainya. Jansen digambarkan sebagai seorang suami yang begitu pelik dalam menghadapi persoalan keluarga. Ia tidak dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Culapo digambarkan seorang yang mencoba mengatasi persoalan pribadinya dengan melebur dalam aktivitas berkeseniannya, yaitu merekam dengan kamera video dan melakukan hal-hal biasa di tempat yang asing. Ia melihat persoalan pribadi hanya dapat diatasi dengan aktivitas-aktivitas ‘plesiran’ kebudayaan, yang bisa dilakukan dengan hal-hal yang sifatnya sehari-hari.

Selain dua tokoh di atas, ada seorang sopir mobil sewaan bernaman Pak Kancil (Narpati Awangga). Kemudian ada tokoh Rain (Rain Chudori), seorang gadis belia yang selalu punya artikulasi dan imajinasi dalam dialog-dialog erotis. Dua tokoh ini menjadi kunci filemis dari serangkaian peristiwa antara Jansen dan Culapo. Pak Kancil digambarkan sebagai seorang yang selalu ingin tahu dan percaya pada hal-hal klenik dalam masyarakat. Ia sangat percaya pada obat-obatan tradisional untuk menambah kejantanan pria dan beristrikan seorang perempuan bule. Sedangkan Rain, dihadirkan begitu saja sebagai penambat di tengah kehadiran tiga laki-laki dewasa dalam filem. Ia digambarkan sebagai tokoh gadis kekanak-kanakan—yang menurut Anggun secara psikologis masih anak-anak— namun selalu punya dialog yang mengarah pada imajinasi erotis secara tekstual. Dalam beberapa adegan, Rain secara ‘biasa’ mengucapkan berbagai suvenir berbentuk bunga dan menggatinya dengan kata ‘vagina’: Vagina adalah bunga-bunga. Kemunculan Rain di tengah tiga tokoh cukup menarik. Anggun menghadirkannya begitu saja saat Jansen dan Anggun bermain air di sebuah air terjun. Rain muncul secara tiba-tiba. Tak ada penjelasan siapa tokoh ini dan bagaimana relasinya dengan cerita sebelumnya. Anggun mencoba menggiring penonton pada permainan hal-hal yang mistis dan realitas. Pak Kancil yang sangat percaya pada hal-hal mistis sangat ketakutan saat Rain diajak naik ke dalam mobil untuk diantar ke suatu tempat. Jebakan ini saya kira cukup cerdas, karena penonton digiring pada memori mereka tentang cerita-cerita filem horor, padahal Rain dihadirkan sebagai penanda cerita dalam adegan-adegan berikutnya.

Empat tokoh utama dalam filem ini saling mengisi cerita dengan spontanitas. Culapo dan Jansen digambarkan sangat akrab. Mereka saling berbagi cerita persoalan-persoalan pribadi. Menurut Anggun, dialog-dialog antara Jansen dan Culapo merupakan sebuah kerja riset dari percakapannya dengan Tumpal Tampubolon. Dalam percakapan-percakapan itu, ia mendadar persoalan-persoalan otobiografisnya, yang kemudian disisipkan persoalan sosio-kultural dari Tumpal. Kemudian percakapan-percakapan itu dituliskan kembali oleh Tumpal yang juga sebagai penulis skenario untuk Rocket Rain.

Rocket Rain, 2013

Rocket Rain, 2013

Dalam mengemas Rocket Rain, Anggun memainkan imajinasi ‘kata-kata’ dari ‘curhatan’ Jansen. Ia membedah persoalan sosio-kultur orang Batak—yang dibawa oleh latar belakang Jansen, ke dalam dialog percakapan antar teman. Kadang terasa sangat serius, namun lebih banyak seperti percakapan sehari-hari saja. Hal ini berbanding terbalik dengan dialog Rain. Meskpun dialog Rain sangat sedikit sepanjang filem, namun dialognya begitu ‘keras’ keluar dari mulut seorang gadis belia. Menurut Anggun, teks-teks yang keluar dari dialog Rain merupakan ‘kebiasaan yang sudah ada’ dari Rain Chudori, namun tetap saja kata-kata erotisnya menegasikan ‘keseriusan’ dalam dialog antara Jansen dan Culapo. Bagi Anggun, dialog-dialog Rain merupakan kejutan-kejutan yang secara sengaja dilepas dalam rangkaian cerita. Rain ditempatkan sebagai dunia kekanak-kanakan yang selalu penuh kejutan yang kadang bertindak dan berimajinasi di luar dugaan orang dewasa. Anggun mencontohkan, dalam adegan tikus terlindas mobil Pak Kancil. Rain panik dan histeris. Tiga pria dewasa dalam mobil menganggap sebagai peristiwa biasa; hanya seekor tikus terlindas mobil. Namun, bagi Rain itu adalah persoalan yang sangat besar.

Terlepas dari cara penceritaan yang masih tumpang-tindih antara ‘keseriusan’, kekanak-kanakan dan imajinasi erotis dalam dialognya, Anggun cukup berani mengemas Rocket Rain dengan permainan visual di luar kebiasan filem-filem kita. Anggun menggabungkan konstruksi filem—yang mencoba merunutkan cerita dalam rangkaian gambar yang konservatif, dengan berani ia melakukan eksperimentasi yang menghadirkan beberapa elemen visual di luar kebiasan; animasi. Animasi dalam Rocket Rain bukan untuk mempercantik gambar. Ia dihadirkan sebagai ruang imajinasi tak terduga yang banyak dilakukan oleh para seniman video. Eksperimentasi ini, menurut saya perlu diapresiasi. Meski masih ada beberapa ketidaktepatan dalam meletakkan ekperimentasi itu dalam beberapa bagian. Tapi secara keseluruhan bisa dianggap baik, karena kepentingan penceritaan dalam filem. Seperti saat Culapo berjalan di sebuah padang dengan latar pepohonan. Secara tiba-tiba, sebuah pohon tercerabut dan menghilang. Bagi saya, peristiwa tercerabutnya pohon ini cukup tepat. Ia bisa dilihat sebagai hal-hal yang imajinatif dalam konteks ‘seni’ dalam karya-karya visual. Anggun secara tepat menghadirkan kejadian yang ‘spektakuler’ tersebut dengan sangat biasa. Tidak ada dramatisasi dan dibuat-buat untuk sebuah kejutan visual semacam itu.

maxresdefault

Rocket Rain, 2013

Pada bagian lain, saat Rain histeris mengetahui seekor tikus terlindas mobil mereka. Anggun melebih-lebihkan kepanikan Rain dengan visual tikus mati yang ‘dibesarkan’. Visual ini sangat terasa begitu menghentak dan di luar dugaan. Menurut Anggun, hal ini ia lakukan untuk menggambarkan bagaimana imajinasi visual Rain yang kekanak-kanakan dalam melihat peristiwa tragis, yaitu; visual yang berlebihan. Tentu kehadiran visual yang dilebih-lebihkan ini terasa ‘asing’. Karena Anggun masih mengaitkan dengan peristiwa sebelumnya yang secara visual dikonstruksi dalam bangunan cerita yang biasa.

Bagian ekperimentatif yang paling saya suka adalah peristiwa taruhan meminum telur mentah di ladang lidah buaya. Saya kira, sekuens ini merupakan rangkai-adegan yang sangat berhasil menggabungkan realitas filem dengan hal-hal eksperimentatif dengan sangat biasa. Meski secara visual terjadi loncatan yang sangat ekstrem, seperti; tokoh-tokoh dalam adegan ini secara tiba-tiba berubah menjadi berambut panjang. Anggun sangat sadar bagaimana membaca hal kultural dari lidah buaya dan telur. Permainan representasi tubuh, dan kritik pada dunia eksperimentasi visual saya kira sangat tergambar dalam rangkaian adegan bertaruh minum telur di ladang lidah buaya ini.

 

Bagaimana kita membandingkan filem feature Anggun Priambodo dengan karya-karya seninya yang lain?

Dari amatan saya, usaha untuk menggunakan representasi tubuh sebagai kritik, tidak terlalu berhasil dalam karya Rocket Rain. Meskipun Anggun menjadi salah satu pemain utama di dalamnya, kehadiran tubuhnya tidak hidup di wilayah kritik. Ia melebur dalam konstruksi filem yang tentu sangat berbeda pemahamannya dengan  cara seni video bermain, seperti yang ia lakukan pada karya-karya seni videonya. Mungkin perlu usaha lebih keras dalam menemukan cara yang lebih tepat bagaimana eksperimentasi visual dengan tubuh dan menggabungkannya dengan cara Anggun dalam bermain-main melalui karya seni video. Tapi dalam Rocket Rain perlu kita apresiasi dengan sangat tinggi, karena ia menemukan cara-cara yang cukup genial dalam menempatkan eksperimentasi tersebut, meskipun belum konsisten pada bagian-bagian tertentu. Pada eksperimentasi visual dalam karya seni videonya, Anggun dapat dilihat lebih utuh bermain dalam form dan tubuhnya. Tidak ditemukan celah untuk menjadi liar. Dalam wawancara dengan saya, ia mengakui bahwa menemukan cara yang paling efektif dalam menyampaikan cerita sekaligus memasukan eksperimentasi dalam visual memang tidak mudah dalam filem cerita panjang.

Anggun Priambodo

Anggun Priambodo. Sumber Foto.

Pada Rocket Rain, saya bisa meletakkan harapan pada kemungkinan-kemungkinan eksperimentasi dalam bahasa filem Indonesia. Tidak banyak sutradara yang secara berani bermain-main dan melepaskan formalitas bahasa dalam sinema kita. Apabila kita lihat perkembangan bahasa filem dunia, ada banyak sutradara besar kelas dunia yang belatar belakang seniman murni, dan mampu membebaskan keterkungkungan bahasa tersebut menjadi permainan yang lebih cair dengan memasukan eksperimentasi seni murni ke dalam karyanya. Sebut saja beberapa sutradara seperti; Apichatphong Weerasethakul, Harun Farocki, David Lynch, Alexander Kluge, dan lain-lain. Semoga Anggun Priambodo dapat terus menjadi ‘provokator’ lain sinema Indonesia dalam perkembangan bahasa filem yang lebih baik.

 

Wassalam.

 

[divider]

 

*Ditulis pada Juli 2013, yang diniatkan sebagai pengantar filem Rocket Rain.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search