In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

31 Desember 2011, sejak pagi hari penyelenggara The 3rd International Video Residency Festival, Jatiwangi Art Factory dan Sunday Screen telah berkeliling ke lima dusun yang berada di wilayah Desa Jatisura. Sambil mengumumkan peluncuran perdana JAFTV sekaligus menjadi acara penutupan Village Video Festival 2011, mereka juga menawarkan jasa pencarian saluran JAFTV bagi warga yang belum menangkap siarannya. Bentuk presentasi festival tahun ini berbeda dengan dua penyelenggaraan sebelumnya yang terkonsentrasi di satu titik di masing-masing desa. Kali ini festival akan berlangsung di ruang-ruang pribadi masyarakat desa Jatisura. Di dalam kamar tidur, di ruang tamu, di ruang makan, di ruang publik seperti warung kopi atau pos-pos Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan), atau di ruang manapun tempat yang memungkinkan untuk menghadirkan televisi. Hasil dari festival kali ini tidak berhenti pada perhelatan pameran tetapi akan terus berlangsung dan menjadi saluran mandiri bagi masyarakat desa Jatisura memproduksi pengetahuan dan informasinya sendiri.

upload-71

Peluncuran perdana JAFTV (Jatiwangi Art Factory Televisi) merupakan hasil dari festival video tahun ini. Village Video Festival diadakan setiap tahun di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Festival ini telah berjalan tiga kali sejak tahun 2009. Pada penyelenggaraan tahun ini, festival yang dikuratori secara kolaboratif antara Ade Darmawan dengan dua kurator muda, Alghorie dan Ismal Muntaha telah mengundang 6 seniman yang memiliki ragam pendekatan artisik. Lima seniman dari Indonesia: Serrum, Forum Lenteng, Prilla Tania, Oomleo, dan Kampung Halaman, serta dua seniman dari Singapura, Ghazi Alqudcy dan Ezzam Rahman dari Singapura.

The 3rd International Video Residency Festival 2011 berjalan empatbelas hari, terhitung sejak 18-31 Desember 2011. Rentang waktu itu digunakan oleh para seniman untuk melakukan penelitian dan produksi program televisi apa yang sekiranya bisa terus dilanjutkan oleh masyarakat Desa Jatisura. Program televisi yang menjadi tema besar festival menjadi tantangan besar bagi para partisipan untuk memikirkan program televisi yang tepat-guna dan sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat desa. Hal ini penting sekali dalam menciptakan sebuah program televisi yang berlanjut dan tidak sekedar menjadi saluran hiburan, media penyuluhan dan alternatif pengetahuan semata —seperti yang telah dilakukan oleh televisi-televisi komunitas yang mulai marak di Indonesia setelah tahun 1998, yang kehadirannya lebih seperti “bentuk baru kampanye dan komersialisasi” dari televisi yang sudah lebih dahulu ada saja, bahkan dengan kualitas yang lebih buruk— bukan dihadirkan sebagai televisi tandingan yang mampu mengakomodir persoalan-persoalan lokal. Para partisipan juga berupaya membuat saluran televisi yang mampu merefleksikan kesadaran akan media televisi itu sendiri. Dengan harapan besar, usai menonton siaran program di televisi itu masyarakat akan mempertanyakan kembali, memikirkan ulang, dan menyaring informasi-informasi yang mereka terima dari saluran televisi lain yang tertangkap oleh antena yang dipasang dengan bambu lima meter itu.

upload-21

Dari residensi selama dua minggu, secara umum para partisipan berhasil membuat lima kategori program televisi: Iklan Layanan Masyarakat, Edukasi, Hiburan, Talkshow, dan Reality Show. Prilla Tania, membuat lima seri video yang berbasis pada persoalan sampah di Dusun Pon. Ia membuat dua karya untuk program Iklan Layanan Masyarakat. Pertama tentang sampah plastik bungkus rokok yang diperankan oleh Mang Adeng, warga dari Dusun Pon. Ketika hendak melakukan pengambilan gambar, Mang Adeng dengan sigap menutup logo bungkus rokok itu. Ia menjelaskan alasannya menutup bungkus rokok karena tidak mau Iklan Layanan Masyarakat itu justru malah berbalik menjadi iklan rokok yang menguntungkan perusahaan rokok itu. Iklan Layanan Masyarakat kedua yang dibuat Prilla yaitu tentang sampah plastik kresek yang biasa dipakai ketika membeli di warung. Untuk program edukasi atau penyuluhan, Prilla membuat dua karya. Pertama tentang bank sampah. Karya kolaborasi dengan pemerintah desa ini menjelaskan dengan detail apa itu bank sampah, keuntungan-keuntungan dari bank sampah, hingga proses hadirnya bank sampah itu di desa. Kampanye bank sampah di desa Jatisura sendiri sudah berjalan selama satu tahun (sejak 2011) dan rencananya akan direalisasikan pada Januari 2012. Karyanya yang kedua bercerita tentang sampah plastik yang menyumbat pengairan sawah. Ketika tayangan itu diputar, seorang ibu dari Dusun Kliwon terkejut melihat bingkai kamera dipadati oleh sampah plastik. Ia tidak menyangka kalau sampah plastik itu cukup banyak. Jarak yang ia rasakan ketika melihat langsung di sawah telah dihancurkan oleh kamera. Karya Prilla Tania yang terakhir dikategorikan sebagai program edukasi. Karyanya membicarakan proses pembuatan tas dari sampah plastik kresek yang dilakukan oleh masyarakat desa Jatisura. Karya Prilla Tania yang terakhir yaitu membuat program masak-memasak.

Serrum, kelompok ini membuat enam karya video dalam dua program. How To merupakan program televisi yang menjadi andalan Serrum. Program ‘bagaimana caranya membuat sesuatu’ itu menjadi metode yang biasa dipakai oleh Serrum dalam proses belajar mengajar sehingga lebih memudahkan guru untuk menjelaskan materi yang ingin disampaikan. Program How To sendiri sudah dijalankan oleh Serrum sejak tahun 2009. Dalam program edukasi How To kali ini Serrum membuat lima karya; Dapur Jatisura: How To Membuat Kerupuk Lele, video ini menjabarkan proses pembuatan kerupuk lele dengan pembawa acara oleh ibu Umi yang juga menjadi ibu angkat bagi kelompok Serrum untuk menetap di Dusun Pahing. How To Batik Ikat Celup (Tiedye) yang sederhana dengan pemandunya Pak Ala, salah seorang Kepala Umum di Jatisura. Ketiga, How To Membuat Terompet dengan bahan daun kelapa yang biasa dibuat oleh kalangan anak-anak di desa Jatisura. How To Segel Genteng, video ini salah satu dari dua karya yang ‘teknologis’. Video ini mencoba menjabarkan bagaimana membuat alat penyegel genteng (cetakan segel) dari bahan engsel pintu yang diciptakan oleh ide Barat sebagai penghubung pintu dan kusen, tetapi di Jatisura ide itu terpaksa disingkirkan dahulu dan digunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam menyegel barang produksi khas Jatiwangi: Genteng. Satu lagi video yang teknologis yaitu penciptaan dolbon di rumah warga. Dolbon, singkatan dari Modol di Kebon itu menjadi berita hangat yang muncul pada festival tahun ini. Persoalan buang air besar di udara terbuka itu telah memicu kontroversi di masyarakat yang pada akhirnya memaksa pemerintah desa untuk menemukan solusinya. Berbagai penyuluhan tentang bahaya dolbon sembarangan itu telah dilakukan oleh pemerintah desa namun tidak membuahkan hasil. Persoalan penciptaan MCK (Mandi Cuci Kakus) gaya ‘Eropa’ juga tidak berhasil. Benturan antara tradisi dengan hal baru tak dapat dihindarkan. Maka lahirlah penemuan baru, menciptakan dolbon yang ramah lingkungan. Video yang terakhir, Serrum membuat video profil dalang wayang kulit-golek di Jatisura yang usianya sudah 55 tahun.

Forum Lenteng. Untuk festival ini, Forum Lenteng membuat dua program yang bisa dikembangkan lebih jauh oleh masyarakat Dusun Kliwon. Program pertama yaitu Warung Kopi yang diproduseri oleh masyarakat Dusun Kliwon sendiri. Program ini merupakan program bincang-bincang atau ngariung di warung kopi untuk membicarakan berita-berita politik terhangat. Masyarakat mencoba berperan sebagai pemantau, penanggap, dan pembedah berita-berita yang tersebar di saluran atau kanal-kanal distribusi video. Salah satunya televisi dan kemudian menyebarkannya bagaimana berita-berita itu secara tidak langsung mampu mempengaruhi kehidupan di desa. Program kedua yaitu, Album Foto. Program ini menampilkan arsip-arsip foto warga Dusun Kliwon yang terkait dengan perubahan dusunnya. Melalui foto-foto outdoor (yang menghadirkan situasi fisik tetangga-tetangga mereka) dan rekaman video sekarang, hubungan geografis, antropologis, dan sosiologis masa lalu dan kini dicoba dibaca. Kemana orang-orang yang telah hilang itu. Apakah meninggal atau telah menjadi pekerja di daerah lain, seperti menjadi tenaga kerja di Arab Saudi. Melalui foto itu juga dapat dibaca bagaimana hubungan antar objek (orang). Sebagian besar mereka yang di dalam foto merupakan saudara yang masih tinggal di sekitar mereka.

Kampung Halaman. mengajak remaja Dusun Manis untuk membuat dua karya filem dokumenter. Cita-Citaku, Sekolah atau Bekerja berkisah tentang pengalaman seorang pelajar sekolah menengah pertama dengan kawan sebayanya yang tidak lagi sekolah. Kukubelikan Ala Si Manis, video ini semacam pengumpulan kepingan-kepingan kisah yang ada di Dusun Manis. Mulai dari pembuat pandai besi hingga seorang nenek yang dengan optimis menjalani hidupnya berjualan makanan khas di Jatisura.

Ghazi Alqudcy dan Ezzam Rahman, dua seniman dari Singapura ini membuat satu karya filem dokumenter panjang yang gaya tuturnya khas gaya kolaboratif mereka. Melalui permainan visual dan narasi dari refleksi pengalaman selama tinggal di empat keluarga di Dusun Wates, filem ini menjabarkan profil-profil masing-masing keluarga yang berbeda karakter. Dalam filem ini, Ghazi dan Ezzam berupaya menghilangkan batas perbedaan budaya dengan negara asalnya melalui posisi yang jelas sebagai ‘orang luar’ yang mencoba mengalami atau membenturkan budaya di negara asalnya dengan Dusun Wates. Bingkai subjektif dari cara pandang ‘orang luar’ kemudian menemukan metode-metode yang mampu mencairkan situasi dengan mengorek sedalam-dalamnya dan mencatat semua kebiasaan masing-masing keluarga.

Narpati Awangga atau lebih dikenal dengan Oomleo, telah membuat dua program. Pertama video musik, dengan teknik live record oomleo membuat dua video musik, Nyamuk dan Jatiwangi. Program kedua yaitu tandingan dari acara-acara Idol yang marak di televisi. Oomleo membuat Kembang Desa Jatisura dengan menghadirkan perempuan-perempuan muda yang berasal dari lima dusun yang akan dipilih oleh masyarakat Desa Jatisura sendiri melalui sms.

Seni Video dan Televisi
Ketika Nam June Paik menayangkan hasil rekaman kamera Sony Portapak-nya, di Greenwich Village Café tahun 1965, seni video pun lahir. Video yang me-reverse hasil rekaman pawai Paul Paulus VI itu menjadi pernyataan lahirnya sebuah gerakan baru dari seni dan kebudayaan, generasi seni video yang merespon kehadiran televisi di dalam kehidupan manusia. Seniman seantero dunia bergerak menciptakan serangan balik atas ekses informasi yang diciptakan oleh budaya tontonan televisi. Mulai persoalan konsumtif, politik, pertarungan kebudayaan, pertentangan dan pengukuhan kebenaran-kebenaran, penciptaan alternatif sejarah, atau yang lebih besar lagi, terkikisnya titik pusat, meleleh, dan menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia. Televisi telah menjadi atase kebudayaan bagi suatu bangsa.

Seni video lahir dari rahim media massa. Ia tidak seperti seni-seni lainnya yang lahir berupa pengembangan atau pembantahan dari seni-seni sebelumnya. Ia menggunakan media dan sifat presentasinya sama 100% dengan yang diresponnya. Karena itu ia memiliki peluang yang sama untuk menciptakan sebuah budaya baru yang setara sebagai saingan atas budaya tontonan televisi komersil. Namun seberapa mampu seni video melawan kuasa cara kolonialisme baru itu? Secara konten, karya-karya seni video maha kritis itu mampu mempengaruhi masyarakat dengan tawaran ide-ide yang mengajak penonton berpikir ulang atas apa yang telah dijalankannya sehari-hari atau bahkan mampu menghipnotis penonton untuk melempar televisinya yang sedang menayangkan sinetron keluar jendela. Namun secara distribusi, pertarungan ide itu tidak berhasil menjamah secara massal seperti yang dilakukan oleh televisi komersil. Pertarungan yang tidak berimbang itu telah melahirkan aktivis-aktivis media yang secara serentak mengkampanyekan kesadaran media di luar dari karya seni video itu sendiri melalui workshop ataupun seminar.

Sejak hadirnya Nam June Paik, karya seni video hanya berhasil menciptakan riak-riak kecil yang tidak berhasil masuk ke wilayah yang lebih jauh lagi, ruang privat seperti kamar tidur. Bahkan kini, seni video telah menjadi raksasa baru atas seni tinggi yang hanya dapat diakses di museum ataupun kolektor-kolektor. Dengan kata lain, ia akan menjadi benda eksklusif yang memiliki tata cara khusus pengaksesan. Walaupun seni video sudah dapat diakses di internet, bagi saya, tetap saja ia memiliki kaidah-kaidah khusus untuk menontonnya yang tidak mungkin semua orang bisa mengakses. Terutama kalangan bawah yang tidak akan mungkin memiliki kesempatan itu. Satu-satunya cara adalah ia harus “dibajak” dulu. Dijadikan budaya pop atau menciptakan saluran televisi tandingan yang berisi khusus seni video. Cara itu sangat efektif untuk menyebarkan informasi. Tengok saja ketika Music Television (MTV) hadir di tahun 1981. Saluran itu berhasil menciptakan budaya baru yang sangat baik, walau kemudian lagi-lagi, diadaptasi dan menjadi alat industri kapitalis.

upload-41upload-61

Video sebagai medium yang demokratis
Dalam festival kali ini, video benar-benar diposisikan sebagai medium yang demokratis. Masyarakat diberikan kuasa untuk memproduksi pengetahuan atau informasi yang ingin disampaikan dan ditontonnya sendiri. Ini bukanlah semacam onani. Tetapi lebih kepada bagaimana mereka mencoba membaca kebutuhan mereka sendiri. Dengan kata lain video dijadikan cermin untuk merefleksikan diri mereka sendiri dan merenungi apa yang telah mereka lakukan. Sebab bingkai kamera mampu mendekatkan, zoom in, memilah, dan menghancurkan jarak dengan persoalan sehari-hari yang luput dari mata kita. Dengan begitu, pengawasan berada di tangan mereka sendiri dan kepentingan juga berasal dari mereka sendiri. Ciri khas inilah yang kemudian muncul di Village Video Festival tahun ini. Terlihat sekali bagaimana mereka mempergunakan medium video dengan cara mereka sendiri. Tonton saja sebuah Iklan Layanan Masyarakat tentang hari korupsi. Dalam tayangan itu mereka merekam anak-anak sekolah dasar untuk berjanji tidak korupsi ketika dewasa nanti dengan bukti rekaman video itu. Atau bagaimana ketika anak-anak sekolah itu menjawab Kapolsek sebagai jawaban atas pertanyaan ‘Siapa yang korupsi di Jatiwangi?’. Atau bagaimana mereka merekam atau membagi rahasia resep masakan kepada tetangga-tetangganya melalui medium video. Prime time ataupun rating yang menjadi penyebab atau pendorong lahirnya “menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan iklan” bagi produser-produser televisi komersil sehingga para produser itu tega mengorbankan pemirsanya. Di JAFTV persoalan itu tidak terpakai, sebab warga dengan antusias akan menunggu siaran JAFTV untuk melihat diri mereka sendiri. Janji “tayang” dari JAFTV telah membentuk hasrat eksistensi diri bagi masyarakat desa untuk melihat bagaimana penampilan “wajah” mereka di televisi. Televisi itu bisa dikatakan telah menjadi facebook atau twitter mereka dalam bentuk audiovisual. Euforia ini mungkin akan berjalan hingga semua warga telah merasakan kepuasan melihat “wajah” mereka sendiri di tabung berpijar. Dan masa itu pasti akan tiba dan menjadi tantangan baru bagi JAFTV untuk menciptakan terobosan-terobosan yang kreatif, terutama tentang usaha-usaha keberlanjutan kesadaran media televisi bagi masyarakat Desa Jatisura.


Foto dan video diambil dari situs http://villagevideofestival.wordpress.com/
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search