In Artikel

Kehadiran dokumenter performatif dalam wacana visual kontemporer tampak semakin besar. Dokumenter performatif cenderung meletakkan performance sebagai sumber informasi dalam menangkap realitas. Bagaimanapun, realitas yang non-fiksional tidak terpisahkan dari struktur fiksional. Menurut Bruzzi, dokumenter performatif menggunakan pemeranan dalam konteks non-fiksi untuk menekankan kemustahilan representasi yang otentik.[1]

Tidak sedikit kecenderungan ini melibatkan pemeranan berdasarkan peristiwa sejarah. Beberapa dokumenter mementaskan kembali (re-enact) peristiwa di masa lampau melalui aspek di masa kini seperti agensi, moda observasi dan teknik staging. Sebagai contoh, Battle of Orgreave  (2001), karya Jeremy Deller, mementaskan kembali mogok buruh tambang Inggris tahun 1984; Paris Commune (2000), karya Peter Watkins, menggambarkan kembali revolusi Perancis 1789 melalui wawancara terhadap aktor yang berperan sebagai agen revolusi; Audition for Revolution (2006), karya Irina Botea, menulis ulang Revolusi Romania di tahun 1989 melalui ingatan orang awam di masa kini.

Usaha membentuk hubungan kritis dengan masa lalu sepertinya juga hadir dalam karya Joshua Oppenheimer, The Act of Killing (2013). Filem ini mendokumentasikan pemeranan pemimpin paramiliter dalam kampanye pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965. Filem ini memuat rangkaian proses pembunuhan berdasarkan imajinasi pelaku yang tampaknya terinspirasi dari filem mafia Hollywood dan pertunjukan Broadway.

Konten sejarah di dalam The Act of Killing pun tidak luput dari kritik dan debat di antara akademisi. Salah satunya dilontarkan oleh Robert Cribb, pakar sejarah peristiwa 65 di Indonesia. Cribb memiliki dua poin kritik; pertama, dokumenter tersebut hanya mengklaim keangkuhan pembantai tanpa disertai kritik. Pemeranan tersebut hanya ditujukan sebagai kejutan; kedua, dokumenter ini tidak menampilkan gambaran sejarah yang akurat. Menurutnya, pembantaian tampak dilakukan oleh psikopat sipil daripada gerakan yang dimobilisasi oleh militer. Alhasil, representasi pembantaian menegaskan kembali pandangan Orientalisme bahwa orang Indonesia tidak menghargai nilai kemanusiaan karena mereka membantai satu sama lain demi kepuasan pribadi.[2]

Pandangan di atas menunjukan argumen yang keras tanpa usaha lebih jauh melihat peran performativitas. Dalam hal ini, performativitas terlihat mengindikasikan peran sentral di dalam teks. Performativitas memiliki peran ganda yang menggambarkan representasi sejarah dan sekaligus kritik terhadap teks itu sendiri. Performativitas mendorong penonton untuk mengenali hubungan sejarah. Alih-alih menekankan fakta-fakta sejarah, performativitas membentuk celah sejarah mengenai peristiwa 65 yang mengisyaratkan keterhubungan masa lampau dan masa kini.

Merespon kritik Cribb, peran performativitas dapat dipahami melalui pertanyaan; pertama, bagaimana performativitas membentuk karakter sejarah subjek? Kedua, bagaimana performativitas menunjukkan celah di dalam sejarah?

Di dalam konstruksi bahasa, J.L Austin membedakan dua macam ujaran: konstatif dan performatif. Ujaran konstatif adalah pernyataan yang mengacu kepada pengetahuan faktual. Ujaran ini menempatkan kebenaran sebuah pernyataan tanpa menentukan benar salahnya aksi yang terkait di realitas. Sedangkan performatif merujuk kepada performing sebuah aksi-yang tidak hanya disebutkan.[3] Salah satu contoh performatif dalam bahasa Inggris “I do”. I atau saya tidak hanya menyatakan ikatan sebuah pasangan dalam pernikahan, tetapi juga ‘saya melakukan aksi pernikahan’.

Ujaran performatif serupa sesuai dengan upaya performance sejarah yang dilakukan Anwar, Adi dan Herman. Performance menjadi penting karena ia adalah moda dalam merepresentasikan “pembantai heroik”. Performance ini berangkat dari sebuah scene di awal filem. Anwar berpendapat rencana filem mereka mungkin akan berakhir di layar kecil dan tidak sebanding dengan produksi Hollywood (Paramount, MGM, Rank Organization). Namun ia menegaskan: “Tetapi kita harus memperlihatkannya. Bahwa inilah sejarah. Inilah kita”. Ujaran performatif  memperlihatkan sejarah ini nantinya dibentuk bagaimana dramatisasi digambarkan sesudahnya.

Ujaran performatif ditampilkan di scene re-enactment ketika Anwar menghasut anggota Pemuda Pancasila (PP) untuk membumihanguskan PKI.[4] Seorang deputi menteri Indonesia, Asmara, memerankan pemimpin PP dan menyerahkan kendali kepada Anwar. Anwar meresponnya dengan hasutan kepada anggota PP untuk menghabisi PKI dan jika perlu membakar rumah mereka. Anggota PP pun mengamini hasutan tersebut untuk membunuh dan memotong kepala anggota PKI. Di akhir scene, Anwar dan geng PP mengakhiri dramatisasi tersebut dengan cut! cut! cut!.

maxresdefault

Kata ‘cut!’ tidak hanya menandai akhir sebuah penutup adegan syuting, tetapi juga menegaskan nilai ‘memperlihatkan sejarah’ yang berlapis: lapis pertama, dibangun melalui dramatisasi yang sengaja dibuat-buat. Dengan kata lain, Anwar dan teman-teman memiliki kesadaran atas pembedaan antara kualitas fiksional dan non-fiksional sejarah; bergeser ke lapis kedua: mengacu kepada keterlibatan Herman, Asmara, dan geng PP yang tidak melakukan pembantaian di 65:[5] Walaupun dramatisasi bersumber pada masa lalu, nilai performatif kemudian juga ditambah dengan kualitas temporal dari agensi yang berada di masa kini.

Pembedaan antara kualitas fiksional dan non-fiksional semakin dipastikan ketika Anwar mengomentari perannya sebagai korban. Di sebuah scene Anwar mengajak cucunya untuk menonton adegan di tv yang berisikan tentang bagaimana ia disiksa oleh pembantai dalam kampanye 65.[6]Anwar kemudian menyatakan betapa takutnya dirinya sebagai korban. Di sela-sela komentarnya, sang sutradara meragukan apakah dia benar-benar takut, karena apa yang dialami korban di keadaan nyata jauh lebih mengerikan. Anwar menambahkan: “Tetapi aku benar-benar merasakannya Josh. Sungguh, aku merasakannya”. Di satu sisi, ketakutan ini hanyalah upaya dramatisasi dalam bentuk re-enactment yang fiksional. Di sisi lain, scene ini menunjukkan bahwa Anwar memiliki self-reflexivity atau otoritas untuk menjadi subjek pembantai sekaligus objek korban yang bersumber dari perannya.

Dalam konsepsi Austin, performance Anwar kemudian tampak jelas menggambarkan dimensi atau ruang performatif. Namun, gagasan ujaran performatif Austin belum menjelaskan bagaimana performativitas subjek (Anwar) bekerja. Membaca self-reflexivity dalam ujaran performatif  “pembantai heroik” dan sejarah nasional sebagai sumber narasi performance Anwar, sejarah tampaknya tidak lagi dipahami sebagai sebuah narasi yang esensialis: kokoh atau stabil. Narasi sejarah kemudian dibahasakan melalui keberadaan narasi dan kontradiksi internal di dalamnya.

Di dalam Bodies that Matter, Judith Butler, menolak sistem bahasa dalam gagasan strukturalisme sebagai sebuah struktur yang mapan, alamiah, dan tidak bisa digugat. Dengan akar Derridean, Ia beranggapan bahwa bahasa justru dibentuk melalui performativitas seorang subjek. Sama halnya dengan narasi sejarah, Ia beranggapan konstruksi seksualitas seorang subjek dibentuk melalui aksi tubuh yang mengutip aturan atau norma melalui dimensi performatif. Proses ini layaknya hukum yuridis.

Seorang hakim tidak menciptakan hukum, namun ia “mengutip” aturan hukum. Ia merujuk kepada otoritas hukum yang mendahuluinya dengan mengutip undang-undang terus menerus. Ketika sebuah ujaran hukum disampaikan melalui hukuman atau sangsi, otoritas hukum kemudian bekerja. Maka, konstruksi otoritas merupakan pengulangan ujaran hukum yang bersifat performatif. Dengan kata lain, tidak ada subjek otoritas yang orisinil melainkan yang dibangun dengan ‘penundaan’ (deferral) otoritas ke konstruksi yang telah ada.

Secara khusus, performativitas melibatkan proses kutipan internal. Kata kuncinya adalah self-reflexivity. Subjek sadar terhadap aksi yang diciptakan dan diperagakan oleh subjek sendiri. Mengingat dramatisasi adalah moda ujaran performatif, aturan di dalam dramatisasi seperti staging (pengadeganan) menjadi hukum dalam ujaran performatif. Tidak ada “sejarah” yang dimiliki subjek selain aksi yang ia tampilkan, karena aksi menopang performativitas dan sekaligus memberikan identitas kepada subjek. Tanpa aksi dramatisasi, subjek tidak akan pernah hadir. Hukum ini kemudian memiliki dua fungsi; sebagai material kutipan dan sasaran kutipan. Dengan demikian, cara kutipan internal adalah kutipan yang dilakukan subjek dengan mengacu kepada dirinya dan penyempurnaan yang terus menerus.

Tujuan kutipan internal adalah penyempurnaan aksi performatif. Walaupun berkaitan, penyempurnaan ini mesti dibedakan dengan hasil dramatisasi yang menjadi moda aksi performatif. Hasil aksi tidak bisa memberikan informasi bagaimana mengetahui proses produksi aksi. Kutipan internal kemudian ditujukan kepada proses produksi yakni staging (pengadeganan).  Hanya pengadegananlah yang mengatur kestabilan antara subjek dan produksi aksi. Dengan kata lain, kutipan internal ditujukan kepada hubungan keberadaan subjek dengan hasil dramatisasinya.

Pertanyaannya kemudian adalah dimana hubungan ini berada dan bagaimana penyempurnaan bekerja. Penyempurnaan aksi performatif mengacu kepada cara subjek memperkirakan dirinya dengan diri yang fiksional. Mekanisme ini seperti ‘hasutan’ terhadap kesadaran subjek dengan refleksi dirinya. Yang menjadi penting, penyempurnaan diri melibatkan ‘hasutan’ historis. Kesadaran subjek tentang masa lalu dihasut oleh keadaan masa kini. Bagi penonton, hasutan ini utamanya diciptakan oleh teknik drama yang disebut Gestus.

Brecht menciptakan Gestus sebagai sebuah cara pandang estetik yang menempatkan penonton pada posisi di mana mereka bisa melihat perbandingan tentang apa saja yang mempengaruhi cara manusia bertingkah laku.[7] Cara pandang ini mengacu kepada penelanjangan seluruh sikap subjek terhadap tingkah laku sosialnya. Gestus kemudian dibaca: sandiwara atau dramatisasi adalah moda tingkah laku yang tampak dalam scene kerusuhan dan scene di mana anwar menonton bersama cucunya.

Teknik estetik Gestus dengan cermat memberi ruang bagi penonton untuk memahami seluruh rangkaian penyempurnaan ‘masa lalu heroik’ Anwar dalam kampanye pembantaian seluruh anggota PKI di tahun 65. Ketika Gestus diartikulasikan, ‘masa lalu heroik’ kemudian dibaca sebagai penyempurnaan tentang masa lalu. Tidak hanya dalam makna dramatisasi sederhana, tetapi dalam hubungan yang kompleks terhadap masa kini.

Dalam penciptaan narasi ‘masa lalu heroik’, Gestus setidaknya memiliki dua kegunaan. Pertama, sebagai jembatan ke penyempurnaan identitas subjek sebagai pembantai heroik. Penyempurnaan bekerja melalui pembuktian berulang terhadap kemampuan subjek mengenali diri yang fiksional. Di dalam scene kerusuhan PP, Asmara, pemimpin geng yang merasa tidak nyaman dengan reaksi brutal anggotanya untuk membunuh, memenggal kepala, bahkan meminum darah calon korban mereka. Ia tampak takut karena brutalitas mereka dapat mencoreng reputasinya sebagai wakil Negara atau PP sebagai organisasi nasional. Bertentangan dengan pernyataan sebelumnya, kemudian ia memohon kepada sutradara: ‘Kamu tahu. Jangan hapus itu. Gunakan itu untuk memperlihatkan seberapa buasnya kami! Bahkan kami bisa lebih dari itu.’

ff20140411a3a

Memperlihatkan kemungkinan paling buruk sebagai pembantai menunjukkan jarak terhadap diri yang fiksional. Penyempurnaan dramatisasi adalah aksi berulang yang disampaikan setelah Gestus cut! cut! cut!. Tanda kesadaran refleksif subjek terhadap dramatisasi melalui cut! menunjukkan walaupun usaha dramatisasi telah berakhir, subjek tetap memaksakan diri ideal yang fiksional. Peran Gestus kemudian mendukung penyempurnaan aksi tubuh di mana ‘penjelmaannya tidak pernah selesai’.[8]

Kedua dan terutama sekali, Gestus memberikan jarak kepada penonton melalui pembedaan antara Gestus dramatisasi dan Gestus filmis. Gestus dramatisasi mengacu kepada aksi yang dihasilkan oleh adegan-adegan di dalam filem. Sedangkan Gestus filmis berarti dorongan realitas sosial di luar filem untuk membuat adegan tersebut. Dorongan ini dibatasi oleh sifat dokumenter sebagai karya seni non-fiksi yang mengandung konten fiksional. Mengacu kepada percakapan Harun Farocki dengan Hito Steyerl, ia berpendapat bahwa dokumenter adalah imitasi ajaib terhadap realitas.[9] Dokumenter tidak terpisahkan dari proses imitasi atas realitas.

Gestus filmis dibentuk oleh karakter paradoks dokumenter. Di satu sisi, dokumenter akan selalu memuat struktur fiksional yang diciptakan oleh performance. Di sisi lain, Gestus filmis menjadi semacam ruang ajaib yang membentuk dan menghancurkan karakter fiksi yang mengacu kepada realitas. Gestus filmis kemudian bekerja karena dijelmakan sebagai fiksi dan memuat hubungan antara fiksi dan realitas.

Dengan demikian, imitasi terhadap masa kini lah yang menjelmakan mimesisnya, yakni ‘masa lalu heroik’.Imitasi bukan lah yang tampak sebagai karakter, peristiwa atau adegan. Imitasi masa kini bukanlah ujaran performatif melalui sandiwara atau komentar terhadap dramatisasi. Imitasi adalah kemampuan untuk membawahi aksi performatif tersebut. Kemampuan utama inilah yang memungkinkan Anwar untuk memperkirakan diri fiksionalnya, termasuk pengembangan karakter (Herman, Asmara, dan geng PP) dan adegan pembantaian. Singkatnya, pembuatan fiksi mengenai masa lalu menunjukkan kemampuan Anwar di masa kini untuk meniru ‘masa lalu’ bersifat performatif.

Kemampuan performativitas Anwar tidak hanya dibentuk oleh kutipan internal, tetapi juga kekangan terhadap aksi tersebut. Menurut Butler, kekangan adalah kondisi utama dari performativitas.[10] Kekangan adalah larangan yang membuat aksi menjadi tidak mungkin dan tidak terbayangkan. Mengaitkannya dengan kemampuan performatifitas yang bersifat historis, kekangan ini dibuktikan oleh dua scene. Pada scene pertama: ketakutan Adi bahwa filem yang mereka adegankan akan merubah sejarah nasional tentang PKI yang kejam.[11] Justru merekalah yang membantai anggota PKI dalam kampanye 65. Di scene kedua, di akhir filem Anwar kembali ke lantai atas di mana ia membantai para korbannya. Anwar mengaku pembunuhan yang dilakukannya adalah rahasia sejarah nasional.[12] Dua scene ini menunjukkan ketidakmungkinan untuk menampilkan ‘pembantai heroik’ yang fiksional melalui performance pembantaian.

Pada akhirnya, kekangan performativitas membentuk karakter sejarah subjek. Ketika kekangan bertentangan dengan fiksi atas diri, subjek lalu menunjukkan bahwa ia sebenarnya menguasai kemampuan untuk melakukan tiruan atas masa kini. Dimensi masa lalu tentang ‘pembantai heroik’ bergerak kepada subjek yang menguasai ruang proses imitasi. Dengan mengutip fiksi tentang ‘masa lalu’, Diri Anwar kemudian bergeser sebagai subjek ‘masa kini’.

Menjawab pertanyaan di awal bagaimana subjek membentuk karakter sejarahnya: fiksi Anwar sebagai ‘pembantai heroik’ di masa lalu, kemudian tertutupi oleh kontradiksi antara kemampuan membuat fiksi tentang masa lalu dan ketidakmungkinan untuk membayangkan representasi sejarah tersebut.

Kontradiksi ini kemudian memaksa penonton untuk memahami bahwa fiksi masa lalu Anwar tidak bisa lagi dimaknai sekedar adegan buatan. Namun, kamera justru menunjukkan bahwa Anwar hanya menghidupkan kembali masa lalu. Di sinilah Gestus bekerja melalui pengalaman keterasingan dan terguncang dengan pemahaman tersebut. Alhasil, penonton tidak bisa lagi untuk tidak memaknai bahwa realitas masa kini lah yang memungkinkan Anwar untuk memanipulasi gambaran dirinya di masa lalu.

[divider scroll_text=””]

 

[1]Stella Bruzzi. “New Documentary”, 2nd edn (USA and Canada: Routledge, 2006), hlm.185.

[2]Robert Cribb, The Act of Killing, ‘Critical Asian Studies’, 46.1 (2014), 147-149 (hlm.147)

[3]J.L Austin, ‘How to Do Things with Words’(Oxford: Clarendon Press, 1962), hlm.5.

[4]Lihat  adegan di 1:53:58, The Act of Killing, dir. by Joshua Oppenheimer (Drafthouse Film, 2012) [Dvd]

[5]Adegan ini kemungkinan direkam selama masa produksi dari 2005 hingga 2012.

[6]Lihat adegan di 2:25:34, The Act of Killing.

[7] ‘Brecht on Theatre: The Development of An Aesthetics’, ed. and trans. by John Willet (London: EyreMethuen, 1964), hlm.86.

[8]Judith Butler, ‘Bodies that Matter’(USA and Canada: Routledge, 2011), hlm.xii.

[9]Harun Farocki and Hito Steyerl, ‘Cahier #2: Magical imitation of Reality’, ed. by Joanna Fidducia(Kaleidoscope Press, 2011), hlm.16.

[10]Judith Butler, op.cit., hlm. 59.

[11]Lihat adegan di 1:04:28, The Act of Killing.

[12]Lihat adegan di 2:30:45, The Act of Killing.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search