In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

Artikel Adrian Jonathan yang berjudul “Mobilitas Sosial untuk Pemula” ini pertama kali dimuat di dalam katalog ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 sebagai esai pengantar (esai kuratorial) untuk salah satu Program Kuratorial, yang juga berjudul sama dengan esai, di festival tersebut.

Membaca kembali artikel ini, kita seakan diingatkan soal kontribusi besar dari dua sutradara dokumenter ternama Indonesia, Shalahuddin Siregar dan Dwi Sujanti Nugraheni, dalam membangun wacana perfilman, khususnya genre dokumenter, yang menaruh perhatian besar pada isu-isu sosial. Bukan sekadar menaruh perhatian, kedua sutradara ini juga telah membuktikan melalui karya-karya mereka bahwa keberpihakan sinema terhadap kelompok yang dimarjinalkan merupakan hal yang paling esensial.

Dalam analisis kuratorial Adrian, kita dapat menyimak bahwa kedua film, Negeri di Bawah Kabut dan Denok & Gareng, menyoroti isu kemiskinan yang di dalamnya kita bertemu dengan dua persoalan yang lebih spesifik: pendidikan dan kerja. Dengan modus produksi film yang menekankan keintiman antara pembuat dan narasumber, masing-masing sutradara dari kedua film tersebut menawarkan suatu gambaran pemetaan tentang relasi antara kerja (orang tua) dan pendidikan (anak) pada tingkat yang paling bawah dalam strata sosial, dan sekaligus menunjukkan ketiadaan peran negara dalam menanggulangi persoalan di dalam relasi tersebut.

Dalam rangka mengelaborasi visi kedua sturadara, Adrian, di tulisannya ini, juga memberikan sebuah refleksi tentang bagaimana kecenderungan dari pembingkaian isu kesejahteraan rakyat di dalam sinema Indonesia, biasanya, merepresentasikan sebuah stereotipe sosial yang didominasi oleh moralitas rezim kekuasaan. Agar perfilman kita berkembang dan semakin mantap membangun ide dari apa yang bisa kita istilahkan sebagai “sinema berpihak”, maka stereotipe semacam itulah yang semestinya harus digugah, menurut Adrian, sebagaimana yang dicontohkan oleh kedua sutradara tersebut.

Esai kuratorial ini sudah pernah dimuat ulang oleh Jurnal Footage pada tanggal 28 Oktober 2013. Redaksi memuatnya kembali menggunakan tanggal baru, dengan suntingan minimal, sebagai bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

Mobilitas Sosial untuk Pemula

TIGA TAHUN LEBIH. Selama itu pembuat film Negeri di Bawah Kabut serta Denok & Gareng mengikuti narasumbernya. Di film pertama, kita mendapati Shalahuddin Siregar mengikuti geliat dua keluarga petani di Desa Genikan menyambung kehidupan di tengah perubahan cuaca yang tak menentu. Di film kedua, kita menyaksikan Dwi Sujanti Nugraheni merekam perjuangan sepasang mantan anak jalanan membangun rumah tangga di Desa Gamping.

Lokasi kedua film ini terpisah 42 kilometer jauhnya. Apabila dihitung berdasarkan panjang jalan raya yang menghubungkan Desa Genikan dan Desa Gamping, kita akan mendapati kisaran angka dari 61 sampai 70 kilometer. Cukup jauh. Jauh pula perbedaan corak kehidupan masing-masing desa. Genikan adalah sebuah desa terpencil di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, di mana kebanyakan warganya hidup dengan bertani. Gamping sendiri berada di pinggir Yogyakarta, salah satu kota yang terhitung maju di negeri ini. Artinya, ada opsi penghidupan tambahan yang didapat warga Gamping dari kedekatan geografis ini, bersamaan dengan opsi penghidupan yang mungkin diberikan oleh Desa Gamping sendiri.

Menariknya, di antara jarak geografis dan perbedaan corak kehidupan, warga kedua desa seperti terhubung oleh masalah serupa: kebutuhan menyekolahkan anak. Dalam Negeri di Bawah Kabut, isu ini menjadi dominan dari pertengahan hingga akhir film. Arifin, murid berprestasi di kelasnya, ingin lanjut SMP di sekolah negeri, tapi orangtua Arifin bukanlah kaum berpunya. Uang tiga ratus ribu masihlah terlalu besar untuk penghasilan seorang petani. Orangtua Arifin pun keliling desa cari pinjaman, yang juga tak didapat karena keluarga-keluarga lain sama kekurangannya. Isu yang sama turut hadir dalam Denok & Gareng. Sejak awal, pasangan ini mendapati anak lelakinya sering bolos sekolah, sementara biaya pendidikan yang harus mereka penuhi tak bisa dibilang murah. Masalahnya lagi, biaya pendidikan ini hanyalah satu dari sekian banyak tuntutan yang Denok dan Gareng harus penuhi, karena mereka ‘mewarisi’ hutang empat puluh juta Rupiah milik ayah Gareng yang kabur entah ke mana.

Perkara soal pendidikan anak ini menarik untuk diulik lebih lanjut. Sebutlah ini imajinasi populer masyarakat setempat, suatu harapan yang dijadikan pegangan untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Para orangtua dalam Negeri di Bawah Kabut serta Denok & Gareng tidak ada yang mengenyam bangku pendidikan, beberapa bahkan buta huruf, tapi semuanya terikat dalam komitmen menyekolahkan anak, walau memberi beban yang tak sedikit pada perekonomian mereka yang juga tak bisa dibilang stabil. Untuk apa? Tidak tahu, pembuat film juga tidak menyusurinya lebih lanjut.

Satu asumsi yang bisa kita panjatkan adalah untuk kehidupan lebih baik, seabstrak apa pun konsep itu. Asumsi ini lahir dari cara para pembuat film mengemas filmnya: dekat dan personal. Jarak terjauh antara penonton dengan para protagonis adalah medium shot. Kamera seakan-akan tak ada bagi para narasumber; atau lebih tepatnya mereka sudah terbiasa dengan kehadiran kamera di sekitar mereka, mengingat cukup lamanya waktu riset yang dilakukan para pembuat film. Tak ada narasi tambahan, tak ada pula angka dan statistik njlimet, yang ada hanyalah rekaman akan keseharian narasumber.

Dari rekaman-rekaman yang lekat ini, terpetakan ruang-ruang yang menubuhi keseharian para pekerja ini, dan semuanya tak lepas dari kebutuhan untuk bertahan hidup. Inilah yang menjadi benang merah kedua film. Para pekerja ini pergi-pulang menempati ruang kerja mereka untuk  menjamin keberlangsungan hidup, sementara kebutuhan datang silih berganti dengan nama yang berbeda. Tak ada jalan keluar, tak ada kesempatan untuk naik ke taraf kehidupan yang lebih baik.

Negeri Di Bawah Kabut (2011) karya Shalahuddin Siregar

Dalam Negeri di Bawah Kabut, kita mendapati para petani bolak-balik antara rumah dan ladang sawah. Klimaks cerita, atau momen krusial sebagaimana yang pembuat film lihat, ada pada perjalanan ke pasar, titik di mana segala hasil jerih payah para petani ditukar dengan sejumlah uang, yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ironisnya, harga pasar yang tak menentu hanya menghasilkan cukup uang untuk melunasi kebutuhan-kebutuhan mendesak, sedikit sekali bahkan tidak ada yang tersisa untuk ditabung. Mereka pun kembali ke rumah untuk memulai siklus kerja serupa. Dalam Denok & Gareng, kita bisa melihat para protagonis bolak-balik ke kota untuk sejumlah pekerjaan sampingan: Gareng dan ibunya mengais-ais bak sampah, Denok membuat berbagai produk kerajinan tangan. Untuk penghasilan tambahan, mereka mengurus peternakan babi di halaman rumah mereka, atau menjual perabot apa pun yang ada di rumah mereka untuk melunasi apa pun yang harus segera dilunasi, salah satunya uang sekolah anak.

Pemetaan ruang-ruang kerja ini semakin menegaskan komitmen menyekolahkan anak tadi. Apabila hari ini habis di ladang-ladang dan pinggir jalan hanya untuk bertahan hidup, setidaknya kemakmuran hari esok bisa diusahakan lewat para penerus yang lebih terdidik, yang lebih ‘melek’ dengan cara dunia bekerja. Lagi-lagi ini asumsi, yang dirumuskan setelah melihat betapa abstraknya pegangan para orangtua dalam Negeri di Bawah Kabut serta Denok & Gareng. Para keluarga petani di Desa Genikan memegang kalender Jawa sebagai acuan siklus perubahan cuaca, sayangnya perangkat yang sama tak dapat menjelaskan perubahan iklim secara global akibat dari global warming. Mereka hanya bisa menelan rasa kecewa setiap melihat hasil panen yang jauh dari harapan. Begitu pula dengan pasutri Denok & Gareng. Gareng berteori: setiap jelang Lebaran, selalu saja ada perkara pelik yang menguras hasil kerjanya, dari kepergian bapaknya yang meninggalkan hutang hingga kecelakaan parah yang menimpa adiknya. Denok menyebutnya cobaan Allah, Gareng menamainya nasib buruk.

Denok & Gareng (2012) karya Dwi Sujanti Nugraheni - Trailer

Satu pertanyaan tersisa: di mana kontribusi negara terkait dengan aspirasi warganya akan kehidupan lebih baik? Nyaris absen, atau seperti guyonan ibu Gareng pada anaknya, “Pemerintah ya mengurusi orang-orang kaya dan berpendidikan, buat apa repot-repot mengurusi orang miskin sama orang bodoh.” Dalam kedua film, negara paling banter hadir dalam wujud janji kampanye, menyemai harapan-harapan di kalangan ekonomi bawah kalau situasi akan segera berubah. Nyatanya, yang berubah hanyalah biaya minimum kredit motor yang makin menurun, tapi pendidikan gratis yang terus-menerus disuarakan tak kunjung jadi nyata. Konsumsi didorong, kemasyalahatan khalayak tidak.

Penggambaran peran negara dalam kesejahteraan rakyat ini, dalam kasus sinema Indonesia, menarik untuk ditarik lebih luas lagi. Narasi kemiskinan dalam sinema Indonesia masihlah tidak jauh-jauh dari perkara moral. Seakan-akan dinamika kelas sosial, yang notabene ada dan terus bergejolak dalam tubuh masyarakat kita, bisa diselesaikan dengan penyesuaian moral dengan kebutuhan rezim (sewaktu Orde Baru) atau apa pun yang dianggap baik oleh kelas menengah (selepas Orde Baru). Siapa pun yang bertindak sesuai dengan konsensus moral yang ada, yang umumnya berarti hidup jujur, kerja keras, serta tunduk pada tuan dan Tuhan, pastilah ia akan keluar dari masalahnya dan naik kelas menjadi orang dengan harta berkecukupan.

Contohnya banyak sekali sepanjang sejarah film kita. Tahun 1970an semangat akhlak-baik-pangkal-kaya ini begitu kuat tercerap dalam film-film populer macam Yatim (1974), Sebatang Kara (1974), Jangan Biarkan Mereka Lapar (1975), Ratapan Si Miskin (1975), dan Nasib Si Miskin (1977). Pasca Reformasi semangat serupa kembali direproduksi dalam film-film seperti Rindu Purnama (2011), Rumah Tanpa Jendela (2011), dan film-film Islam pasca Ayat-Ayat Cinta (2008).

Sejumlah faktor historis bisa dikemukakan untuk menjelaskan fenomena ini. Dekade 1970an adalah periode ketika pemerintah mendengungkan wacana pembangunan dan persatuan bangsa. Ingat, pada tahun 1969, pemerintah Orde Baru pertama kalinya memulai Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pada periode yang sama, sensor film kian diperketat, baik dalam perumusan maupun penerapan, sehingga film diharapkan steril dari diskursus tentang konflik sosial. Ada pula tuntutan dari para intelek dan pengamat, termasuk di dalamnya dewan juri Festival Film Indonesia, agar sinema Indonesia turut merespon kebobrokan sosial yang secara konkret ada di masyarakat.

Perfilman nasional mengambil jalan tengah dengan memproduksi suatu mitos tentang mobilitas sosial. Melalui konflik moral yang protagonis hadapi, mobilitas sosial yang drastis menjadi sesuatu yang mungkin, sehingga segala konsepsi tentang perbedaan kelas hanya menjadi hambatan sementara yang protagonis dapat atasi. Dalam mitos tersebut, tidak ada istilahnya yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah sengsara. Bagi yang mau berusaha, semuanya akan setara pada akhirnya. Pada zamannya, mitos tersebut mudah diterima oleh kesadaran populer penonton Indonesia, dan tentunya oleh badan sensor. Rezim silih berganti, tapi Lembaga Sensor Film tetap bertahan di ujung siklus produksi, yang pada prosesnya melanggengkan mitos mobilitas sosial dalam sinema Indonesia sampai sekarang.

Fenomena ini jelas mengusik pikiran. Demokrasi paling riil di Indonesia saat ini adalah demokrasi produksi audiovisual. Teknologi digital memungkinkan generasi pembuat film sekarang untuk menghasilkan gambar dan bentuk cerita apa pun. Lebih pentingnya lagi, teknologi digital memungkinkan semua orang menjadi produsen, sebagaimana teknologi video di tahun 90an membuka akses produksi audiovisual, yang tadinya eksklusif milik industri dan sekolah film, bagi siapa pun di mana pun. Di atas kertas, sinema kita seharusnya bisa menjadi cermin dari keragaman bangsa. Kenyataannya, yang terjadi malah sebaliknya.

Pada titik ini, kita bisa mengapresiasi kontribusi Negeri di Bawah Kabut dan Denok & Gareng bagi khazanah sinema Indonesia. Menonton kedua dokumenter ini akan mengingatkan kita kalau tantangan terbesar sinema Indonesia saat ini bukanlah menjadi orisinil, tapi menjadi otentik. Mitos mobilitas sosial hanyalah satu di antara jutaan perkara negeri ini yang belum terartikulasikan  secara jujur oleh sinema kita. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah merekam realita apa adanya. []

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search