Di pagi hari 29 Agustus 2015, Jurnal Footage mewawancarai Amy Fung, di Lobby Whiz Hotel, Cikini. Amy adalah seorang penulis, kurator dan periset seni yang berdomisili Kanada, dan saat ini menjabat sebagai Direktur Artistik pada Images Festival, Toronto—sebuah festival filem eksperimental yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1987. Kehadiran Amy di Jakarta adalah sebagai salah seorang kurator yang diundang oleh ARKIPEL Documentary and Experimental Film Festival, “Grand Illusion”, 2015. Programnya di ARKIPEL kali ini yaitu untuk mempresentasikan karya-karya dari Images Festival. Berikut, wawancara oleh Akbar Yumni dan Afrian Purnama dari Jurnal Footage—dan Ario Fazrien memvideokannya—dengan Amy Fung seputar tema sinema eksperimental di era digital.
Jurnal Footage: Menurutmu, apa pengertian eksperimental itu?
Amy Fung: Apa yang dimaksud dengan eksperimental? Menurutku, itu istilah yang sudah kuno. Eksperimental adalah genre yang sangat spesifik. Saat kita bicara tentang filem, khususnya filem eksperimental dari Amerika masa ’50-an dan ‘60-an, Animasi dari Kanada—NFB (National Film Board). Menurutku, tiap negara punya eksperimentasinya masing-masing. Eksperimental berarti sesuatu yang berbeda. Eksperimentasi yang terjadi di Indonesia saat ini sepertinya adalah cara-cara untuk menumbangkan dominasi media mainstream. Namun sebagai genre, menurutku ini terlalu besar, seperti kanon dan avant-garde. Ini seperti istilah sosial-historik yang spesifik dan bisa digunakan ke bentuk-bentuk yang lain.
JF: Filem eksperimental Kanada punya sejarah panjang dengan figur besar seperti Mike Snow, Arthur Lipsett dan Norman McLaren. Tren apa menurutmu yang terjadi saat ini bila kamu melihat ke masa lalu?
Amy Fung: Aha. Ya, maksudnya [ternyata] Michael Snow, Joyce Wieland; bayang-bayang mereka masih besar. Tapi bagiku mereka sudah jadi konteks sejarah. Menurutku, apa yang terjadi dengan skena kontemporer… gosh, ada sangat banyak garis yang saling besinggungan. Seperti, ada seniman yang menyerupai Phillip Hoffman, siapa namanya? Mike Hoolboom. Orang-orang ini melakukan cara yang sangat berbeda dalam bercerita. Ada narasi orang pertama yang sangat populer saat ini. Dan kamu lihat anak muda seperti ‘Williams’ bekerja dengan 3D. Mereka bekerja melalui genre yang berbeda hingga mereka mengatakan eksperimental sudah tidak menyenangkan lagi dan sebaiknya memakai frasa ‘karya gambar bergerak kontemporer’; menurutku, itu lebih pantas. Dan, bagaimana kita bisa melihat karya-karya itu karena filem eksperimental sepertinya terikat dengan estetika semacam dari Lipsett, Mike Snow, Norman McLaren, ada banyak proses yang terlewati. ‘Gambar bergerak kontemporer’ lebih terbuka dan mustahil terdefinisikan.
JF: Bagaimana dengan eksperimental di Asia Tenggara?
Amy Fung: Saya tidak begitu tahu skena ini. Namun, selama seminggu di [Festival] ARKIPEL, ini sudah membuka koneksi, dalam arti festival yang berbeda namun tidak selalu estetik. Maksudnya, kita memiliki misi dari seluruh dunia. Apa yang bisa kukatakan adalah, mungkin terpengaruhi pilihan politis, saya tidak bisa mengatakan gaya tersebut, tapi sangat berbeda dengan gaya Eropa yang saya sukai.
JF: Bagaimana dengan tren [sinema] dalam era digital? Apakah bisa dibandingkan dengan filemnya Norman McLaren, atau itu karya yang sudah lepas dari akarnya?
Amy Fung: Ya, itu maksudnya mengapa eksperimental adalah genre yang sudah usang. Harus pakai film (medium) dan harus diproses tangan. Menurutku, bukan seperti itulah satu-satunya cara untuk melihat karya eksperimental. Apa yang terjadi saat ini, baik video kamera atau editing kamera… kupikir, sebaiknya sudah tidak terbatasi oleh format. Eksperimental tidak harus dengan proses tangan, tidak harus dengan film (medium); itu sudah bukan masalah lagi. Menurutku, karya eksperimental yang paling menarik adalah inisiatif karya di online, ini adalah post-network. Seperti definisi standar dalam ponsel kita, kupikir hal ini sangat menarik.
JF: Apa masalah lain dari karya kontemporer bila dibandingkan dengan zamannya Norman McLaren? Apa isu yang muncul saat itu?
Amy Fung: Saya tanya: Bagaimana kamu bisa melihat apa yang terjadi saat itu?
JF: Maksudnya, di masanya Norman McLaren, ada permasalahan-permasalahan yang dia angkat, lalu apakah permasalahan-permasalahan yang diangkat oleh seniman kontemporer?
Amy Fung: Masalah apa yang diangkat oleh Norman Mclaren?
JF: Permasalahan tentang bentuk, bentuk murni, seperti titik dan garis. Apa ada perbedaannya dengan saat ini?
Amy Fung: Semoga begitu (Tertawa). Menurutku, ini harus diluruskan, bentuk murni, structural cinema, sudah mati. Karya seniman saat ini tidak bisa disebut eksperimental. Mereka hanyalah purwa-rupa dari apa yang sudah mereka lihat dari filem eksperimental. Ada banyak distraksi, apa yang telah dilakukan sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh seniman dekade lalu. Jadi, bila terus melakukan hal tersebut, apa artinya? Menurutku, seniman yang paling menarik adalah yang bekerja dengan form (bentuk), bentuk tersebut sudah berubah. Memahami kultur layar (screen culture) seperti pada Jon Rafman dari Montreal yang banyak berkarya dengan Google, yang berkarya online dan banyak menggunakan estetika video game. Seperti mengeluarkan kultur populer, bagaimana kita melihat dunia dan membuat kita lebih kritis karena itulah sinema eksperimental seharusnya, membuat kita lebih kritis terhadap segalanya, tidak hanya bentuk saja.
JF: Apa yang dimaksud dengan kultur layar?
Amy Fung: Maksudnya, di Indonesia semua orang punya ponsel, semua orang ada di social media seperti Instagram. Hal ini mempengaruhi bagaimana kita melihat, seperti, kebanyakan orang berada di rumah dan menonton filem. Itu adalah kontak sosial, bagaimana kita melihat dan memahami gambar bergerak. Kembali ke masanya Norman McLaren, ponsel belum tercipta. Ini mengubah cara kita menatap dunia. Pemahamanku tentu berbeda dengan seseorang yang hidup lima puluh tahun lalu kan? Seperti, semuanya yang kita pahami tentang dunia saat ini dibentuk oleh media. Ada stimulasi terus-menerus yang terus terjadi dan memahami bagaimana kita melihat sekeliling. Norman tidak bisa duduk selama 90 menit tanpa henti. Filem dengan satu zoom saja karena perhatian kita sudah berubah, segalanya berubah. Jadi, apa tantangannya saat ini? Banyak orang tidak menyukai karya Ryan Trecartin karena karya itu betul-betul gila, seperti sebuah pergerakan dan aksi yang terus-menerus. Tapi, sebenarnya, itulah kehebatannya, dengan memahami apa yang terjadi saat ini. Dan kupikir, yang dia lakukan sangatlah menarik.
JF: Apa ada perbedaan kultur menonton saat ini dengan yang dulu, contohnya seperti di masanya Norman McLaren?
Amy Fung: Ya, kultur layar sangat berbeda saat ini dengan masa lalu. Maksudnya, seperti pergi menonton filem pun sangat berbeda. Dulu hal itu biasa dilakukan karena mudah dan murah dan kita tidak bisa menonton filem di rumah. Sekarang semua orang bisa, dan apa tujuan pergi menonton filem? Sinema adalah tempat spesifik di masa lalu. Kajian teater, kajian filem, segalanya yang populer 50 tahun yang lalu di era ’50-an dan 60-an seperti di Amerika dengan Stan Brakhage, Maya Deren, sudah lewat. Bagus untuk mengetahuinya tapi apa gunanya bila hanya mengulanginya lagi?
JF: Apakah filem berdiri sendiri atau terkoneksi dengan benda kultural lainnya?
Amy Fung: Ya, tentu saja. Latarbelakangku adalah Kajian Filem dan Sastra. Tidak ada buku dan filem yang berdiri dengan sendirinya. Segalanya pasti terhubung dengan konteks sejarah dan sosial. Kajian Filem, Kajian Sastra, bahkan Sejarah Seni, menegaskan hal itu. Menurutku, studi tentang sinema eksperimental yang kukatakan tadi, mungkin lebih gamblang dalam menjelaskan keterhubungan karena seniman-seniman juga menciptakan hubungan-hubungan tersebut. Tapi bingkaian pemahaman sosial-sejarah itu juga berlaku di berbagai bidang lain. Memang, lebih menyenangkan merangkai keterkaitan itu di karya eksperimental sebab seniman, akademisi dan penonton juga menyadari pernyataan tersebut. Sinema arustama banyak tak menyadari pernyataan politis itu; sekarang orang bilang mereka apolitis, padahal sebenarnya tidak; hanya saja, pilihan politis mereka memang payah.
JF: Menurutmu, apa filem memiliki kelas yang sejajar dengan buku dalam konteks kesejarahan?
Amy Fung: Well, filem adalah yang paling baru dari genre gambar bergerak.
JF: Apakah Kajian Sinema melihat filem sama seperti melihat buku atau tari, atau melihat benda kultural lain? Atau apa ada cara yang sama untuk melihatnya?
Amy Fung: Bila memang bisa diukur, apa yang kalian maksud adalah aspek kulturalnya?
JF: Ya dari perspektif kulturalnya.
Amy Fung: Maksudku, filem adalah yang termuda, hadir lebih dari seratus tahun. Ballet sudah ada ratusan tahun yang lalu, sastra lebih dari ribuan tahun lalu. Bila filem sudah berusia ratusan tahun, mungkin akan lebih dimengerti. Menurutku, sudah terlihat dari kemampuannya untuk menggapai penonton secara luas. Sesuatu seperti balet, opera, bentuk klasik semacam simfoni, sangat bedasarkan kelas. Sinema adalah benar-benar jenis seni yang sangat demokratik. Inilah mengapa ia menjadi begitu populer. Namun pembelajaran sinema baru ditemukan di tahun ‘70-an. Semua itu masih terlalu baru. Dan sangat menarik karena masih baru sehingga masih bisa kita bentuk dan ukir fondasi tentang bagaimana kita memahaminya, sekaligus juga berubah sangat cepat.
JF: Sinema memiliki estetika yang berbeda sebagaimana dikatakan Andre Bazin. Menurutmu, apa sinema punya bahasanya sendiri?
Amy Fung: Menurut Bazin, bahasa sinema sangat struktural. Tentu, filem memiliki bahasanya sendiri namun harus dilihat bahwa Bazin, bahkan Kaja Silverman, para teorisi ini menelaah bahasa filem dari filem-filem berusia seratus tahun yang lalu. Kita perlu sintaks yang baru, gramar yang baru dari apa bahasa tersebut. Bahkan, bila kita tilik bahasa Inggris, ada Inggris Tua, Inggris Pertengahan, Inggris Modern, banyak variasinya. Tak bisa memakai pemahaman yang sama dari Inggris Tua untuk bahasa Inggris Modern. Menurutku, Bazin menyediakan alat yang sangat baik untuk filem-filem era awal. Tapi filem-filem itu sangat berbeda dengan sinema kontemporer kan? Bagaimana kita bisa menggunakan bingkai kerja ini.
JF: Perbedaan terbesar apa antara sinema era lama dengan saat ini?
Amy Fung: Editing. Editing, saat Bazin menulis, jump cuts dan parallel editing masihlah baru, bahkan sama-sekali belum diciptakan. Disinilah, seperti melihat melalui bahasa mekanik dari tiap kalimat bidikan yang sudah sangat berbeda. Seperti, bila kita bisa mundur ke belakang dan menunjukkan iklan-iklan (televisi) pada mereka di masa lalu. Lompatan estetik dan logika yang sudah terjadi begitu besar karena kita sudah terbiasa dengan bahasa editorial dan mempergunakannya, semua ini adalah bahasa yang sangat baru.
JF: Apa pendapatmu tentang ARKIPEL?
Amy Fung: Filem-filemnya atau festivalnya? Paling-paling, saya melihat Presentasi Khusus. Bagus untuk mengetahui apa yang terjadi di Asia Tenggara karena menurutku tidak banyak perhatian tertuju ke wilayah ini. Dan banyak karya menarik yang datang dari sini karena masih baru kan? Seolah tidak ada tradisi eksperimentasi sinema… Bukan kata-kata seperti itu… Maksudku, tidak banyak tradisi eksperimentasi sinema di Asia Tenggara lantaran dominasi bentuk tertentu. Dan karya independen di sini harus memiliki bahasanya sendiri, membuat pemahaman yang lain ketimbang mengambil bentuk dari Eropa. Mereka harus membuat pernyataanya sendiri. Ketimbang membandingkan dengan McLaren dan Lipsett dan tokoh lain yang datang dari latar belakang berbeda.
JF: Bagaimana dengan filem-filem di ARKIPEL?
Amy Fung: Saya punya beberapa keberatan. Ada terlalu banyak penayangan dalam satu waktu. Maksudku..,. kalian sangat baik dalam mendokumentasikan, fotografi… dan segalanya. Semua festival ingin melakukan hal itu. Tetapi ada beberapa pemutaran yang didatangi sedikit orang. Menurutku, itu masalah. Mungkin, para pelajar belum tergapai? Penayangan kemarin di mall terlihat sangat baik. Dan mereka orang lokal kan? Ada koneksi di situ. Penayangan lokal selalu terlihat ramai namun kalian seharusnya juga menggapai mereka di Program Internasional. Kalian harus memiliki koneksi itu. Tapi kami (kurator luar) menayangkan filem tentang gentrifikasi dan distraksi pada pembangunan hanya di depan para panitia (festival). Menurutku, [Program Internasional] itu sangat penting untuk Jakarta. Jadi, bagiku, penonton bisa di dibangun tiap tahun. Di sisi lain, ini adalah tahun ketiga, kalian sudah terlihat besar maka ini bagus.
JF: Bisa dibandingkan dengan Images Festival?
Amy Fung: Saya sudah di sana sejak tahun 1990 saat Images [Festival] masih berusia tiga tahun. Images [Festival] sudah 29 tahun [kini], [dan] sangat berbeda. Namun, seperti yang kemarin saya bilang, kota Toronto punya lebih 80 festival filem tiap tahun dan infrastruktur untuk kompetisi, misalnya akses untuk gedung… harus kami pesan bahkan bertahun-tahun sebelumnya untuk ketersediaan bioskop. Di sini, kalian seperti mimpi, hanya punya berapa… tiga festival setahun dan memiliki sumberdaya yang sangat baik, tinggal hanya penontonnya saja. Kalian adalah pemimpin karena kalian yang memulai ini pertama kali. Jika, kalian mampu bergabung dengan 20 festival lain yang lebih kecil, kalian benar-benar pemimpinnya. Lalu, kalian harus menentukan standarnya kan? Ini tidak hanya masalah foto, tapi bagaimana menggapai penonton, membuat mereka kembali tiap tahun.
JF: Kembali ke kultur layar, apakah bioskop masih dilihat sebagai tempat menonton karena seperti kamu bilang tadi, sekarang kita bisa menonton di mana pun.
Amy Fung: Sepertinya, itulah pertanyaan semua orang, apa tujuan dari sinema (bisokop)? Karena, segalanya sudah berubah. Saya masih percaya [itu]. Penting untuk menonton bersama-sama di ruang publik di mana semua orang datang dan berbicara (tentang filem) namun itu harus lebih dipertegas. Dalam konteks festival filem, festival menarik karena ada beberapa penayangan, semuanya menonton filem yang sama dan membicarakannya. Saya belum merasakan itu di ARKIPEL. Menurutku, potensinya ada dan itulah kultur sinema, sebenarnya itu: untuk menonton filem dan membicarakannya. Saya mengobrol dengan seseorang kemarin, semua orang bisa menonton filem di rumah tapi lebih menyenangkan bila dilakukan di bioskop, sama seperti semua orang bisa mendengarkan musik di rumah, tapi lebih menyenangkan mendatangi konser musik bersama-kawan-kawan.
JF: Di Indonesia ada tren baru menonton dalam kerumunan kecil dengan proyektor in-focus yang cahayanya muncul tidak dari belakang, tapi dari depan penonton; apa model seperti itu yang akan terjadi di masa depan?
Amy Fung: Ya, kenapa tidak? Festival, apalagi festival eksperimental, bisa saja melakukan itu selama kalian menjelaskannya.
JF: Apa ada seniman sekarang yang memperlihatkan cara baru menonton filem seperti itu?
Amy Fung: Banyak seniman sekarang ini bahkan tidak lagi kepikiran apa itu proyektor. Ada satu filem dalam pilihan kami, Anton Ginzburg, kamu tahu…? dia perlihatkan sendiri di filem pendeknya tiba-tiba kamu lihat proyektor, editing, kalian lihat semuanya. Seperti terbuka sendiri. Ada filem Thailand Tom and Jerry (salah satu karya kompetisi yang diputar di ARKIPEL) yang juga memakai cara yang sama. Filem itu tayang di Images, dan juga sudah tayang di ARKIPEL. Sepertinya, membuka topeng, sangat populer saat ini. Seperti yang kubilang, Ryan Trecartin, seniman Amerika, juga gelombang baru dari kesadaran [akan] layar. Tapi [itu] sudah tidak tentang proyektor lagi.
JF: Filem apa yang kamu sukai di ARKIPEL?
Amy Fung: Satu dari presentasi Bangkok Experimental Film Festival. Ada filem dokumenter tentang kerbau yang terjebak di dalam sumur dan tiba-tiba seluruh desa datang untuk menggali sumur itu. Saat kerbau keluar, rasanya sangat melegakan. Lalu beranjak menuju air. Terlihat simpel namun begitu menarik. Kita di kursi melihat apa yang sedang terjadi, begitu sederhana namun seperti kehidupan nyata bagiku. Itu yang saya suka.
JF: Apa opinimu tentang tema pokok ARKIPEL Grand Illusion?
Amy Fung: Tidak tahu…, berbeda-beda sekali, setiap orang melihat ini dengan berbeda-beda. Setelah membacanya, saat saya diundang dan diberitahu tema ini oleh Yuki [Aditya, Direktur ARKIPEL]… banyak orang yang kagum dengan Program Khusus, dan itu bagus. Itu sangat bersejarah; tapi Grand Illusion adalah kata yang datang dari sejarah Eropa, menurut saya, itu tidak menarik.
JF: Menurutmu, filem eksperimental bisa melakukan kesadaran sosial-politik untuk publik?
Amy Fung: Ya…, menurutku sinema seumumnya bisa melakukan itu. Saat dimulainya sinema eksperimental, orang sudah berhenti datang kan? Bagaimana bisa melakukan perubahan bila tidak ada yang datang? Itu yang pertama. Saya rasa, yang terjadi di sini seperti sinema politis, ini lebih sebagai periode sinema karena saya tidak mengetahui industri di sini. Saya tidak tahu apa yang populer. Mungkin sama dengan Hongkong, banyak filem laga. Tapi seperti apa filem independen di sini? Filem Tiger of Minahasa, apa itu eksperimental? Atau, seperti itulah [filem] independen di sini.
JF: Apa [sinema] independen itu menurutmu? Apa itu tentang estetik[nya] atau proyeksi[nya]?
Amy Fung: Menurutku, kedua-duanya, masing-masing saling terkait, itu juga tentang semangat, bukan? Semangat independen menceritakan kita kisah yang belum pernah didengar.
JF: Yang ini pun punya elemen independen sekaligus dokumeter.
Amy Fung: Mengapa tidak disebut satu saja; mengapa harus disebut dokumenter eksperimental independen? Kenapa tidak hanya dokumenter saja?
JF: Eksperimental di Indonesia adalah terma baru, tidak populer; ini berbeda dengan kulturnya di Eropa. Penggunaan [istilah] eksperimental di sini karena kita masih menentukan standar untuk membuat terma baru dalam sinema. Sebab tak ada kulturnya dan sejarahnya tentang itu. Malahan, terma dokumenter di Indonesia berarti harus bercerita, mengisahkan kebenaran dan harus dalam bentuk naratif seperti dalam tv. Orang-orang masih menganggapnya demikian maka itu kami harus memakai kata tersebut.
JF: Di dunia kontemporer, apa eksperimentalitas hanya terjadi pada seniman itu sendiri atau meluas juga ke publik?
Amy Fung: Menurutku, banyak orang membuat video Instagram. Hal itu lahir dengan sendirinya, tidak eksperimental. Tapi coba lihat seniman lain, pembuat filem atau siapa pun yang mungkin lebih besar untuk membuat karya eksperimental. Saya tidak bisa mengatakan apakah seniman eksperimental mengetahui itu karena masing-masingnya berbeda. Tapi saya juga tidak tahu bila komunitas pun melakukannya; komunitas bisa mendekatkan dan menolaknya tapi saya tidak yakin komunitas membuat karya eksperimental. Saya tidak betul-betul paham pertanyaannya.
Sulit bagi seseorang yang datang dari Kanada dengan latar sejarah yang berbeda membicarakan tentang ini. Menurutku, penting di tiap-tiap daerah untuk memiliki sejarahnya masing-masing. Mungkin kalian membuat sejarah sendiri untuk 30 tahun ke depan seperti [pada] eksperimental ini, [atau] apa pun itu, semuanya bisa terjadi kan?
JF: Apa Kajian Filem juga mempelajari estetika?
Amy Fung: Sejarah? Ya, kita pelajari dari awal karena sejarah filem tidak berdiri dengan sendirinya; apa yang terjadi dalam kultur, terulang. Jadi, maksudku, saya mempelajari filem dan sastra tapi kalian bisa lihat apa yang terjadi di awal tahun 1900. Di sastra, di seni… semuanya dipindahkan ke dalam filem dan tarian dan segala macam. Filem tidak pernah sendirian, semisal eksperimental filem, punya keterkaitan dengan tari dan puisi kontemporer. Ini pergerakan berbeda yang melangkah dalam saat yang sama. Jadi, mungkin Indonesia tidak memiliki sejarah filem eksperimental, [tetapi] bagaimana dengan cabang seni yang lain? Semisal, bentuk seni alternatif, apa ada tari kontemporer yang berakar dari tari tradisional Bali dan Jawa? Apa ada sesuatu dalam kesusastraan yang mandiri dan eksperimental? Semuanya berjalan dalam waktu yang sama. Filem tidak berdiri begitu saja kan? Jadi, carilah.
Wawancara dalam bahasa Inggris ini ditranskrip oleh Fiky Daulay dan diterjemahkan oleh Afrian Purnama.