Menemani Akbar Yumni
Saya segera menebak-nebak raut muka Akbar beberapa saat setelah pengumuman pemenang festival dibacakan. Datar seperti biasa. Tapi entah mengapa saya seolah mendengar seruan, “Yah…!?”, dari bentuk mukanya saat itu. Sama seperti saya, dia mungkin sudah menentukan pilihan sendiri atas filem yang menurutnya paling layak dimenangkan, tapi agaknya harapan itu tidak diwujudkan oleh dewan juri.
Saat itu, Akbar sedang berdiskusi dengan Kush. Menghampiri mereka, saya pun bertanya, “Bagaimana menurut kalian?” Tak ada komentar dari mulut mereka, hanya bahu yang diangkat. Tidak terlalu mengecewakan, mungkin, karena kami tahu bahwa, selain 32 and 4 (2014) karya Chan Hau Chun dari Cina yang memenangkan kompetisi internasional itu, dewan juri juga menyebut secara khusus—sering diistilahkan “special mention”—filem berjudul Endless, Nameless (2014) karya Mont Tesprateep dari Thailand. Saya tak terlalu menyimak pernyataan juri, tapi Akbar menilai karya Mont Tesprateep itu, “Filem yang Asia banget!”. Tentang memori, tambahnya, dan memang agak sulit—atau mungkin tak nyambung—jika dibaca melalui cara pandang Barat. Alasan itu juga merupakan satu di antara banyak tebakan-tebakan sepintas lewat yang beredar dalam gosip antara saya dan kawan-kawan di Jakarta beberapa bulan lalu, saat mendengar kabar angin bahwa Jon Jost[1] tidak terlalu bergembira dengan Endless, Nameless.[2]
Malam dinobatkannya 32 and 4 sebagai pemenang, 29 November, adalah malam terakhir kami berada di Bangalore, India, dalam rangka menghadiri Experimenta – 9th International Festival of Moving Image Art. Pada bulan Agustus, Shai Heredia, Direktur Experimenta, datang ke Indonesia, mengisi program khusus di ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival,[3] menyajikan filem-filem era ‘60-an dan ‘70-an yang diproduksi oleh Films Division (FD), sebuah lembaga di bawah Kementerian Penerangan dan Penyiaran milik pemerintahan India. Melalui program khusus itu, Shai berspekulasi bahwa sinema eksperimental India telah dilakukan oleh para sutradara FD, yang mana pada masa itu mereka “berupaya merekonsiliasikan tradisi dan modernitas di India yang baru saja merdeka. ”[4] Pada 25-29 November, 2015, giliran Shai yang mengundang Akbar Yumni, kurator ARKIPEL dan kritikus dari Jurnal Footage, ke India untuk mengisi program khusus di Experimenta. Akbar menjuduli kuratorialnya, “Indonesian Contemporary Experimental Cinema”, berisi delapan filem era 2000-an yang menurutnya layak dipertahankan dan diperdebatkan karena memperjuangkan wacana sinema eksperimental di Indonesia.[5]
Saya yang ketiban untung menemani Akbar ke India, berkesempatan menyaksikan perhelatan sebuah festival selama lima hari yang padat. Dimulai dari pukul 12:30 hingga sekitar pukul 21:00, setiap harinya saya bisa menonton filem-filem menarik dan diskusi-diskusi yang menginspirasi di gedung Goethe Institut/ Max Mueller Bhavan, Bangalore, yang menjadi venue festival.
Bertemu Bjørn Melhus
Di hari keempat, 28 November, salah satu pengalaman yang berkesan buat saya, presentasi makalah Bjørn Melhus, bertajuk “The Yellow Brick Road”. Sungguh menghibur, jenaka, tapi penuh dengan pelajaran mengenai geopolitik dunia dan perkembangan seni media, termasuk tentang video performance. Shai, pada malam di hari yang sama, ketika ia mengemudi mobil untuk mengantarkan kami ke sebuah bar bernama Upbeat di Banaswadi (timur laut Bangalore) untuk party, menjelaskan bahwa Experimenta, sebagai festival filem, konsisten membangun tradisi khasnya setiap tahun dengan menghadirkan karya-karya gambar bergerak yang tidak hanya dalam bentuk penayangan filem konvensional, tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang lain. Inisiatif menghadirkan dua karya instalasi, berjudul Das Zauberglas (1991) dan Murphy (2008), contohnya, menunjukkan keberpihakan Experimenta, bahwa dalam wacana eksperimental, betapa keserbaanekaan bentuk dari budaya menonton telah menghancurkan batas-batas ruang gelap sinema.
Dua karya instalasi yang saya sebut itu dipamerkan di dalam perpustakaan Gothe Institut/ Max Mueller Bhavan. Karya itu dibuat oleh Bjørn tidak hanya dalam rangka mengomentari dan menginterpretasi secara kritis media massa, tetapi juga berbicara soal hubungan antara media massa itu sendiri dan para penonton melalui kerangka berpikir yang baru. Bjørn menjadikan dirinya sendiri sebagai “aktor” yang melakukan performance dalam karya-karya gambar bergeraknya. Dia memetik audio-audio dari dialog-dialog dalam karya-karya audiovisual populer, lantas mengolahnya sebagai dialog baru yang digunakan “si aktor” sebagai kritik terhadap topik-topik dunia, baik yang sifatnya historis maupun yang terkini, juga terhadap sinema dan televisi. Das Zauberglas yang saya lihat di Experimenta itu, misalnya, menggunakan dialog dari filem Broken Arrow (1950) karya Delmer Daves, versi bahasa Jerman. Sebagaimana penjelasan Bjørn saat memberikan presentasi dalam rangkaian acara Experimenta, yang menjadi bagian dari Program Profil Seniman, karya tersebut bermaksud mengkritik televisi, tentang dunia yang berlapis-lapis: (1) dunia kita, (2) dunia si aktor (yang diperankan oleh Bjørn sendiri) di dalam Das Zauberglas, dan (3) dunia si tokoh perempuan (juga diperankan oleh Bjørn) yang muncul di televisi yang ditonton si aktor. Ada adegan ketika dua karakter dalam karya itu melihat ke layar kaca, melihat kita; seketika saya terpikir soal hubungan tak terlihat antara kita sendiri dengan media yang kita tonton.
Bjørn, sejauh yang saya kenal dalam obrolan yang singkat, tampak sebagai orang yang serius, tapi karya-karyanya menunjukkan bahwa dia sangat lucu. Penonton tak putus tawa selama dia memberikan presentasi. Tapi, tetap saja, “Saya seperti mengikuti sebuah kuliah umum di kampus-kampus!”, demikian ungkapan saya kepada Philip Widmann, seorang seniman dari Jerman yang filemnya masuk dalam Program Kompetisi Internasional Experimenta, ketika ia bertanya kesan saya beberapa menit setelah presentasi Bjørn. Kami berdiri santai di depan gedung Max Mueller Bhavan saat jeda waktu istirahat, sebelum acara festival berlanjut ke Program Khusus “The Kalampag Tracking Agency” oleh Shireen Seno, seniman dan kurator dari Filipina—programnya juga sempat dipresentasikan di ARKIPEL Grand Illusion.
Sambil menikmati Teh Masala seharga 8 rupee yang dibeli dari pedagang kaki lima di pinggir jalan dekat venue, kami—saya, Philip, Shireen, Kush dan Akbar—membahas karya Bjørn. Ada komentar kritis dari Akbar yang membuat Kush Badhwar (anggota komite penyeleksi karya kompetisi internasional Experimenta) tertarik. Menurutnya, Bjørn berbicara perihal performance dalam tataran tubuh sebagai tubuh (berdasarkan yang saya tangkap, mungkin maksudnya tubuh dalam artian “daging”) meskipun dia menggunakan teknologi mesin semacam video. Akbar berpendapat praktik estetis Bjørn tak seprogresif Heiner Muller—seorang seniman teater asal Jerman yang disebut-sebut sebagai salah satu dramatist terpenting di abad 20. Meskipun berkarya di ranah teater, Akbar berpendapat bahwa performance Muller telah berbicara mengenai tubuh dalam pengertian tubuh medium, tubuh image, tubuh manusia. Berusaha memahami maksud Akbar—karena saya sendiri belum pernah mempelajari Muller—saya pun mencoba berspekulasi, bahwa mungkin karya-karya Bjørn, yang sarat dengan persoalan kontemporer mengenai media massa (teknologi yang telah melebur duna riil dan dunia imajinasi), seharusnya berpotensi ke arah itu, dan dengan ketersediaan teknologi mutakhir di masa sekarang, tampaknya capaian estetik Bjørn belum memuaskan teman saya yang selalu tak mau buru-buru memuji karya seni itu.
Terlepas dari itu, karya-karya Bjørn tetap penting dicatat dalam laporan perjalanan ini karena pokok fenomena yang diangkatnya, media massa, sangat penting untuk memperkaya perspektif akumassa.
Mencari Karya yang “akumassa”
Tentu saja, sebagai laporan perjalanan dalam kerangka redaksional akumassa, saya harus dapat memilah karya mana saja, yang ditayangkan Experimenta, yang membawa semangat akumassa, berdasarkan tiga poin kunci: narasi kecil, lokasi, dan peristiwa massa.
Dua karya filem yang saya sebut di awal tulisan, 32 and 4 dan Endless, Nameless, pada dasarnya bisa dikatakan mengangkat narasi kecil. 32 and 4 menggunakan pendekatan video diary dalam proses pembuatannya, menceritakan kisah hidup keluarga si sutradara yang orang tuanya bercerai. Si sutradara bahkan merangkai proses pembuatan filemnya sebagai bagian dari unsur dramatik yang hendak diartikulasikan dalam filemnya. Sedangkan Endless, Nameless, menarasikan pengalaman mitis, narasi kecil berdasarkan pengamatan si sutradara atas kenangan tentang kelompok wajib militer di sebuah kebun rumah seseorang. Namun, kedua karya tersebut sangat personal dan subjektif, mengikuti kehendak sutradaranya. Dengan demikian, menurut saya, 32 and 4 dan Endless, Nameless agak tidak pas dengan perspektif akumassa yang lebih menekankan sudut pandang warga—atau setidaknya, jika melihat karya video akumassa yang sudah pernah dibuat Forum Lenteng berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal di Indonesia, menekankan sudut pandang orang-orang selain si perekam, dalam bentuk yang visual (bukan sekadar komentar dalam wawancara).
Kedua filem itu berbeda dengan Imraan, C/o Carrom Club (2014) karya Udita Bhargava dari India. Filem ini tayang pada Program Kompetisi Internasional Experimenta di hari ketiga, 27 November. Meskipun menggunakan metode penyusunan bahasa visual yang berbeda sama sekali, filem Bhargava tersebut memenuhi tiga poin akumassa. Berkisah tentang keseharian seorang bocah 11 tahun bernama Imran (poin narasi kecil), yang merupakan anggota klub pemain karambol,dan bersama kawan-kawannya sering berjudi—bahkan merokok, walaupun mereka masih anak-anak—di sebuah tempat perjudian karambol (poin lokasi) di suatu sudut kota Mumbai, filem itu menawarkan kita secara sekilas suatu pengalaman budaya dari salah satu kelompok sosial yang ada di kota itu (poin peristiwa massa).
Beberapa anak yang disorot dalam filem itu berbicara ke hadapan kamera tentang dirinya, pengalaman-pengalamannya, pendapat-pendapatnya mengenai kehidupan, serta mimpi-mimpi mereka. Dapat kita rasakan ketika menonton filem itu, betapa kamera bergerak secara cair di tengah-tengah kerumunan massa di dalam ruangan judi. Semua orang menyadari kehadiran kamera, sedikit terganggu, tapi kemudian mereka acuh tak acuh saja, memberikan keleluasaan si perekam untuk mengambil gambar. Celetukan demi celetukan muncul dari mulut-mulut subjek yang difilemkan, seolah hendak mengganggu si perekam ketika sedang mewawancarai beberapa orang, tapi celetukan itu lantas tidak di-cut dan malah memperkaya percakapan dan suasana khas pemukiman urban kelas bawah. Menariknya, di mata saya, filem ini berhasil meloloskan diri dari jebakan eksotisisme yang menghantui para pembuat dokumenter, melalui penyutradaraan yang tidak mengarah-arahkan subjek, tidak pula menutup-nutupi keburukan tingkah laku dan ucapan (bahkan, justru tampil di dalam frame filem itu sebagai sesuatu yang lumrah dan tak mengusik moral penonton), dengan sorotan kamera yang memang mengamati dari dekat—baik dalam artian jarak maupun rasa. Filem ini, saya akui, memang hadir dengan membawa nuansa sensual atas lokasi, penuh hasrat, tapi dengan sadar tidak mengistimewa-istimewakan penampakannya.
Sementara pada filem yang lain, yang masuk dalam Program Khusus “Politics of Form” di hari kedua, 26 November, filem karya Priya Sen, berjudul Noon Day Dispensary (2014), dengan kesadaran penuh mengampukan dokumenter sebagai bentuk produksi yang bekerja atas momen/peristiwa. Menelusuri sebuah apotek milik pemerintah di Savda-Ghevra Ressettlement Colony, Delhi, pada satu waktu, kamera berhenti dalam sebuah ruangan di mana terjadi perdebatan antara si dokter dan pegiat NGO di bidang kesehatan. Pokok perdebatan mereka adalah terkait soal kualitas pelayanan yang tidak memuaskan para pasien. Si dokter membela diri dengan argumen-argumen yang tak kalah masuk akal, bahkan bukti-bukti itu terjadi di saat itu juga—misalnya, ketidaksabaran pasien dalam mengantre dan berkata kasar kepada si dokter—dan terekam oleh kamera. Filem itu seakan menjadi saksi pertarungan berbagai sudut pandang para subjek yang masing-masing memiliki keyakinan dan cara yang saling berbeda dalam hal menangani masalah kesehatan.
Priya Sen, yang menjadi salah satu anggota dewan juri Experimenta, hadir di sesi diskusi pasca penayangan filemnya. Ia menjelaskan, mengulangi penjelasan yang sudah tertera di sinopsis filem yang tercantum dalam katalog festival, bahwa filem itu diproduksi secara spontan dalam proses pengerjaan sebuah proyek audiovisual mengenai urban. Saya maklum, Priya Sen menghadapi rentetan pertanyaan kritis dari beberapa penonton terkait etika merekam, misalnya soal kesadaran si subjek, yakni si dokter, terhadap kamera, yang diyakini oleh beberapa penanya menjadi faktor yang memengaruhi ucapan-ucapannya saat menanggapi tuntutan para aktivis. Tapi, bagi saya pribadi, selain karya ini mengingatkan video-video dokumenter yang diproduksi oleh Halaman Papua—sedikit-banyak, program Halaman Papua mengadopsi metode akumassa—Noon Day Dispensary memancing perdebatan tentang pe-montase-an di kala syuting.
Priya Sen mengaku, sebagaimana yang ia utarakan kepada saya, bahwa ia berusaha mengembangkan metode dokumenter yang lepas dari batas-batas dokumenter konvensional—apalagi yang berbau Discovery Channel atau National Geographic. Menurut saya, kepekaan terhadap peristiwa serta kesabaran dalam mengatur pemencetan tombol on–off di alat perekaman yang dilakukan si sutradara, barangkali, menjadi poin yang diambil oleh Experimenta untuk mewacanakan Noon Day Dispensary sebagai bagian dari eksperimen produksi. Layaknya gagasan kuratorial Shai dalam mengemas artistik festivalnya tahun ini, “Politik Bentuk”, bahwa kita perlu mempertimbangkan subjektivitas dalam rangka mempromosikan ideologi-ideologi baru, dan itu tentunya memang akan berdampak pada estetika filem yang dihasilkan. Dengan kata lain, filem ini memang subjektif, tapi tetap mengkombinasikan elemen-elemen narasi kecil dan peristiwa massa yang ditemukan di lokasi sebagaimana adanya, tanpa menambah-nambah intervensi subjektif si sutradara di meja editing untuk menyampaikan gagasan estetik yang bermaksud lain, bahkan melompat jauh dari apa yang tampak di visual filemnya.
Sehubungan dengan hal itu, Akbar sempat menerangkan kepada saya, bahwa cinéma-vérité—salah satu pendekatan filosofis dalam memproduksi gambar bergerak menggunakan kamera, yang diakui oleh sutradara Noon Day Dispensary sedang berusaha ditumbuhsuburkan kembali melalui karyanya itu—sebenarnya adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi Jean Rouch selain sebagai konsep/gagasan belaka. Oleh karenanya, metode direct cinema ia kembangkan untuk, setidaknya, mencapai gagasan itu, yakni dengan menangkap peristiwa menggunakan kamera dan merepresentasikannya secara jujur guna mempertanyakan hubungan-hubungan dari realitas melalui sinema. Artinya, yang penting kemudian adalah “kebenaran sinema”, dan itulah yang membedakan dokumenter dengan liputan berita.
Membandingkannya dengan pembacaaan saya terhadap karya-karya video akumassa, pemikiran ini pun bisa fleksibel, sebab akumassa sebenarnya tidak berbicara tentang fakta dalam video-videonya, melainkan tentang sudut pandang (di mana sudut pandang selalu relatif). Berdasarkan pengalaman-pengalaman melakukan workshop akumassa bersama beberapa komunitas di beberapa daerah di Indonesia, saya memahami, bahwa pada karya-karya video akumassa, subjektivitas si perekam memang dikurangi seminimal mungkin melalui cara penyusunan gambar yang diatur dan ditentukan secara kolaboratif oleh para partisipan workshop sesuai ketentuan/aturan yang dinamai oleh Forum Lenteng sebagai “teknifikasi akumassa”, yaitu kamera merekam dari posisi atau jalur sirkulasi di mana orang-orang yang direkam dalam video itu bergerak dan beraktivitas. Hal itu untuk menekankan “kebenaran objektif” dari karya video: bukan kebenaran sebagai fakta, melainkan sebagai “kebenaran bahasa visual” (yang tentunya juga relatif), yang tidak lain untuk menunjukkan, bahwa ada subjek-subjek yang matanya terlibat dalam melihat suatu penampakan di sebuah lokasi, selain juga menelurkan opini-opininya mengenai narasi lokal yang berkembang di lokasi itu, dan video itu bukanlah dunia di mana si perekam adalah si maha tahu.
Sinema Eksperimental Indonesia
Kalau berbicara tentang sinema eksperimental Indonesia, saya melihat akumassa bagian dari itu, karena memang eksperimen bahasa visual yang sedang diusahakan oleh Forum Lenteng, terutama dalam membendung hegemoni dokumenter gaya televisi yang selama ini kita kenal. Oleh karenanya, tak heran Akbar memilih Tepian Sungai Ciujung (2009) produksi Saidjah Forum, komunitas dampingan akumassa di Lebak, Banten, sebagai salah satu filem dalam kuratorialnya.
Saat menemani Akbar presentasi, saya diminta Shai untuk mengenalkan Forum Lenteng dan festival ARKIPEL kepada para penonton festival. Shai sendiri sudah memuji kemilitansian ARKIPEL sebagai media distribusi pengetahuan. Salah satunya, kepada para penonton, ia menyampaikan apresiasi terhadap usaha Forum Lenteng yang memberikan hadiah kepadanya berupa satu harddisk eksternal yang berisikan karya-karya produksi organisasi kami secara cuma-cuma, di mana semua karya itu berada di bawah hukum copyleft dan prinsip open source. Semua penonton menyambut cerita Shai itu dengan tepuk tangan meriah. Semuanya tersenyum—itu yang saya lihat—dan senyuman penonton usai penayangan program kuratorial Akbar itu sedikit menghilangkan gugup kami berdua (saya tidak tahu, apakah Akbar juga merasakan hal demikian saat itu…?)
Saat menanggapi pertanyaan dari penonton tentang alasan pemilihan filem, Akbar menjawab bahwa tradisi sinema eksperimental di Indonesia semakin berkembang, terutama sejak teknologi video beredar di masyarakat Indonesia secara massal pada era digital. Berdasarkan penelitian Forum Lenteng dalam proyek Videobase, sejarah video di Indonesia terbagi dua periode, yakni era analog (masa ketika Negara, rezim ORBA, memanfaatkan video sebagai alat untuk menguatkan ideologinya, terutama melalui pembangunan stasiun TVRI) dan era digital (masa yang semakin terlihat sejak Reformasi 1998, di mana terbukanya keran kebebasan berekspresi memungkinkan warga memproduksi karya audiovisual versinya sendiri). Kemungkinan dan ketersediaan peluang untuk memiliki alat rekam berharga murah kemudian memengaruhi pemilihan topik dan gambar yang dipilih dari fenomena sehari-hari, juga termasuk cara penyusunan footage-footage menjadi satu keutuhan karya. Di situlah, sejauh yang saya tangkap dari pemaparan Akbar, eksperimen bahasa visual terjadi, karena karya-karya yang diproduksi tahun 2000-an di Indonesia, yang telah dipilih delapan di antaranya ke dalam kuratorialnya, tidak lagi menggunakan gaya penceritaan dokumenter-dokumenter lama. Hal itu tampak, misalnya, pada karya Kemarin (2008), karya Otty Widasari, yang mengkonstruksi pengalaman soal peristiwa Reformasi dari sudut pandang dirinya dan dua kawannya yang menjadi mahasiswa saat demonstrasi besar-besaran itu terjadi, atau Lembusura (2014) karya Wregas Bhanuteja yang mengkonstruksi peristiwa letusan Gunung Kelud dalam bahasa “main-main” tapi relevan untuk mengkontekstualisasikan mitos lokal dari sudut pandang generasi masa kini. Kuratorial ini membawa ide tentang video sebagai alat demokrasi.
Namun begitu, Keputusan di Sungai CiujungI (2009) karya Syaiful Anwar menjadi favorit di kalangan hadirin Experimenta, terutama mahasiswa/i dari Srishti Institute of Art, Design & Technology, India, yang menjadi relawan selama festival berlangsung. Ada yang beranggapan bahwa karya Syaiful sederhana, tetapi tepat durasi—dan bagi saya, karya itu sama seperti filem Priya Sen yang telah kita bahas, yakni bekerja atas momen. Ada juga yang takjub pada Suara Putra Brahma (2010) karya Mahardika Yudha, karena akrab dengan latar filem itu.
“Saya tidak menyangka ada lokasi yang mirip seperti India di Indonesia,” kata salah seorang kepada saya, sehari setelah penayangan.
“Tidak, lokasi itu tidak di Indonesia,” saya menanggapi.“Yudha memang membuatnya ketika dia suatu kali berada di India.” Dan orang yang berbincang dengan saya itu semakin bergairah.
Meskipun saya secara personal puas dengan presentasinya, Akbar justru merasa kurang, karena dalam sesi diskusi—yang mana hanya ada satu orang yang menanggapi, sisanya menyampaikan apresiasi mereka di luar venue saat waktu jeda istirahat—wacana tentang “sinema eksperimental” itu tidak terlalu banyak dibahas. “Padahal, itu pentingnya kuratorial,” ujar Akbar, seingat saya. “Mungkin, sebagai karya, filem-filem itu belum berhasil mencapai estetika baru, tapi sebagai wacana, dia layak diperbincangkan dan diperjuangkan. Dan itu gunanya kurator untuk menyoalkan gagasannya.”
“Saat ini, sebagian kurator di Asia tertolong karena ada karya-karya Apichatpong dan Lav Diaz saja. Kalau tidak ada mereka, kurator kita pasti nganggur,” ujar Akbar lagi, dengan nada sedikit jengkel. “Semestinya, tugasnya kurator adalah untuk menunjukkan peluang estetik pada karya-karya yang sebelumnya tidak dilirik, bukan lagi-lagi mengambil filem yang sudah jadi, mapan, apalagi membahasnya sebagai filem yang terpisah dari ide kuratorialnya.”
Saya pribadi setuju. Meskipun Experimenta riuh dengan antusiasme penonton, diskusi-diskusi yang berlangsung kurang membahas secara mendalam esensi kuratorial dalam penayangan filem. Ketika menulis ini, saya pun teringat kritikan Ade Darmawan, Direktur ruangrupa, terhadap sebuah rancangan kuratorial yang pernah saya buat dan konsultasikan padanya. “Peran lu sebagai kurator belum terlihat dalam rancangan itu,” katanya. “Jadi lu harus lebih cermat untuk menegaskan apa peran kurator dalam proses pelaksanaannya.”
Tapi, terlepas dari itu semua, saya patut bersyukur karena, bersama Akbar, pernah berkesempatan membawa wacana sinema eksperimental Indonesia ke Bangalore, India, di festival Experimenta. Paling tidak, wacana eksperimental menurut pemikiran Forum Lenteng. Experimenta adalah sebuah festival yang sangat ramai dan telah berhasil membentuk publiknya sendiri—pada hari pertama, 25 November, saya melihat ragam usia penonton, dari yang lebih muda dari saya hingga yang sudah tua renta tapi enerjik. Sebagai kota yang dikenal sebagai rumah industri filem-filem berdialek Kannada, etnis asli di wilayah selatan India, yakni provinsi Karnataka, yang memproduksi 100 filem tiap tahunnya, kehadiran Experimenta sejak 2003 adalah ruang bagi Bangalore untuk bereksperimen secara terus menerus tanpa henti di ranah sinema. Dan karenanya, cerita dari festival ini saya rasa penting untuk dibagi.
[1] Seorang pembuat filem eksperimental yang cukup berpengaruh di Amerika dan oleh Forum Lenteng diundang sebagai salah satu juri festival ARKIPEL Grand Illusion.
[2]Komentarnya atas filem itu bisa kita baca pada laporan pribadinya di Jon Jost (10 September, 2015), “Jakarta Piriformis Jujitsu”, situs blog Cinemaelectronica II, https://cinemaelectronica2.wordpress.com/2015/09/10/jakarta-piriformis-jujitsu/. Dipetik tanggal 7 Desember, 2015.
[3]Lihat katalog ARKIPEL Grand Illusion di sini: http://arkipel.org/catalogues/
[4]Shai Heredia (2015), “Experimenta India @ARKIPEL”, dalam ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, penyunt. M. Zikri dan U. T. Moetidjo (Jakarta: Forum Lenteng, 2015), hlm. 326.
[5]Lihat daftar filem-filem dalam kuratorial Akbar Yumni untuk Program Khusus Experimenta 2015 di sini: http://experimenta.in/?p=2375