In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

“ARKIPEL dan Kehadiran Pertama”, tulisan Hafiz Rancajale ini, dimuat pertama kali dalam katalog ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 sebagai “Pengantar Artistik” festival. Pernah dimuat juga di Jurnal Footage pada tanggal 23 Agustus 2013.

Meskipun telah menerapkan metode pengkurasian untuk Program Kompetisi Internasional, ARKIPEL kala itu masih belum memproduksi “esai-esai pengantar” bagi setiap sesi penayangan film di program tersebut. Produksi esai kuratorial hanya ada pada Program Kuratorial. Penerapan “esai pengantar untuk setiap sesi penayangan dalam Program Kompetisi Internasional” baru dilakukan di 2014, pada penyelenggaraan ARKIPEL ke-2 yang bertajuk “Electoral Risk”.

Karenanya, pengantar artistik dari Hafiz ini, bisa dibilang, juga menjadi semacam “pengantar kuratorial” bagi 37 film yang terseleksi dan berkompetisi di Program Kompetisi Internasional ARKIPEL 2013.

Tulisan ini penting untuk dibaca kembali, mempertimbangkan pemetaan ringkas Hafiz tentang perkembangan wacana sinema di Indonesia, dari zaman kolonial hingga periode 2000-an, serta kritisismenya terhadap geliat kritik film di Indonesia masa itu yang belum terlalu peduli dengan film dokumenter dan eksperimental—hal ini juga mengingat bahwa ARKIPEL merupakan festival pertama di Indonesia yang dengan tegas menggunakan terma “eksperimental” pada nama resmi acaranya. Di tulisan ini, Hafiz juga menyinggung rumusan “film dokumenter” dan “film eksperimental” yang dituju oleh Forum Lenteng, dalam rangka membangun wacana keduanya di Indonesia. Dengan penjelasan itu pula, tersirat alasan mengapa pada waktu itu ARKIPEL menggunakan istilah “Kuratorial” untuk salah satu program penayangan utama di festival ini.

Tulisan ini dimuat kembali oleh Jurnal Footage, dengan menggunakan tanggal baru, setelah melalui suntingan di beberapa bagian. Redaksi Jurnal Footage juga menambahkan beberapa catatan kaki (dengan label “Catatan Redaksi”) untuk menunjukkan keterkaitan wacana yang tengah dibahas oleh Hafiz dengan artikel-artikel lain yang pernah terbit di jurnal ini. Pada bagian akhir, setelah tulisan Hafiz ini, Redaksi Jurnal Footage juga mencantumkan daftar judul dan deskripsi film-film yang berkompetisi di ARKIPEL 2013, serta daftar film penerima penghargaan beserta dengan catatan Dewan Juri (yang kala itu beranggotakan: Hafiz, Mahardika Yudha, Otty Widasari, Ugeng T. Moetidjo, dan Intan Paramaditha). Alasan penyertaan daftar film tersebut di laman ini ialah untuk menunjukkan orientasi dari diskursus estetika ARKIPEL dalam melihat sinema dokumenter dan eksperimental, serta dalam membaca fenomena sosial, politik, ekonomi, dan budaya global saat itu melalui sinema.

Penerbitan ulang artikel-artikel yang sudah pernah dimuat di seri katalog ARKIPEL adalah bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

ARKIPEL dan Kehadiran Pertama

I.

Jika kembali ke sejarah, kehadiran teknologi sinema di Nusantara tidaklah begitu jauh dari negeri kelahirannya di Utara. Di Paris, Lumière Bersaudara memutar kepada publik film-filmnya pada 28 Desember 1895 di Salon Indien du Grand Café. Di Nusantaa, melalui seorang fotografer berkebangsaan Prancis, L. Talbot,1 pita seluloid telah diputar di Batavia (Jakarta) pada bulan Oktober 1896 dan di Surabaya pada bulan April 1897. Rekaman film itu berupa situasi jalanan di Jakarta, yang diproses sendiri oleh Talbot di sini.2 Peristiwa itu menjadikan Nusantara sebagai salah satu wilayah di Asia yang pertama-tama dapat mengakses teknologi baru, cinematograph, selain Cina, India, dan Jepang. Dalam perkembangannya, tercatat di tahun 1912, J. C. Lamster, sutradara berkebangsaan Belanda, diminta oleh pemerintah Belanda untuk melakukan perekaman situasi Nusantara atau Hindia Belanda sebagai bagian dari rekaman dan pelaporan tentang keadaan negeri Jajahan.3

Poster film Njai Dasima. (Sumber: Domain Publik via Wikimedia Commons).

Periode tahun 1920-an, sinema Nusantara, terutama di Jawa, telah berubah menjadi studio-studio yang juga mengikuti pola produksi yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa yang diprakarsai oleh para pedagang keturunan Cina dan Belanda. Film-film produksi Hindia Belanda mencoba mengimitasi pola studio yang berlaku di Hollywood dengan mengadaptasi cerita tonil dan cerita-cerita Cina Peranakan yang sangat populer pada masa itu, seperti Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929) dan Bunga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931) yang disebut oleh Misbach Yusa Biran sebagai Sejarah Anak Wayang.4 Setelah Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, lompatan besar dilakukan oleh Usmar Ismail, saat ia menegaskan identitas keindonesiaan dalam sinema dengan memproduksi Darah dan Doa (1950).5 Bapak Perfilman Indonesia itu mulai membangun kesadaran authorship dalam membuat film sebelum teori auteur yang digaungkan oleh André Bazin, salah satunya melalui buku Qu’est-ce que le cinéma? (atau What is Cinema?), populer pada tahun 1958-1962.6

II.

Dalam tradisi wacana dan apresiasi film Indonesia, pengertian ‘apa itu film?’ dan ‘apa itu sinema sebagai kultur?’, pengertian-pengertiannya hanya terjebak dalam satu ‘ruang’ saja, yaitu industri film, di mana yang dianggap film adalah film cerita fiksi panjang. Film pendek hanya dianggap sebagai film untuk pemula. Ia tidak dianggap sebagai entitas yang sekelas dengan film cerita fiksi panjang. Begitu pula dengan film dokumenter. Sejak dulu, film dokumenter diletakkan dalam pengertian sebagai film “noncerita”. Padahal, film dokumenter sejak Robert J. Flaherty menghadirkan Nanook of the North (1922), bukan lagi hanya dimengerti sebagai film berita tanpa ‘cerita’. Menempatkan kategori film dokumenter dalam pengertian noncerita sudah sangat lama dimasukkan sebagai salah satu kategori penilaian dalam ajang Festival Film Indonesia (festival film tertua di Indonesia). Hal ini juga terangkum dalam berbagai tulisan kritik dan wacana film Indonesia yang ditulis oleh para kritikus film kita. Sehingga, film dokumenter, yang notabene adalah induk dari kelahiran tradisi sinema dunia, menjadi terpinggirkan dalam sejarah perfilman Indonesia.

Dalam wacana kritik film Indonesia, dokumenter hampir tidak pernah mampir dalam tulisan-tulisan para penulis kita. Film dokumenter dianggap hanya sebagai alat propaganda dan rekaman berita semata. Padahal, di masa-masa Revolusi setelah kemerdekaan negara ini, Usmar Ismail, dr. Huyung, Bachtiar Siagian, Kotot Sukardi, Djajakusuma, Nawi Ismail, dan lainnya telah mencoba merumuskan apa yang dinamakan dengan “Sinema Indonesia” melalui eksperimentasi estetika bahasa sinema dan juga ‘kelokalan citraan’ yang tidak hanya terjadi dengan film fiksi, tetapi juga dengan film dokumenter. Salah satunya adalah proyek film berita Gelora Indonesia (Januari 1951)7 yang dibuat oleh Perusahaan Film Negara (PFN) yang tidak sekadar mendokumentasikan sejarah perjalanan bangsa ini, tetapi juga mencoba mendefinisikan kembali keindonesiaan melalui rekaman kenyataan dan situasi sosial politik masa itu.8 Selain itu, tokoh seperti D. A. Peransi yang merupakan tokoh penting pengembangan film dokumenter dan eksperimentasi dalam bahasa film sejak akhir tahun 1960-an pun tidak banyak dikenal kalangan perfilman kita saat ini. Nama ini begitu asing bagi telinga para aktivis perfilman kita zaman sekarang.9

III.

Setelah kematian industri film, pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an yang kemudian diikuti oleh Reformasi 1998—dengan runtuhnya rezim milter Soeharto yang menguasai berbagai sendi kehidupan kita, termasuk perfilman—muncul inisiatif aktivis film muda Indonesia untuk menggerakkan dunia perfilman dengan membuat berbagai festival, baik dengan skala besar maupun kecil. Awal tahun 2000-an adalah masa merekahnya kembali geliat produksi film dan munculnya antusiasme kalangan generasi muda dalam memproduksi film dan menonton film Indonesia. Hal ini disambut baik oleh kalangan pemilik modal yang menghidupkan kembali industri film Indonesia. Festival Film Indonesia yang sebelumnya berhenti selama beberapa tahun, oleh pemerintah dihidupkan kembali. Jumlah produksi film yang pada masa mati surinya hampir tidak ada, melonjak menjadi puluhan produksi. Sumber majalah film online, filmindonesia.or.id menyebutkan, pada tahun 2009, produksi film Indonesia mencapai 89 film yang beredar di biosko-bioskop Nusantara.10

IV.

Kritikus JB Kristanto mengatakan, tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam bahasa film pada masa sesudah periode Usmar Ismail. Mayoritas film-film di Indonesia tetap terjebak dalam Sejarah Anak Wayang, seperti yang disebutkan Misbach. Bahkan, generasi 1980-an dan 1990-an, yang merupakan generasi yang terdidik dari sekolah film, pun tidak mampu melepaskannya meski mereka telah dibungkus oleh ilmu-ilmu baru. Tapi sebenarnya mereka tidak menguasai logikanya. Yang terjadi hanyalah akluturasi medium film, semacam hybrid saja, yaitu bagaimana menggunakan teknologi dan menafsirkan masalah dengan cara dan pikiran mereka.11

JB Kristianto ketika diwawancara oleh Hafiz. (Foto: Jurnal Footage).

Keadaan yang mungkin agak berbeda, dapat ditemukan pada beberapa sutradara film periode 2000-an. Dari yang sedikit ini, kita masih dapat menemukan kesadaran teknologis pada kemungkinan dan kemampuan medium dalam teknologi film. Ini dapat kita lihat pada penggunaan berbagai kemungkinan kemampuan teknologi digital. Teknologi tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang eksotis dari dunia Barat dan kita hanya menjadi ‘konsumen pasif’, namun sudah menjadi hal yang kultural, tak terpisahkan dari generasi-generasi digital native. Namun, apakah kemampuan mengadaptasi teknologi tersebut sudah memberikan peluang pada eksperimentasi dalam estetika film?

V.

ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival diniatkan oleh Forum Lenteng untuk membaca fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya melalui sinema—dokumenter dan eksperimental. Gagasan festival ini adalah menyuarakan bagaimana persoalan-persoalan kebudayaan tersebut dan dapat dibaca dalam kurun waktu tertentu. Idealnya, festival film dapat menjadi event yang menghadirkan capaian puncak sutradara dari berbagai kalangan, baik secara estetika dan kontennya.

Film dokumenter yang dimaksud oleh Forum Lenteng adalah film dokumenter yang merujuk pada bahasa film yang berlaku dalam tradisi sinema, bukan film dokumenter televisi. Dalam tradisi sinema, film dokumenter juga dapat menghadirkan drama, konflik, imajinasi, dan ruang kritik bagi penonton. Hal ini tentu berkaitan dengan bagaimana eksperimentasi bahasa sinema yang dilakukan oleh sutradara dalam mengemas kenyataan. Sedangkan film eksperimental yang dimaksud Forum Lenteng adalah bagaimana eksperimentasi medium dan konten dalam film menghadirkan kebaruan secara estetika. Hal ini merujuk pada sejarah sinema avant-garde dalam sejarah sinema dunia. Eksperimentasi di sini, bukan hanya dalam konteks filmnya saja, namun juga bagaimana film digunakan dalam tindakan yang mengaktivasi persoalan-persoalan sosial kebudayaan di ranah publik.

Sebagai sebuah festival berskala internasional, ARKIPEL akan selalu melihat perkembangan bahasa sinema secara kritis, terlepas dari terminologi “sinema industri” atau “sinema independen”. Untuk itulah, ARKIPEL akan selalu menghadirkan wacana kritis dalam melihat perkembangan sinema melalui program kuratorial, simposium, dan kuliah umum untuk menambah wawasan tentang perkembangan estetika sinema mutakhir.

Semoga kehadiran ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival dapat memberikan warna baru dalam melihat sinema bagi publik Indonesia dan internasional. *

Daftar Film di Program Kompetisi Internasional ARKIPEL 2013

Kompetisi Internasional - 01

Je Vie Dans le Rêve de ma Mêre

I Live in the Dream of My Mother

Jan Willem van Dam
Belanda, 2011, 143 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Dokumenter ini merekam perjalanan seorang anak kecil, yang juga adalah biografi Jan Willem van Dam, sang sutradara. Kisah film ini adalah mimpi dan harapan sang ibu terhadap anaknya untuk mencari makna hidup dari banyak tempat dan perjumpaan orang-orang.

Perjalanan van Dam juga menjadi renungan akan gejolak politik dan kultural beberapa negara Eropa dan Asia. Pembuat film mengambil beberapa tokoh dari masing-masing negara sebagai representasi dan alusi pernyataan sosial-politiknya. Dalam beberapa adegan, muncul semacam interupsi mengenai kebimbangan antara perihal film dan perihal kenyataan, termasuk di dalamnya perkara kapan film dimulai.

Kompetisi Internasional - 02

Le Bonheur… Terre Promise

Happiness… Promised Land

Laurent Hasse
Prancis, 2011, 94 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Happiness…Promised Land, berkisah tentang sang sutradara sendiri, Laurent Hasse, yang secara spontan melakukan perjalanan di Prancis dari Selatan ke Utara. Dokumenter ini menyibak respon beberapa orang yang dijumpai secara spontan.

Perjalanan berakhir pada perjalanan di KM 1.500, di sebuah tempat bernama Dunkerque. Dalam proses perjalanan sang sutradara yang menghabiskan waktu 90 hari lebih. Dokumenter ini sama sekali tidak memperlihatkan wajah ‘nyata’ dirinya sendiri, hanya bayangan dan suaranya. Dokumenter perjalanan ini, secara keseluruhan menceritakan tentang bagaimana orang-orang mengisahkan dirinya, profesinya, dan lingkungannya. Semacam merenungkan tentang kehidupan melalui keseharian mereka, dan semua berlangsung dengan spontan.

Kompetisi Internasional - 03

Perampok Ulung

Sneaky Robber

Marjito Iskandar Tri Gunawan
Indonesia, 2009, 84 menit

Tikus bagi sebagian Petani di Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta dianggap sebagai perampok yang senang menebar teror dengan menjarah tanaman padi, juga mengancam dengan bakteri leptospirosis. Namun demikian Petani pun kadangkala takut   karena muncul mitos yaitu tikus itu ada yang “memelihara”. Tukijo salah satu korban dari aksi tikus ini, dengan petani lainnya melakukan gerakan pembasmian tikus. Tetapi tikus tetaplah tikus, selalu menjadi musuh abadi bagi petani.

Kompetisi Internasional - 04

Ecce Ubu

Luca Ferri
Italia, 2012, 60 menit

Deskripsi oleh Hafiz

Footage-footage yang bersumber dari rekaman-rekaman lama di susun sedemikian rupa hingga menghasilkan pengalaman sinematik yang memukau. Dalam film Ecce Ubu, gambar-gambar itu disusun secara terukur. Dengan hitungan yang matematis, gambar-gambar baru diselipkan, yang kemudian membentuk pola, hingga melahirkan kejutan yang tak terduga.

Kompetisi Internasional - 04

Preludes I

Rahee Punyashloka
India, 2013, 2 menit

Deskripsi oleh Hafiz

Kilatan gambar muncul dari komposisi kabut di ruang gelap yang terus bergerak. Komposisi ini memaksa penonton untuk untuk mencari gambar-gambar dalam gerakan seperti gelombang, yang menstimulasi pada memori yang tak terduga.

Kompetisi Internasional - 04

Climax

Shinkan Tamaki
Japan, 2008, 2 menit

Deskripsi oleh Hafiz

Sebuah komposisi visual yang disusun secara acak dari proses afdruk (develop) yang dilebih-lebihkan. Dari emulsi yang berlebihan itu, menghasilkan gambar-gambar yang tak biasa. Sebuah komposisi visual yang menggambarkan proses kimiawi yang mengelupas.

Kompetisi Internasional - 04

Tears of Inge

Alisi Telengut
Kanada, 2013, 5 menit

Deskripsi oleh Hafiz

Sebuah cerita sederhana yang menyetuh tentang hubungan manusia dan unta dari Mongolia. Cerita yang diriwayatkan oleh nenek sang sutradara. Elisi Telengut berhasil menggambarkan hubungan emosional ini dengan guratan-guratan garis warna-warni dalam animasi yang memukau.

Kompetisi Internasional - 05

Old Cinema, Bologna Melodrama

Davide Rizzo
Italia, 2011, 60 menit

Deskripsi oleh Yuki Aditya

Sinema sedang sekarat di kota Bologna. Penonton dibawa ke masa kejayaan sinema di Bologna kembali ke puluhan tahun ke belakang melalui wawancara dengan para saksi mata yang notabene adalah penonton film setia saat itu. Orang-orang tua tersebut bukan hanya bercerita tentang film-film yang mereka cintai saja, namun juga tentang pengalaman-pengalaman pribadi yang membuat mereka cinta sinema dan perbedaan dengan budaya menonton saat ini. Mengharukan tapi tidak menjemukan, sentimental tapi tidak cengeng, Old Cinema, Bologna Melodrama adalah sebuah perjalanan merekat kembali tentang suatu perihal, yaitu sihir dan mantra sinema.

Kompetisi Internasional - 05

Le jour a vaincu la nuit

The Day has Conquered the Night

Jean-Gabriel Périot
Prancis, 2013, 28 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Berkisah tentang delapan narapidana yang mengungkapkan mimpi dan suasana hati yang sedang mereka alami. Pendekatan dokumenter ini sangat sederhana, dengan menampatkan subjek di hadapan kamera untuk mengungkapkan suasana hati dan mimpi mereka, namun sang sutradara menghadirkan emosi  para narapidana yang diwakili dan melalui irama musik. Bentuk bidikan yang sederhana dalam merekam para napi tersebut menggambarkan ekspresi visual dari kejenuhan para napi yang berada di dalam penjara.

Kompetisi Internasional - 06

…And the Wound Closed Wearily

Ian Deleón
Cina, 2012, 12 menit

Deskripsi oleh Afrian Purnama

Film yang menjukstaposisikan mitos dan sejarah, antara kisah Yunani kuno: Prometheus yang dihukum oleh dewa-dewa karena telah memberikan api bagi manusia dan sejarah pemimpin revolusi rakyat Cina, Mao Zedong. Film ini memberikan gambaran seimbang tentang Mao, sebagai pemimpin revolusi, pemersatu Cina, dan manusia biasa.

Kompetisi Internasional - 06

Sacrifice a Flower

Hasumi Shiraki
Jepang, 2013, 65 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Sacrifice a Flower merupakan dokumenter melalui pendekatan eksperimental. Hampir seluruh bidikan pada karya ini nyaris menciptakan representasi yang didistorsi dari  impresi sang pembuat. Beberapa usaha mendistorsi realitas pada Sacrifice a Flower berupa bidikan-bidikan yang cukup membiaskan, dan beberapa pembiasan dilakukan dengan melakukan kolase gambar. Karya ini terdiri dari delapan bagian dengan masing-masing subjudul yang mentematikkan situasi atau tempat tertentu, yang memiliki hubungan yang sangat personal dengan sang pembuat. Seperti pada subjudul “Black is Island” dan “Empty”, merupakan penggambaran dari tempat kelahiran kakek sang pembuat. Sacrifice a Flower merupakan karya dokumenter eksperimental yang sangat mementingkan tentang bentuk dari visi personal ketimbang aktualitas.

Kompetisi Internasional - 06

J. Werier

Rhayne Vermette
Kanada, 2012, 4 menit

Deskripsi oleh Hafiz

Kamera bergerak dan berganti ke ruang-ruang sebuah gudang dengan artefak-artefaknya di Winnipeg. Ruang-ruang tersebut dimanipulasi dengan proyeksi proyektor bekas oleh sang seniman. Secara mengejutkan gambar-gambar yang dihasilkan adalah sebuah montase tentang ruang tua, sebagaimana keadaan gudang Winnipeg saat ini.

Kompetisi Internasional - 06

Hermeneutics

Alexei Dmitriev
Russia, 2012, 3 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Hermeneutics bermula dengan footage-footage perang, dan berakhir dengan footage-footage perayaan pesta kembang api. Sedari awal para penonton diajak melihat tentang gambaran perang melalui ledakan-ledakan dan cahaya dari bom yang diluncurkan dan meledak. Cahaya ledakan berkesinambungan dengan cahaya kembang api dalam sebuah perayaan. Eksperimen ini membawa ketaksaan (ambiguitas) kisah tentang dua peristiwa yang berbeda yang dipertemukan pada suatu kode visual yang hampir serupa. Sedemikian hingga membawa penonton untuk merenungkan ulang pengertian kode visual secara hermeneutis.

Kompetisi Internasional - 06

Marshy Place Across

Lorenzo Gattorna
USA, 2012, 5 menit

Deskripsi oleh Afrian Purnama

Sebuah dataran pesisir pantai di Maryland yang dipenuhi beragam vegetasi alami, juga sejarah lampau masyarakat Indian di Amerika yang direpresentasikan oleh keberadaan kuda liar yang hidup damai tanpa intervensi manusia. Marshy Place Across mencoba menyeberangi sejarah Amerika melalui gambar bergerak sebuah tempat yang lekat dengan imajinasi.

Kompetisi Internasional - 06

Kaputt/Katastrophe

Luca Ferri
Italia, 2013, 16 menit

Deskripsi oleh Rajiv Ibrahim

Film pendek eksperimental yang unik, berani, dan provokatif. Eksperimen Kaputt/katastrophe terletak pada permainan tempo dari rangkaian gambar yang disajikan, pemotongan dialog, penggunaan suara, dan yang terutama adalah keselarasan antara elemen-elemen sinematik. Film ini mengajak kita untuk terus-menerus memperbaharui perspektif kita tentang sinema lewat berbagai permainan sudut pandang.

Kompetisi Internasional - 07

Suitcase of Love and Shame

Jane Gillooly
USA, 2013, 70 menit

Deskripsi oleh Mahardika Yudha

Film puitik ini mereka cipta kisah cinta sepasang kekasih di tahun 60an yang ditemukan di internet. Dalam 70 menit, Suitcase of Love and Shame menyelam dalam dialektika problematis antara persoalan privat dan publik.

Penuturan dilakukan melalui ‘bunyi-bunyi temuan’. Menariknya, visual film tidak menjadi sebuah latar atau pendukung bunyi, tapi alur narasi tersendiri yang melukiskan ‘perselingkuhan’ antara gambar diam (still images) dengan gambar bergerak (moving images), antara masa lalu dan sekarang dalam dunia media yang berbeda.

Kompetisi Internasional - 07

Volkspark

Kuesti Fraun
Jerman, 2011, 7 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Volkspark, merupakan karya dokumenter dengan menempatkan taman sebagai sebuah sistem sosial baru. Dokumenter ini menampakkan bagaimana respon orang-orang yang berada di taman ketika diterapkan sebuah sistem baru yang asing bagi mereka. Sampai kemudian, sang sutradara bersama reporternya, membuat sebuah sistem sosial pada taman tersebut dengan sesuatu yang ekstrem, yakni barang siapa melintas akan dikenai pajak. Dan akhirnya penerapan sistem sosial baru di taman tersebut harus mengalami sebuah tindakan yang mengarah pada kekerasan dan kamera pun dilarang merekam.

Kompetisi Internasional - 08

La Visita

The Visit

Fany de la Chica
Spanyol, 2013, 52 menit

Deskripsi oleh Mahardika Yudha

Berkisah tentang kehidupan pendidikan anak-anak penyandang cacat di Sekolah Luar Biasa Arrupe Centre, Kamboja. Film ini mempertemukan perspektif generasi modern dan generasi feodal, antara Ratita dan ibunya, tentang ‘kebudayaan tani’ di lingkungan mereka.

Ratita melihat pendidikan sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan dan mengembangkan ‘kebudayaan tani’. Tapi, sang ibu berpendapat lain, “Kenapa kamu tidak beli sawah untuk menanam padi saja?”

Asia Tenggara dan juga sebagian besar masyarakat Asia dikenal sebagai masyarakat tani. Bertani tidak hanya dilihat sebagai persoalan ekonomi, tetapi juga kebudayaan.

Kompetisi Internasional - 08

Canggung

The Awkward Moment

Tunggul Banjaransari
Indonesia, 2013, 22 menit

Deskripsi oleh Yuki Aditya

Kota Solo menjadi tempat bertemu sekelompok orang Jepang yang sedang mengunjungi keluarga jauhnya di Indonesia. Dua kelompok orang tersebut tidak saling mengerti bahasa satu sama lainnya. Penghubung mereka hanyalah seorang pria Jawa yang mampu berbahasa Jepang dan sebuah kamera. Visual minimalis dan konsep perekaman sebuah reuni dari orang-orang yang sebelumnya hanya kenal melalui cerita verbal tanpa pernah bertemu sebelumnya, membuat kita merasa canggung di rumah sendiri dan di tempat yang menyimpan kisah lama sejak puluhan tahun lalu. Film ini adalah sebuah dokumenter tentang persinggungan dua budaya, dua sejarah, dan dua kebiasaan. Penonton akan dibawa menjadi bagian dari pertemuan yang membiarkan suara tertentu terdengar dan membiarkan suara lainnya tetap diam.

Kompetisi Internasional - 08

Hitching the A1

Gary McQuiggin
UK, 2013, 14 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Hitching A1 adalah dokumenter perjalanan sang sutradara dari London ke Edinburgh dengan menumpang kendaraan orang lain. Dalam perjalanannya, dokumenter ini merekam dialog keseharian yang spontan dari perjumpaan antara dua pihak yang belum saling kenal. Cara Gary McQuiggin membidik dan menyusun gambarnya mengimpresikan panorama lokasi dan pemetaan tradisi tua yang humanis di Inggris tentang fenomena orang menumpang mobil ditengah jalan (hitchhiking).

Kompetisi Internasional - 09

Lejos de Saint Nazaire

Far From Saint Nazaire

Lluc Güell
Spanyol, 2011, 52 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Dokumenter ini merupakan napak tilas perjalanan seorang serdadu Jerman, Ernesto Fleck, yang pada pada Agustus 1944 berada di pantai Atlantik Perancis, melarikan diri dari Sekutu dan berusaha mencapai Strasbourg. Adalah sang cucu dan juga sutradara film ini, Lluc G Fleck, yang melakukan perjalanan napak tilas. Perjalanan dilakukan berdasarkan catatan harian, arsip-arsip foto, serta kesaksian-kesaksian beberapa orang yang mengalami masa kelam pendudukan Nazi pada Perang Dunia II. Salah seorang narasumber adalah sang nenek, yang menceritakan bagaimana suaminya menegaskan kalau membela Jerman dan melayani Nazi bukanlah hal yang sama.

Kompetisi Internasional - 09

Il Contorsionista

The Contortionist

Mauro Maugeri
Italia, 2013, 19 menit

Deskripsi oleh Yuki Aditya

The Contortionist bercerita tentang hubungan ayah-anak yang keduanya kebetulan adalah juru kamera. Sang anak mendokumentasikan hari terakhir ayahnya bekerja. Apakah ada jejak sejarah yang secara tidak langsung menghubungkan keahlian dua ayah-anak tersebut? The Contortionist bukan sekedar tentang kedekatan hubungan mereka, tapi juga tentang masa lalu dan sekarang, dua medium yang berbeda, satu kemampuan yang sama namun di dua latar yang berseberangan dimana sang ayah bekerja untuk suatu perusahaan dan anaknya sebagai pembuat film independen, serta tentang kemungkinan dan kesempatan yang membentang di depan anaknya sebagai juru kamera di masa depan. Perhatian sutradara film ini adalah pada warisan, yang tidak melulu soal materi namun siklus pengetahuan, akan dirinya sendiri, ayahnya, dan sinema dalam makna besarnya.

Kompetisi Internasional - 09

Wojoh

Faces

Said Najmi
Yordania, 2012, 16 menit

Deskripsi oleh Bunga Siagian

Cerita mengenai sebuah keluarga Bedouin yang mengalami kesulitan untuk pindah ke kota. Dimana kehidupan perkotaan berkebalikan dengan tempat tinggal mereka sekarang dan sebaliknya.

Kompetisi Internasional - 10

Polaziste za Cekanje

The Waiting Point

Masa Drndic
Kroasia, 2013, 44 menit

Deskripsi oleh Bunga Siagian

Bercerita mengenai kehidupan di sebuah terminal kecil dan sesak di Kroasia yang akan mengalami renovasi besar dalam rangka Kroasia masuk ke Uni Eropa. Bayang-bayang modernisasi membuat terminal ini dengan segala aktivitasnya menjadi sebuah persimpangan antara yang ‘lama’ dan yang ‘baru’.

Kompetisi Internasional - 10

Una Ciudad a Través de Unos Espacios

A City Through Different Spaces

Linda Bannink
Belanda, 2013, 9 menit

Deskripsi oleh Mahardika Yudha

Karya-karya Linda Bannink selalu membicarakan persoalan urban. A City Through Different Spaces tak terkecuali. Film ini mengajak kita melihat interaksi sutradara dengan ruang-ruang kota di México City melalui orang-orang yang tiba-tiba hadir ‘tanpa sejarah’ di tengah-tengah kota.

Film ini memiliki latar persoalan yang sangat mirip dengan kota-kota di negara-negara Asia, seperti Indonesia. Urbanisasi telah melahirkan berbagai macam persoalan sosial, bahkan mentalitas warga.

Kompetisi Internasional - 10

Journey of Consciousness

Awareness Journey

Yi-Yu Liao
Taiwan, 2013, 24 menit

Deskripsi oleh Bunga Siagian

Sebuah film berlatar di Taiwan, tentang bagaimana masyarakat yang mempertahankan tradisi nenek moyang sebagai pelarian bahkan solusi terhadap berbagai masalah khas masyarakat modern. Khususnya menghadapi kiamat 2012.

Kompetisi Internasional - 10

The Flaneurs #3

Aryo Danusiri
Indonesia, 2013, 4 menit

Deskripsi oleh Bunga Siagian

Potret masyarakat urban ibukota. Fokusnya adalah kelompok pengajian yang melakukan perjalanan keliling Jakarta dengan menggunakan sepeda motor secara beramai-ramai dan menggelar pengajian-pengajian massal di tepi jalan.  Sebuah Fanatisme yang tersusun dengan kuat dalam 4 menit.

Kompetisi Internasional - 10

Ben

Kuesti Fraun
Jerman, 2013, 1 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

Ben memuat hanya satu bidikan, tentang Ben Jhonson, mantan juara dunia lari 100m, berlari dalam gerak lambat. Karya ini mengeksplorasi tentang bentuk dan gestur tubuh. Olah kamera menghadirkan antara ekspresi wajah yang berlari semakin kuat, dengan bidikan kamera yang merekam secara lambat. Kekuatan bentuk dan gerak gambar ini yang diperkuat, didramatisir bahkan, dengan penggunaan suara yang apik.

Kompetisi Internasional - 11

Chroma

Jeremy Moss
USA, 2012, 3 menit

Deskripsi oleh Mahardika Yudha

Dalam durasi tiga menit, Chroma memadukan warna-warna flicker, gerakan dan lekuk-lekuk tubuh, serta permainan tempo flicker sebagai bahasa sinematik. Penonton diajak untuk memfokuskan pandangannya (vision) dalam perebutan ‘ruang pada frame’ antara performer yang berwarna hitam dengan warna-warna flicker yang menjadi latarnya.

Kompetisi Internasional - 11

Momentum

Boris Seewald
Jerman, 2013, 7 menit

Deskripsi oleh Yuki Aditya

Momentum bukanlah sekadar film yang mendokumentasikan tarian, tapi juga mengaplikasikan siasat-siasat sinema dalam proses penyusunan gambarnya. Teknik jump-cut dan exposure ganda rapih dipakai untuk menangkap gerak cepat, dinamis, dan menghibur dari seorang pria bernama Patrick yang mengingat kembali tariannya saat mengambil penganan keripik tortilla di sebuah pesta. Momentum sendiri adalah sebuah pesta kecil pribadi bagi Patrick dan ibunya, yang tak cukup diabadikan hanya dengan sebuah foto yang membatasi kinetika-nya.

Kompetisi Internasional - 11

Park of Contemporary Culture

Dmytro Bondarchuk
Ukraina, 2011, 8 menit

Deskripsi oleh Bunga Siagian

Sebuah taman menawarkan hiburan kontemporer menarik bagi warga Ukraina. Berisi berbagai macam karya seni berupa patung dengan berbagai bentuk, warna dan fungsi. Mungkin tempat ini adalah satu-satunya taman hiburan -bukan komersial yang mampu mendatangkan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa kedalam satu kegembiraan yang sama.

Kompetisi Internasional - 11

Les Fantômes de l’escarlate

The Ghosts and the Escarlate

Julie Nguyen Van Qui
Prancis, 2012, 15 menit

Deskripsi oleh Yuki Aditya

The Ghosts and the Escarlate berlatar di sebuah pabrik pembuatan benang wol. Suara manusia yang terdengar bukan dari para pekerja di dalamnya, melainkan dari narasi yang dibawakan melalui voice-over seorang pria yang menceritakan sebuah kisah persaingan bisnis ratusan tahun lampau. Kamera menelusur dan menelisik ruangan-ruangan di dalam pabrik tersebut dari sudut yang canggung, Imajinasi dan fantasi penonton ditantang untuk percaya dan paham tentang tempat yang tak kita kira sebelumnya.

Kompetisi Internasional - 11

Generator of Duriban

Wonwoo Lee
Korea Selatan, 2012, 38 menit

Deskripsi oleh Yuki Aditya

Duriban adalah nama sebuah restoran yang akan digusur pemerintah demi kepentingan kelanjutan pembangunan di kota Seoul. Pemiliknya yang notabene juga adalah warga negara tidak tinggal diam ketika tempatnya mencari penghidupan direnggut secara paksa. Listrik dimatikan, namun semangatnya tak pernah surut. Film ini bukanlah melulu tentang korban penggusuran, namun semangat di belakang orang-orang yang tergusur itu.

Kompetisi Internasional - 12

To Raise From the Water

Andrew Littlejohn
Jepang, 2012, 16 menit

Deskripsi oleh Rajiv Ibrahim

Sebuah desa nelayan di Jepang mencoba untuk bangkit kembali setelah tertimpa rangkaian bencana pada Maret 2011, dari tsunami, gempa bumi, hingga bencana nuklir. Pembuat film memberi cukup kesempatan bagi penonton untuk mengunyah bahasa film ini hingga lunak dan mudah untuk ditelan. Pergerakan kameranya cenderung statis, sementara ritme film dibiarkan renggang (tiap adegan rata-rata di atas 30 detik). Dari adegan-adegan yang dipilih pembuat film, terutama adegan penutupnya, film ini seperti ingin mengajak penonton turut merasakan optimisme orang-orang yang mencoba untuk membangun kembali hidup mereka.

Kompetisi Internasional - 12

A Man Since Long Time

Mahmoud Yossry
Mesir, 2012, 17 menit

Deskripsi oleh Akbar Yumni

A Man Since a Long Time, dokumenter pendek yang mengisahkan tentang pandangan sejumlah remaja di Mesir yang harus menghadapi sebuah aturan kultural dan agama yang mengekang ekspresi seksualitas.  Perkembangan teknologi, sangat memungkinkan para remaja untuk mengakses dunia pornografi yang mengglobal. Sedemikian hingga pandangan seksualitas dari para remaja Mesir pun mengalami pergeseran. Film ini mengisahkan sisi liberal dari kebudayaan anak remaja Mesir kekinian, dan footage-footage keseharian di kota Kairo yang semakin liberal.

Kompetisi Internasional - 12

Ancestral Delicatessen

Gabriel Folgado
Spanyol, 2012, 15 menit

Deskripsi oleh Rajiv Ibrahim

Kenari, keledai, hewan-hewan ternak, dan lebih banyak kenari. Begitulah sumber daya alam sebuah desa kecil tak bernama dalam Ancestor Delicatessen. Didedikasikan untuk saudara laki-laki sang sutradara, film pendek sederhana ini mengkronologikan bagaimana para warga mengolah sumber daya alam sekitar mereka jadi makanan sehari-hari, lewat pergerakan kamera statis dan pengaturan bebunyian yang rancak. Makanan khas mereka: marron glance, sepiring kenari beku.

Kompetisi Internasional - 12

Pretty Good Look

Youngnam KIM, Jungwha JUNG, Minho JO,Sohyun MOON, Goeun BAE, & Seungbum HONG
Korea Selatan, 2012, 19 menit

Deskripsi oleh Bunga Siagian

Film ini merupakan pseudo-dokumenter yang menggabungkan pertunjukan, fiksi, dan situasi sebenarnya. Sebuah studi yang berusaha melihat bagaimana masyarakat Korea Selatan menyeragamkan definisi fisik orang yang terlihat mencurigakan.

Daftar Film Pemenang ARKIPEL 2013

ARKIPEL Award

Old Cinema, Bologna Melodrama

Davide Rizzo
Italia, 2011, 60 menit

Catatan dari Dewan Juri ARKIPEL 2013

ARKIPEL Award diberikan kepada film terbaik utama secara umum yang dalam penilaian dewan juri memiliki pencapaian artistik yang tinggi disertai kekuatan potensialnya dalam memaknai pilihan perspektif kontekstualnya. Melalui kontennya, segenap aspek tersebut dalam bahasa visualnya berhasil mengajukan suatu pandangan dunia kontemporer terbaru bagi kita sebagai wacana yang menantang cara pandang umum atas situasi tertentu yang diungkapkan subjek-subjeknya.

Film Old Cinema, Bologna Melodrama menelusuri jejak-jejak historis sinema sembari mengungkap kehidupan sosial budaya yang diwarnai oleh benturan politik, jender, kelas, dan ras. Film ini merefleksikan kenangan juga sebagai kenyataan hari ini berkaitan dengan sinema Italia. Film ini juga merekam dan merekonstruksi ingatan warga tentang kota dan sejarah bioskop untuk melihat kembali sejarah politik sebuah negara. Film ini berbicara tentang sinema populer dalam konteks global. Kota Bologna, merepresentasikan dominasi global film-film Amerika, dengan membebaskan suara-suara lokal merespon dan bernegosiasi dengan hegemoni budaya. Film ini tidak perlu mengambil footage Italia tahun 40-an untuk menggambarkan suasana perang, melainkan hanya dengan menampilkan gedung bioskop yang terbengkalai. Cara ini menghasilkan gambar yang nostalgi tentang budaya sinema di Italia pada masa lalu dan, sekaligus juga menawarkan pandangan kritis terhadap masyarakat baik di masa lalu dan sekarang, dengan menggunakan idiom-idiom budaya populer.

JURY Award

Suitcase of Love and Shame

Jane Gillooly
USA, 2013, 70 menit

Catatan dari Dewan Juri ARKIPEL 2013

Jury Award diberikan kepada film terbaik versi pilihan dewan juri dengan pertimbangan, bahwa terdapat kesegaran dan keunikan bahasa sinemanya yang mencapai kematangan personal dalam menyingkapkan dan mengkomunikasikan pengalaman estetis dan pergulatan atas konten. Sangat mungkin, tawaran nilai-nilai dalam film terbaik untuk kategori ini semata-mata bersifat individual oleh karena isu dan pendekatannya tidak selalu berlaku secara umum di berbagai konteks budaya dan sosial.

Film Suitcase of Love and Shame melebarkan konsep voyeurism dengan menempatkan kita (penonton) sebagai penguping, serta menghadapkan penonton kepada situasi yang tidak nyaman atas akses kehidupan privat para tokohnya. Bertaut pada wilayah privat, film ini bicara tentang politik gender 60-an (di Amerika Serikat), dan mengungkap tegangan antara seksualitas dan moralitas. Suitcase of Love and Shame memunculkan teks baru dari jukstaposisi imaji dan audio dalam struktur dramatik yang rapi. Film ini mengolah memori, visual dan suara, secara lintas media. Dalam sejarah sinema, aspek suara seringkali dianggap merusak struktur visual. Namun film ini berada dalam wilayah sinema yang berkontribusi terhadap perspektif baru tentang estetika suara dalam film. Visual menjadi metafora dari tabu, represi seksualitas, dan sensor diri dalam hubungannya dengan nilai-nilai dominan masyarakat. Teks yang menempel pada objek-objek menjadi unsur naratif di film ini.

Film ini kaya akan unsur estetik, kesempurnaan teknisnya tak terelakkan.

PERANSI Award

Polazište za čekanje

The Waiting Point

Maša Drndic
Korasia, 2013, 44 menit

Catatan dari Dewan Juri ARKIPEL 2013

Peransi Award diberikan kepada karya sinematik yang secara istimewa dan segar mengeksperimentasikan berbagai kemungkinan pendekatan pada aspek-aspek kemediuman dan sosial. Secara khusus, kategori ini difokuskan kepada pembuat film berusia muda di bawah 31 tahun. Penghargaan terbaik dalam kategori ini terilham dari nama David Albert Peransi (1939–1993), seniman, kritisi, guru, dan tokoh penganjur modernitas dalam dunia senirupa dan sinema dokumenter dan eksperimental di Indonesia.

The Waiting Point adalah sebuah film yang berbicara tentang identitas, terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tengah persiapan masuknya Kroasia ke dalam Uni Eropa. Gaya bertutur film disampaikan dengan puitis dan tidak bertele-tele. Film ini bereksperimentasi dengan teknik voyeurism atau mengamati (memata-matai), yang merupakan pengembangan dari cinéma vérité. Pilihan sutradara menggunakan teknik pewarnaan hitam-putih, secara mengejutkan mampu mendekatkan penonton pada kenyataan sehari-hari yang berwarna.

Melalui karya-karyanya, D.A. Peransi seperti menganjurkan bahwa sebuah karya untuk selalu memiliki hubungan-hubungan sosial, politik, budaya, dengan publik. Dalam The Waiting Point, kamera hadir untuk mendiskusikan kembali keputusan-keputusan negara dan korporasi terhadap rakyat.

FORUM LENTENG Award

Les Fantômes de l’escarlate

The Ghosts and The Escarlate

Julie Nguyen van Qui
Prancis, 2012, 15 menit

Catatan dari Dewan Juri ARKIPEL 2013

Selain tiga penghargaan yang dipilih oleh Dewan Juri, pemenang untuk Forum Lenteng Award dipilih oleh anggota Forum Lenteng. Kategori penghargaan ini merefleksikan posisi, pembacaan, dan sikap kritis Forum Lenteng atas perkembangan karya-karya visual sinematik pada tataran estetika dan konteks melalui film-film yang lolos seleksi ARKIPEL.

Penghargaan untuk kategori ini diberikan kepada film yang dianggap paling terbuka dalam menawarkan nilai-nilai komunikatif, baik dari segi artistik maupun konten, yang memberikan peluang bagi pendekatan sosial-seni secara berbeda dan lebih leluasa bagi kemungkinan eksperimentasi.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search