In Berita/Liputan, Festival

Pada Agustus ini, hajatan perayaan filem dokumenter dan ekperimental kembali digelar di Jakarta. ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Fesival ke-4 akan dimulai dengan Forum Festival selama dua hari (18-19 Agustus, 2016) serta dilanjutkan dengan acara Malam Pembukaan Festival pada 19 Agustus, 2016, di Goethehaus Jakarta. Forum Lenteng, sebagai penggagas festival tahunan ini, mengangkat tema festival “social/kapital” dalam rangka melihat perkembangan isu sosial, politik, dan budaya terkini dalam bingkai sinema.

Mengingat total 1500 karya dari 67 negara yang dikirimkan ke ARKIPEL tahun 2016 ini, kita dapat menganggap hal itu sebagai suatu bukti perayaan keragaman sinema, di samping sebagai suatu bentuk pernyataan bahwa estetika selalu sanggup melepas batas-batas politik, teritori, dan sejarah. Tema social/kapital, selain sebagai suatu kemungkinan estetika, sepenuhnya juga adalah cara baca sinema yang turut memengaruhi pencarian atas kemungkinan-kemungkinan estetis di hari ini.

Still image dari My Talk With Florence (Paul Poet, 2015).

Jika kita melihat beberapa karya dalam Program Kompetisi Internasional ARKIPEL, salah satu yang cukup menarik ialah My Talk with Florence (Paul Poet, 2015). Filem ini berkisah tentang 50 tahun kehidupan Florence Burnier-Baeur yang cukup kelam. Pendekatan direct cinema dalam karya ini adalah kamera yang hanya merekam kesaksian; perekaman menjadi semacam interograsi dan observasi tersendiri, sebagai suatu katalisator bagi subjek dalam menarasikan ulang masa lalu. Kisah lampau yang kelam dari kehidupan bohemian Florence, satu di antaranya, adalah tentang sejarah yang belum tersibak di publik, yakni terkait dengan “kekerasan” yang dilakukan oleh seorang seniman yang cukup ternama, Ottu Mühl, terhadap anak-anaknya. Kesaksian tersebut menjadi masa lalu yang dihadirkan di masa kini (present) sebagai sebuah performance sembari mencari jati diri melalui masa lalu itu.

Sejarah bukan saja sebuah narasi oral, tetapi juga tercermin dalam gestural kesaksian karena masa lalu yang traumatis. Dokumenter menjadi sebuah perjalanan untuk menyingkap diri Florence, entah itu ia sedang memperbicangkan masa lalu, harapan, trauma maupun lainnya, layaknya berbagai arus kesadaran yang mengental dalam satu peristiwa kesaksian. Ekspresi diri, kecemasan, memori, dan harapan seakan menyatu menjadi bagian dari sejarah itu sendiri. Perpindahan monolog, testimoni, ekspresi, dan performance memegang boneka yang penuh luka, menjadi pernyataan dan eksistensi sang tokoh. Kecemasan (angst) menjadi satu-satunya akses terhadap peristiwa di masa lalu yang ‘gamang’. Model-model dokumenter dalam karya semacam My Talk with Florence merupakan sebuah eksperimen yang mencoba menstimuli kesaksian.

Screen capture dari Men from Montreal in November (Grigorie Jacob, Marc-Antoine Sinibaldi, Pascal Robitaille, dan Matthew Wolkow, 2015).

Kerja keras ARKIPEL, terutama dalam menyeleksi lebih dari seribu filem menjadi 25, menegaskan semangat untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru dalam perkembangan bahasa sinema. Praktik-pratik eksperimental dalam dokumenter adalah usaha-usaha yang selalu ingin melampaui batas demi menemukan kodrat terdalam dari medium sinema. Usaha-usaha melampaui batas itu, bisa jadi, tidak melulu mengeksplorasi medium sinemanya sendiri, tetapi proses pencariannya juga bisa dijangkau melalui praktik “momen bersama” dari dua kodrat medium yang berbeda. Seperti yang tampak dalam karya lain, yakni Men from Montreal in November (2015). Filem berdurasi enam menit ini adalah garapan kolaboratif Grigorie Jacob, Marc-Antoine Sinibaldi, Pascal Robitaille, dan Matthew Wolkow; filem itu tentang ambiguitas tangkapan terhadap fotografi dan sinema dalam memandang suatu gesture. Karya ini menjadi menarik karena juga menghadirkan semacam performance; pada karya ini kita dapat melihat adanya ekspresi mata yang seakan menatap objek di luar bingkai sehingga merefleksikan eksistensi personal yang agaknya tidak mandiri di dalam bingkaian itu sendiri.

Screen capture dari A Lullaby of the Sorrowful Mystery (Lav Diaz, 2016)

Sementara itu, sinema di era digital seakan menjadikan ‘realisme’ sebagai sesuatu yang bisa dibebaskan dari ‘pusat’-nya, untuk secara mandiri membentuk dan memilih jalannya sendiri—atau, kalau boleh dibilang, ‘nasionalisme’-nya yang mandiri. Sebuah karya lain yang juga masuk ke dalam Program Kompetisi Internasional ARKIPEL tahun ini, adalah sebuah filem yang cukup mencolok dari nama besar latar pembuatnya. Filem tersebut berjudul A Lullaby of the Sorrowful Mystery (2016), karya terbaru dari sutradara asal Filipina yang mendunia, Lav Diaz. Filem berdurasi hampir 9 jam yang dibuat berdasarkan novel El Filibusterismo-nya pujangga dan pahlawan nasional Filipina, Jose Rizal (1861-1896), merupakan narasi tentang pencarian gambaran nasionalisme dari situasi masa lalu kolonial yang traumatik. Sekuen-sekuen panjang yang termuat di dalam filem ini hadir sebagai semacam pengembaraan para tokoh kaum nasionalis-intelektual, melalui puisi dan seni untuk mencari pembebasannya. Sinema di era digital, bisa jadi adalah daya ungkap nasionalisme kekiniaan, karena pantulan visual personal yang dimungkinkannya bisa memasuki ruang-ruang spasialitas dari peliknya pergulatan atas masa lalu kolonialisme yang traumatik. Karya ini menjadi penting sebagai bagian dari usaha untuk merumuskan estetika sinema Asia Tenggara; karya Lav Diaz tersebut merupakan sumbangsih penting bagi keragaman bahasa sinema dunia.

Screen capture dari berjudul Subtitle: To Know without Learning (Manuel Saiz, 2016).

Sebagai sebuah festival yang berusaha objektif dalam menghadirkan keragaman bahasa sinema kekinian, ARKIPEL menyeleksi seluas mungkin kemungkinan cakrawala perkembangan sinema yang hadir. Filem berjudul Subtitle: To Know without Learning (Manuel Saiz, 2016) dari Spanyol, misalnya, merupakan karya yang sebenarnya cukup mudah dicerna, namun memiliki pengalaman reflektif yang begitu mendalam. Filem ini menghadirkan performance selama enam menit dari sebuah sekuen yang hanya membuka beberapa gulungan kertas berisikan tulisan berupa teks yang ingin disampaikan. Isi dari teks gulungan kertas tersebut merepresentasikan gagasan tentang bagaimana subtitle dalam aparatus sinema dapat direfleksikan dalam memengaruhi kemandirian visual pada penonton. Karya ini cukup unik, dan akan menambah wawasan bagi para penonton tentang kultur sinema yang berlangsung di masyarakat kita saat ini.

Screen capture dari Zone Zero (Farzad Moloudi, 2015) .

Keragaman karya yang dipertahankan oleh ARKIPEL 2016 lewat tema “social/kapital”, juga tampak dari terpilihnya karya-karya yang meskipun naratif, tetap tidak menutup kemungkinan eksperimentasi dalam pendekatan dokumenternya. Dalam hal ini, dokumenter menjadi semacam aksi untuk bisa masuk ke realitas yang lebih intim. Hal itu bisa kita lihat antara lain, pada karya-karya seperti Zone Zero (Farzad Moloudi, 2015) dari Belgia—karya ini menjadi filem pembuka pada acara Malam Pembukaan Festival ARKIPEL 2016—yang berkisah tentang perjuangan Proyek Gesu sebagai sebuah penampungan para kaum marginal kota; kisah tentang kaum perempuan muslim dalam Saida Despite the Ashes (Soumaya Bouallegui, 2016) dari Tunisia yang dengan unik menghadirkan gambaran realitas di ranah isu mengenai Islam yang rawan konflik; serta World Cup (Mohamad dan Ahmad Malas, 2016) dari Prancis yang berkisah tentang media massa dan perayaan dan impian Piala Dunia di tengah perang saudara di Suriah.

Screen capture dari Saida Despite the Ashes (Soumaya Bouallegui, 2016).
Screen capture dari World Cup (Mohamad & Ahmad Malas, 2016).

Sinema, kiranya, adalah bahasa yang paling cair dalam menjangkau resepsi personal dari pesebaran pengalaman-pengalaman kolektif bagi masyarakat global. Karya-karya yang dihadirkan ARKIPEL pun adalah selalu mengenai pengalaman yang berkaitjalin dengan publik global. Batas-batas identitas dan masa lalu selalu mengalami negosiasi dan perluasan melalui bahasa sinema untuk mendapatkan ruang bagi pengalaman-pengalaman horizontalnya. Sinema, bisa jadi semenjak kelahirannya, sudah menjadi semacam proporsi bahasa, selain juga proporsi gambar di dalam kodratnya, untuk menyatakan bahwa ia sepenuhnya bisa menjadi milik publik dengan estetika publik yang melingkupinya. Hal inilah yang kemudian menjadikan sinema—atau, jika dimungkinkan, cara berpikir sinematis—tidak lagi berkutat pada eksklusivitas “keindahan” yang berada dalam seni; yang tidak lagi sekadar berkutat pada argumen estetisnya, tetapi juga tidak bisa lepas dari argumen sosialnya.

Masih ada banyak filem-filem menarik yang dapat ditonton dalam ARKIPEL social/kapital – 4th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival ini. Pembaca yang budiman dapat mengunjungi jadwal program kegiatan dan penayangan filem di situs web ARKIPEL www.arkipel.org.

Recent Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search