In Wawancara
[tab] [tab_item title=”ID”]

Kenapa mengambil tema komedi dalam penyelenggaraan OK. Video ke-4?

Ada keyakinan bahwa memang  tema komedi zaman sekarang cocok dikeluarkan karena berkorelasi dengan kondisi sosial-politik yang sedang berlangsung di negara kita. Ada semacam upaya mencari katarsis bersama untuk tidak lagi membebani dengan tema-tema yang mengernyitkan dahi. Dalam kesadaran itu, komedi menjadi katarsis komunal dan cocok dengan kondisi sekarang. Komedi, kita pahami sebagai satu bentuk dari komunikasi bahwa di suatu negara yang dilanda krisis biasanya berlangsung pola komunikasi distortif dan semu. Jadi itu ciri-ciri negara yang dilanda krisis. Apapun komunikasi yang dilangsungkan baik oleh Pemerintah, masyarakat maupun media selalu distortif dan ini membutuhkan kedewasaan ke depannya. Implikasinya dapat kita lihat tayangan-tayangan parodi di media televisi kita. Misalnya, democrazy, itu semua parodik dan merupakan wujud dari komunikasi politik yang macet. Komedi sebagai bentuk komunikasi mencoba mengakomodir aspirasi yang sedang berlangsung saat ini. Selain itu, kita tidak menawarkan tema yang berat. Makanya, komedi menjadi beralasan untuk tampil sebagai tema dalam penyelenggaraan OK. VIDEO yang ke-4.

Ada berapa kategori yang dibagi dalam penyelenggaraan OK. Video: Comedy sekarang?

Kami membagi dalam empat kategori. Pertama, kategori absurd, yaitu video-video yang kita anggap menghadirkan sensibilitas humor yang sulit dipahami dan membutuhkan tingkat intelektualitas tertentu. Jenis ini sulit dikategorikan, sehingga kami menempatkannya dalam kategori absurd. Kategori lainnya adalah satirikal, sinikal dan kritikal. Video digunakan seniman sebagai alat kritik atau membangun suatu bahasa yang sangat sinis terhadap masyarakat dan fenomena umum yang berlaku. Dalam video yang masuk ke panitia, persentase antara dalam dan luar negeri berimbang.

Apakah komedi bersifat spesifik?

Saya memandang bahwa Komedi tidak bersifat universal. Karena ia tidak universal maka komedi menggunakan bahasa-bahasa spesifik yang lahir dari perbedaan kultur. Komedi diharapkan dapat menjembatani kesepahaman bersama, di mana komedi, pada level-level komunikasi tertentu sama tapi wujudnya saja berbeda.

Penilaian kuratorial seperti apa untuk meloloskan karya dalam festival OK. Video: Comedy ini?

Secara kuratorial, dalam penyelenggaraan OK. Video dipilih berdasarkan tipikal genre. Semisal videonya Paul Wiersbinski berjudul Ivo Burkovic. Dalam video ini, kita ditunjukkan pada betapa sinisnya seniman melihat praktik seni rupa dan pasar kapitalisme global. Video tersebut merupakan refleksi terhadap praktik kapitalisme di masyarakat pascaindustrial yang semu. Kemudian yang parodikal semisal videonya Anggun Priambodo terhadap sinetron. Kita semua benci dengan sinetron dan Anggun berhasil mewakili diri kita terhadap kebencian itu. Akhirnya kita pun dibawa untuk menertawakan sinetron. Anggun mengambil paradigma soundtrack sinetron sebagai ikon kebenaran dan diparodikan melalui videonya. Video ini membuka selubung ideologis bahwa sinetron itu tidak ada gunanya dan bodoh.

Jika dilihat dari segi tertentu, dapatkah dikatakan kalau karya-karya Ok. Video: Comedy ini sebagai praktik seni pascamoderen?

Saya kira, ya. Video sebagai suatu pos medium sebenarnya berisfat imaterial. Dalam pemahaman moderen, artefak itu penting. Lukisan itu harus bisa diraba secara fisik. Namun, dalam pemahaman pascamoderen hal ini tidak berlaku, sebab dalam pemahaman ini, video bersifat imaterial. Video sebagai subversi atas lukisan, yang dapat dihapus kapan saja dengan bebasnya. Dan di sini, karya-karya video seniman mencoba untuk keluar dari bingkai moderen bahwa video tidak menjadi makna tunggal dan dapat dibagi-bagi maknanya. Seni video sebagai perlawanan terhadap budaya media adalah satu variabel.  Secara kritis, Kehadiran video di Indonesia sebenarnya pola pencangkokan dari apa yang terjadi di Barat. Jadi keinginan untuk memperkaya khazanah kita terhadap video, sangat bergantung pada Barat. Karena di Barat begitu maka kita juga harus begitu, seakan-akan kita mengandaikan bahwa apa yang berkembang di Amerika itu juga harus berkembang di Indonesia. Jika di sana menggunakan video maka kita juga di sini harus menggunakannya. Banyak orang bingung menempatkan posisi video dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia karena secara historis kita tidak punya tradisi painting on canvas.

Lalu pesan yang ingin disampaikan melalu OK. Video menurut Anda sudah sampai ke ke masyarakat luas?

Saya kira intensi OK. Video: Comedy tidak menawarkan suatu perubahan. Selama ini, menurut saya, video hadir lebih kepada persoalan meletakkan fondasi agar kehadirannya bisa masuk akal. Lukisan sudah mendapatkan raison d’etre-nya di Indonesia dengan kehadiran Sudjojono yang melihat seni lukis sebagai alat yang berhubungan dengan ideologi nasionalisme. Video, di lain sisi, masih perlu mencari alasan keberadaan itu. Bahkan untuk menjelaskan dirinya sendiri, video masih bermasalah dengan mempertautkan perkembangan seni rupa Indonesia secara umum. Padahal itu juga masih seperti dua gerbong yang saling menyusul.  Di satu sisi video merasa paling kontemporer, ketimbang lukisan, di sisi lain lukisan merayakan kemenangannya dalam soal konsumsi publik. Lukisan lebih dikenal publik ketimbang video. Saya kira, kita paling gampang memposisikan video sebagai oposisi biner dari seni lukis.

Apa yang menarik menjadi kurator dalam OK. Video: Comedy?

Buat saya menjadi kurator OK. Video Comedy adalah gagasan dasar dari tema ini. Itu yang pertama. Yang kedua lebih personal artinya ingin lebih menjawab keingintahuan saya untuk lebih mengenali medium ini dan itu akan secara reflektif membangun dan menantang pemikiran saya. Festival ini saya anggap pintu masuk secara personal untuk memahami jantungnya. Saya pikir, tema ini juga merupakan pertama kalinya diselenggarakan di negara kita.

Iklim demokrasi di negara kita mendukung kebebasan ini. Bisakah dikatakan demikian, bahwa ruang penyelenggaraan ini dapat tercipta karena dukungan iklim demokrasi?

Sebenarnya negara belum total mengurusi seni rupa. Pemerintah tidak pernah menjadikan seni rupa sebagai agenda dalam politik identitas. Ironisnya, pemerintah melakukan politik identitas di Kementerian olahraga yang didukung habis-habisan. Sebenarnya bukan kemenangan yang dituju, melainkan identitas atau harga diri bangsa. Padahal seni sama saja sebagai agenda politik identitas. Saya jadi berpikir, jangan-jangan pemerintah tidak tahu signifikansi seni sebagai politik identitas. Saya berpikir kita perlu sabar. Saya maksud begini, pemerintahan SBY sekarang memiliki agenda nation character building. Agenda lain setelah ekonomi. Mungkin setelah masalah-masalah basis struktur (ekonomi) dibenahi baru setelah itu kita bisa membangun suprastruktur termasuk seni. Tapi perjalanan menuju arah itu masih sangat panjang dan kita harus sabar. Jadi bukan berarti kita harus cengeng dengan keadaan ini. Pemerintah juga tidak mau mengatur pajak penjualan seni lukis dan diserahkan ke pasar. Jika diatur oleh negara akan lebih sulit. Sebab, jika pemerintah sudah mengambil-alih wilayah kesenian dan kebudayaan, kreativitas seniman pun akan terancam.

Bagaimana Anda melihat kondisi seni visual di negara kita?

Seni rupa di negara kita berkembang secara organik. Dahulu seni rupa berkembang secara top-down, diatur oleh negara dan diimplementasikan oleh seniman. Tetapi saat ini berkembang secara buttom-up, di mana seni rupa berkembang secara organik –baik wacananya, pelakunya, praktiknya, ekshibisinya dan apresiasinya. Menurut saya biarkan berkembang seperti ini. Ke depan, pemerintah bisa melihat arah perkembangan organik ini dan akhirnya hanya tinggal menggunakan saja sebagai instrumen politik identitas. Kita contohkan di Cina, di mana bersifat sangat top-down. Pemerintah berinisiatif membangun museum, rakyat menolak karena membutuhkan lapangan kerja, tapi pemerintah mengatakan rakyat Cina bisa memiliki lapangan kerja sekaligus bangga terhadap negara.

Dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara, bagaimana posisi Indonesia dalam soal penyelenggaran festival semacam ini?

Indonesia bisa dikatakan lebih maju. Kita jauh lebih beruntung.  Kita termasuk yang paling unggul di kawasan Asia Tenggara baik dari segi wacana, seniman, tema ekshibisi dan tingkat apresiasinya. Di kawasan ini, kita bisa dibilang sangat berwibawa di kancah seni rupa.


[/tab_item] [tab_item title=”EN”]

Aminuddin TH Siregar: We Excel Other Countries in Southeast Asia

Why do you pick the theme ‘Comedy’ for the fourth OK. Video?

We believe the theme comedy correlates to the socio-political state our country is now in. It’s an attempt to look for collective ways of catharsis, not to burden ourselves with difficult themes. In that regard, comedy becomes a communal catharsis while at the same time suits our current condition. We understand comedy as a mode of communication. In a distressed country there tend to be a distortive and illusive pattern of communication. Such is the characteristic of a country in crisis. Whatever communication form conveyed by the government, society, or media, it always seems distortive. In the future, this obliges our mature judgment. We can see from our parody television shows. Democrazy, for instance, is a parody and a manifestation of obstruct political communication. Comedy as a form of communication tries to accommodate the on-going aspiration. Besides, it does not imply anything too hefty. That is pretty much why comedy has its reason to be the theme of this year’s OK. Video.

How many categories are there in this year’s OK. Video?

We classify videos into four categories. First category, the absurd, is the works that present a difficult sensibility of humor and requires certain level of intellectuality to comprehend. This kind of work is hard to classify, so we put them under the absurd category. Other categories are satirical, cynical, and critical. Video is often used as a way to criticize or to develop a very cynical language towards society and other common, general occurrence. In the amount of works submitted, the percentage between local and international participants are equal.

Is comedy specific?

I see comedy as non-universal. Because it’s not universal, comedy contains specific languages born out of cultural differences. Comedy is expected to bridge unison, where comedy—in certain levels of communication—remains the same even when it takes different form.

 How do you curate which works to exhibit in OK. Video?

In curatorial manner, videos are selected based on typical genres. For example, the video of Paul Wiersbinski, Ivo Burokvic. In this video, we see how cynical an artist can be in bearing the capitalistic practices of fine arts and the global market. The video is a reflection upon capitalistic practices in a postindustrial society. Then there is also parody, such as Anggun Priambodo’s video on sinetron (soap opera). We all hate sinetron and Anggun ably represents all of us with regard to that hatred. In the end we are led to laugh at it. Anggun took the paradigm of sinetron soundtrack as an icon of truth and parodies it through his work. His video uncovers ideological veil that sinetron is useless and foolish.

From a certain angle, can we categorize the works in OK. Video as postmodern?

I think, yes. Video as a medium is actually immaterial. In a modern understanding, artifact is necessary. A painting has to be physically perceivable. In postmodern understanding, however, this does not apply since video is immaterial. Video is a subversion of painting, erasable at any point without restraint. Here we see the artists’ attempt to surpass the modern thinking that video is not solitary in meaning and has divisible meaning. Video art as resistance to media culture is one variable. Critically speaking, the presence of video in Indonesia is in fact assimilation to what happened in the Western world. So the will to enrich our video-making vocabulary is highly dependant to the West. If it’s happening in the West world, then we have to make it here, too, as well—as if we truly think what progresses in the Western should also progress in this country. If Western people utilize video, then we should, too. A lot of people are confused of how to position the video in the development of Indonesian fine arts since, historically, we never really own a tradition of painting on canvas.

Then, do you think the messages that OK. Video is trying to convey has reached the society?

I should think that OK. Video’s intention is not to offer change. I think, up till now, video’s presence is more to build a foundation for its being to make sense. Painting has its raison d’etre in Indonesia when Sudjojono observes that painting has a connection as a tool to the ideology of nationalism. Video, on the other hand, still searches for such kind of reason for being. Even in describing itself, video still has to map its position in the development of Indonesian fine arts. It’s like two cars of a train chasing one after the other. In one hand, video is the most contemporary medium compared to painting. While on the other hand, painting receives more public consumption. Painting receives more recognition among public than the video. I think it’s easier to look at video as binary opposition to painting.

What are the interests in curating OK. Video Comedy?

What interests me in curating OK. Video Comedy is the ground theme. That is one. The second is more personal in terms of satisfying my own curiosity to understand this medium better and hope that it reflectively constructs and challenges my way of thinking. I consider this festival as an entrance to personally comprehend the core. I also think that it’s the first time ever the theme is carried out in our country.

The democratic environment in our country allows such freedom. Is it fair to say, that the event is made possible with the support of our democratic surroundings?

As a matter of fact, the state has yet to fully take care of fine arts. Government has never thought of fine arts as an agenda in the politics of identity. Ironically, the government conducts practices of politics of identity in the Ministry of Youth and Sports—and they support them all the way, too. It’s not about winning, but to achieve identity, to gain respect. Art can actually be treated the same way. I think we need to be patient. I mean, SBY’s administration has this agenda in nation character building. Other agenda to follow after the country’s economy. Maybe after basic, structural economy problems are addressed, we can start to build superstructures, including the arts. But it’s a long way and we need to be patient. That doesn’t mean we can whine. Government doesn’t want to regulate painting surtaxes and bestow them to the market, anyway. It’ll be far more complicated when it’s government-regulated. After all, if government takes over the arts and culture, artists’ creativity may well be threatened.

How do you observe the visual arts in our country?

Fine arts in our country develop in an organic way. It used to be a top-down development, regulated by the government and then implemented by the artist. It is now bottom-up, in an organic way—its expression, performer, practice, exhibition and appreciation. I think we should let it be. In time, government will see where this development takes us and will decidedly utilize it as an instrument in the politics of identity. Take China as an example, where everything is top-down. The government initiated to build a museum, its people refused because what they needed is fields of work. The government then proclaimed that they can have fields of work while at the same time be proud of its nation.

Compared to other Southeast Asian countries, how is Indonesia looking in the map, in terms of organizing such kind of festival?

Indonesia is fairly better. We are far luckier. We are one of the most excelled in Southeast Asia in terms of expression, artist, exhibition theme, and level of appreciation. Within the Southeast Asia region, it is fair to say we are dignified in the field of fine arts.

Translated into english by Efiya Nur Fadila 

[/tab_item] [/tab]
Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search