In Artikel

Pada awal kelahiran sinema, ia dipahami sebagai seni tentang gerak (motion). Kodrat gerak pada sinema tersebut, sebagaimana istilah kinematografi, pada awalnya banyak ditukangi oleh ilmuwan macam Muybridge, sebagai sebuah modus gerak dari fotografi.  Kemudian pada kelahiran kamera, gerak ini pun kemudian berhasil membuat penciptaan akan ilusi dari realitas yang dinamis, namun juga tidak melepaskan fungsi lensa sebagai perekaman fotografis sebagai aparatus sinema.  Menurut Lev Manovich, sinema pada abad ke-20, perkembangan sinema baik sinema Hollywood maupun avantgarde, mereka tidak bisa lepas dari perekaman fotografis. Bahkan bagi sutradara Andrei Tarkovsky, yang menurut istilah Manovich sebagai filem-painter par excellence pun, menganggap bahwa membuat filem abstrak adalah mustahil. Hal ini dikarenakan identitas sinema disandarkan dalam kemampuannya merekam kamera. Hal ini dikarena gestur yang paling mendasar dari sinema adalah membuka kamera dan kemudian merekam apa-apa yang ada dihadapan kamera.

vlcsnap-2016-07-18-21h49m28s644

Menurut Manovich, dalam sejarah sinema, seluruh daftar teknis dari sinema dibangun untuk memodifikasi dasar yang diperoleh melalui sebuah aparatus filem. Bagaimanapun kompleks gaya inovasi dari sinema, sinema tidak lepas dari lapisan dasar realitas dalam fotografi. Bahkan menurut Jean-Luc Godard, jika fotografi adalah kebenaran, maka sinema adalah 24 kali kebenaran dalam satu detik. Bagi Manovich, sinema memunculkan dorongan yang sama yang melahirkan naturalisme, sedemikian hingga sinema menjadi seni indeks. Pandangan Manovich ini mengandaikan bahwa sinema menjadi ranah yang memproduksi sekian banyak perekaman fotografis secara terus menerus. Dasar fotografi tersebut telah menjadi landasan dalam sinema di era seluloid.

Refleksi pada sinema modern yang didasarkan pada lapisan realitas secara fotografis tersebut, membawa perubahan dalam era sinema digital kekinian. A Place I’ve Never Been, salah satu karya kompetisi pada Arkipel Festival 2015, adalah sebuah filem yang didasarkan pada modus-modus sinema di era digital. Praktik filem ini, tidak lagi menggunakan modus perekaman kamera, namun lebih pada mengumpulkan sekian banyak arsip-arsip foto yang diolah menjadi sekuen-sekuen gerak secara sinematis. Filem karya Adrian Flury ini, berisikan still foto dari berbagai sudut pandang orang-orang beserta pengambilannya tentang sebuah bangunan yang cukup ikonik Akropolis, di Athena Yunani, beserta wilayah diseputarannya. Keragaman image tersebut berasal dari sumber yang berbeda, di urai melalui montase frame demi frame yang membentuk sekuen gerak realismenya tersendiri. Kelimpahan image yang dimontasekan secara sekuensial tersebut dipercepat frame demi framenya sehingga bisa memberikan sebuah makna baru terhadap bentuk dan pola sebuah bentuk bangunan dan landskap. Beragam dan kelimpahan sumber image Akropolis yang dihadirkan bisa dinyatakan berasal dari publik, yang seakan sebuah perayaan bentuk dari kaca mata publik yang membentuk realisme publik tersendiri.

Sinema di era digital menurut Manovich, sesungguhnya adalah konteks dimana kontruksi manual image dalam representasi sinema yang kembali ke praktik pra sinematis abad ke-19. Pada abad ke-20, lalu pada abad sinema digital, sinema telah mendelegasikan teknik manual atau semacam keterampilan (craft) melalui penggunaan software dalam menyusun dan membentuk sebuah bahan-bahan image hasil perekaman, atau semacam image yang kembali dibentuk melalui semacam lukisan dan animasi tangan. Sinema di era digital, perihal teknik dan keterampilan menjadi bagian dari proses membuat filem, atau bagaimana proses editing dalam penggunaan software menjadi estetika sinema itu sendiri. Konsekuensi dari sinema digital ini, menurut Manovich, sinema tidak bisa lagi menjadi jelas dibedakan dari animasi, dimana ia adalah bagian dari sub genre lukisan.

vlcsnap-2016-07-18-21h47m32s724

Karya A Place I’ve Never Been adalah sinema yang didasari oleh konsep editing melalui bahan baku arsip publik yang sangat melimpah. Berbagai sudut pandang yang sangat beragam dari publik, sinema menjadi sebuah keterampilan dalam penggunaan software dalam merangkum dan mengkonstruk beragam sudut pandang publik terhadap sebuah objek yang cukup ikonik. Perubahan titik pandang dari image publik ini menjadikan sebuah montase yang seakan membentuk sebuah ‘gerak kamera’ (tracking shot) tersendiri, serta membentuk ‘gerak objek’ itu sendiri. Perbedaan kecil derajat sudut pandang membentuk realisme yang khas dari bentukan frame demi framenya, namun sesunggunnya mata publik sebenarnya secara tidak langsung telah membentuk sebuah sekuen gerak yang ‘logis’ dalam menyingkap sebuah objek ikonik. Dalam konteks ini, sinema digital menjadi sebuah kemungkinan software yang sanggup mengolah, menyusun, mendistribusikan, menduplikat dan lain sebagainya dari bahan baku arsip publik, sebagai sebuah proses penciptaan di dalam sinema.

Setidaknya ada dua hal penting yang bisa dirumuskan dalam pandangan Lev Manovich terhadap sinema digital. Pertama, sinema digital tidak sekedar memfilemkan realitas fisik karena dimungkinkan untuk menghasilkan scene yang menyerupai filem secara langsung melalui sebuah komputer secara animatif.  Kedua, basis pixel pada sinema digital membuat tidak adanya perbedaan image yang terbuat melalui lensa fotografi dan image sintesis yang diolah melalui program , karena basis image pada pixel mudah untuk diubah, disubtitusikan dari satu image ke image lain, dan seterusnya, sehingga footage tindakan yang hidup kini direduksi hanya menjadi model grafis yang lain yang tidak berbeda dengan image yang dibentuk secara ketrampilan manual.

vlcsnap-2016-07-18-21h45m27s136

Di era digital, semua akses terhadap objek data, baik buku, filem, rekaman suara dan lain sebagainya adalah sebuah duplikat dari materi aslinya. Hal ini menjadikan akses terhadap objek di era digital adalah melalui software. Akses terhadap data digital inilah yang kemudian menurut Manovich adalah pengalaman yang dikonstruksi software adalah sebuah performace. Penggunaan atau akses terhadap software adalah sebuah performance tersendiri karena kita tidak mengaksenya melalui medium lain dan bukan dokumen yang statis. Pengalaman terhadap software adalah dalam waktu yang nyata (real time), sebagai sesuatu yang dinamis karena respon kesituasiannya yang bisa berbeda-beda dalam menanggapi sebuah dokumen yang dimedium digitalkan. Sinema digital saat ini, adalah keragaman estetika dalam konteks eksperimental sinema di era kekiniaan, dan Arkipel festival adalah perayaan terhadapnya bagi publik penonton film di Indonesia.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search