In Artikel

“..we view film in the context of darkness, we sit in darkness and watch illuminated world, the world of screen. This situation is a methapor for the nature of our own vision. In the very process of seeing our own skull is like a dark theater, and the world we see in front of us is in a sense of a screen. We watch the world from the dark theater of our skull. The darker the room, the more luminous the screen.”

Intensitas cahaya menjadi tajuk utama Sun Song, filem karya Joel Wanek dalam kompetisi Arkipel 2014 lalu. Sun Song adalah filem berdurasi 15 menit tanpa suara yang merayakan kemampuan mata manusia dalam menangkap fenomena cahaya, terutama cahaya alamiah yang datang dari matahari dan keterhubungannya dengan sinema itu sendiri. Walaupun pada prosesnya tetap menggunakan medium yaitu kamera sebagai alat untuk menangkap momen tersebut, namun kamera tidak memiki kendali diri dalam menangkap semburan cahaya-cahaya tersebut. Seberapapun mutakhirnya kamera itu, mereka tidak memiliki kesadaran puitik untuk membingkai suatu momen yang hanya bisa diolah dan dinilai oleh manusia.

Sun_Song-Joel_Wanek[11-27-23]

Adegan awal Sun Song berada dalam gelapnya malam di sebuah bis yang tidak diketahui kemana arahnya. Kemampuan kita melihat isi bis tersebut sepenuhnya mengandalkan cahaya lampu dari dalam bis dan cahaya lampu jalanan. Menggunakan pantulan jendela, cahaya lampu jalanan terlihat tidak fokus, atau bokeh dalam bahasa fotografi. Tehnik bokeh hanya bisa dicapai menggunakan kamera, namun mata manusia mampu menciptakan efek serupa ketika cahaya jatuh di luar jangkauan retina. Cara termudah adalah melepaskan kacamata dan mengarahkan pandangan ke sumber cahaya bagi pengguna kacamata rabun jauh. Wajah-wajah penumpang bis tersebut sempat terekspos beberapa kali namun tidak cukup detil karena keterbatasan cahaya. Atraksi utama dimulai ketika cahaya matahari menerobos jendela bis. Mula-mula Joel memperlihatkan matahari subuh dari dalam bis, dan dikarenakan bis yang konsisten bergerak, posisi matahari tidak selalu diam dalam bingkaian. Dalam satu adegan matahari terlihat di depan kemudian berpindah ke arah kanan bis. Pergerakan cahaya yang tertangkap karena kecepatan bis menciptakan ilusi gerak ketika menerpa dinding-dinding bis itu. Ilusi gerak cahaya ini juga menangkap siluet wajah dan bagian tubuh lain penumpang bis. Mereka seakan-akan bergerak secepat bis yang ditumpanginya.

Dalam bukunya berjudul Devotional Cinema, Nathaniel Dorsky mengatakan bahwa sesungguhnya kita bisa menemukan metafor tentang sinema—yaitu menyaksikan gambar hidup melalui ruang gelap—di dalam tubuh manusia itu sendiri. Dia mengambil contoh menggunakan mekanisme mata manusia yang duduk di dalam relung tengkorak untuk menerima asupan cahaya yang masuk dari luar, serupa dengan apa yang terjadi pada proses menonton. Penyataannya tersebut terkutip di awal tulisan ini. Proses melihat ilusi gerak cahaya itu sesungguhnya serupa dengan yang terjadi dalam Sun Song, hanya saja, dalam sinema tempat menonton berada dalam posisi diam dan cahaya bergerak serta kecepatannya di layar bergantung dari proyektor dan apa yang diproyeksikan. Posisi gerak dalam Sun Song diambil alih oleh bis, lokasi tempat kamera(mata) berada. Ini terbalik dari kaidah sinema; pergerakan cahayanya berasal dari proyektor, sumber cahaya itu sendiri. Bis dalam Sun Song mengambil dua peran sekaligus sebagai proyektor yang mengatur kecepatan cahaya dan tempat di mana cahaya itu terproyeksikan. Kelipan cahaya matahari pagi yang menerpa interior bis serupa dengan kelipan cahaya yang terpendar di layar putih sinema. Walaupun menggunakan mekanisme yang agak berbeda, namun hasil dari proyeksi tersebut tetaplah sama, yaitu cahaya yang bergerak.

Sun_Song-Joel_Wanek[11-29-23]

Selain imajinari puitik tentang keterhubungan alam dan sinema, Sun Song juga menyimpan isu penting, isu sosio-politik di Amerika Serikat. Seluruh penumpang bis lintas hari itu keturunan Afrika, tidak terlihat ada kelompok ras lain. Penggunaan bis memiliki banyak makna, selain sebagai kendaraan puitik seperti deskripsi di atas, bis juga menjadi kendaraan penting dalam perjuangan sipil warga Amerika Serikat keturunan Afrika di pertengahan abad 20 dalam meraih kesetaraan. Rosa Parks menolak untuk pergi dari kursi bis yang didudukinya hanya karena dia berkulit hitam di masa Amerika Serikat masih mengenal pemisahan ras untuk fasilitas publik yang terjadi di beberapa Negara Bagian. Bis menjadi alat perjuangan karena setelahnya muncul gelombang protes memperjuangkan kesetaraan rasial dan puncaknya adalah penghapusan undang-undang pemisahan ras. Namun polemik rasial ini jauh dari kata usai bila kita melihat situasi ketegangan antar ras yang masih mencekam beberapa Negara Bagian di Amerika Serikat saat ini.

Setelah mengatakan mekanisme sinema dan keterkaitannya dengan tubuh manusia, Nathaniel Dorsky mengungkapkan bahwa filem yang baik harus memiliki keseimbangan antara dua waktu: yang pertama adalah waktu filem, yaitu progresi waktu yang berada di dalam filem itu sendiri dari awal hingga akhir, ia menyebutnya sebagai ‘relative time’ dan waktu realita, yaitu waktu yang berada di luar dari filem tersebut; waktu yang berputar di sekitaran penonton filem, atau disebut dengan ‘absolute time’. Sun Song mampu mencapai keseimbangan dua waktu tersebut karena di satu sisi Sun Song mampu menangkap perpindahan hari yang terjadi dalam sebuah bis, memberikan kita sekilas pandangan tentang sebuah peristiwa filem yang di atas kertas tampak remeh, namun di sisi lain Sun Song juga memiliki kerelevanan tentang persoalan sosial yang terjadi saat ini di belahan dunia lain.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search