In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

Pada sebuah adegan, seorang pemuda, duduk di sebuah ruangan. Kamera pada posisi standar, membingkai dalam posisi setengah badan. Nampak latar dengan pemandangan kesibukan di tepi jalan dengan kilasan kesibukan kendaraan bermotor yang sedang melintas. Pandangan sosok itu tepat pada pandangan penonton. Kamera statis. Sosok itu diam. Ia melintasi kota dalam tatapan diam ke penonton.

Pemuda itu bernama Alam. Suara latar keluar mengikuti gambar sepanjang video ini—sebuah percakapan dengan sosok itu. Ekspresi sosok dalam percakapan itu tetap diam. Kontradiksi antara visual dan suara ini menghasilkan sebuah kolase antara bahasa visual dan suara. Visual pada adegan ini, menempatkan sang tokoh pada perlakuan yang memiliki tendensi bentuk (form) yang sangat terukur. Hal ini dapat dilihat pada teknik ambilan kamera yang diam dan stabil (still). Tentu ini merupakan salah satu cara untuk memaksimalkan bingkaian terhadap subjek dan ruang yang direkam. Tendensi ini dipertegas oleh eskpresi bisu sang pemuda. Ia hanya duduk di kendaraan dengan tatapan sejajar dengan lensa kamera, yang menghasilkan hubungan vis-à-vis (berhadapan) dengan penonton.

alamsyuhada

Bahasa visual dengan tendensi ini memang hanya bisa dimungkinkan oleh gaya seni video dan filem eksperimental. Video Hafiz yang berjudul Alam: Syuhada (2005) ini menggunakan tradisi bahasa visual—yang dimaksud di sini yaitu tradisi seni rupa—dengan penuh kesadaran menjaga komposisi, garis, tekstur serta elemen-elemen seni rupa lainnya tetap “baik” tampilannya. Hal ini juga berlaku ketika si seniman mengkolasekan dialog seseorang dengan Alam yang memperbincangankan tentang keseharian sang tokoh sebagai masyarakat kota.

Alam: Syuhada merupakan video yang bukan saja menarasikan keseharian kota, tetapi juga tentang bagaimana sebuah keseharian kota dinarasikan dalam bahasa audio visual. Hafiz menggabungakan perbincangan Alam yang sangat cair tentang refleksi kehidupan sehari-hari di kota sebagai suara latar utama. Suara yang dominan ini dihadirkan dengan visual adegan Alam yang duduk dikendaraan melintasi sebuah jalanan di kota.

Alam: Syuhada mengambil subjek dari kalangan masyarakat bawah. Video ini berangkat dari perspektif sejarah sehari-hari kota, dengan cara mengambil tokoh ‘anonim’ bernama Alam. Semangat ini bisa dianggap sebagai konstruksi sejarah kota yang berasal dari entitas pinggiran—yang selama ini tidak banyak diangkat untuk menarasikan kota. Hafiz menggunakan tema keseharian dalam perbincangan, seperti; pergaulan teman sebaya dalam mengkonsumsi minuman keras, refleksi pengalaman menjalin hubungan dengan kekasih, dinamika rumah, hubungan orang tua, pekerjaan, dan lain sebagainya. Semua mengalir dalam tata bahasa dan kosa kata keseharian khas Jakarta. Tokoh Alam menyebut ibu dengan nyokap, minuman keras dengan kata pletok. Dialog dalam video ini cukup membawa semangat keberpihakan terhadap representasi subjek-subjek yang berasal dari masyarakat pinggiran. Hal ini merupakan bagian penting dari narasi tentang kota Jakarta.

Gaya Menonton Horizontal
Telah banyak ditulis dalam sejarah representasi visual dan seni media, bahwa kehadiran teknologi video menjadi salah satu medium pembuka pada peluang terhadap perspektif estetika dari bidang medium di luarnya. Medium video pun berkelindan dengan elemen-elemen estetika pada medium seni lainnya. Pada karya video Alam: Syuhada, pengaruh seni performans (performance art) sangat jelas tampak; pada adegan sang tokoh, Alam, duduk di kendaran yang bergerak dengan ambilan kamera secara statis, “meghadirkan” Alam dengan maksimal kepada penonton. Hal ini merepresentasikan kehadiran Alam semacam tablo sosial—yang bisa diandaikan sebagai semangat berkarya yang sudah tidak lagi berorientasi pada moving image semata, namun terjadi penegasan pada kode-kode representasi.

Roland Barthes mengatakan persoalan filemis tidak lagi hanya dilihat sebagai gerak imaji semata1. Tapi interaksi filem dengan penonton, juga persoalan yang sangat penting. Bagi Barthes, kenikmatan menonton filem bukan lagi menyaksikan bagaimana ia sedang diputar, namun bagaimana penonton dapat melihatnya dalam satuan fragmen-fragmennya—yang merupakan artefak utama pada sebuah karya filem itu. Filem bukan lagi hanya kumpulan sekuen-sekuen moving image yang menuntut makna secara sintagmatik atau hubungan secara vertikal dengan penonton, tapi secara horisontal seperti bagaimana menikmati karya seni fotografi sebagai satuan objek visual. Dalam hal ini sebuah karya audiovisual (video, filem) tidak lagi dimaknai sebagai narasi cerita dalam moving image, apalagi membacanya dalam kerangka berpikir ‘durasi’ (awal dan akhir).

Pada dasarnya semua filem dan video bisa dibaca dalam gaya menonton horizontal ala Barthes ini. Pada Alam: Syuhada, dengan kekuatan pembingkaian gambar yang bergerak melintasi jalanan kota, penonton tidak perlu melakukan pause (penghentian sementara dalam pemutar video) untuk mengambil satu frame dalam sebuah fragmen, kemudian dibaca kode-kode representasinya, seperti apa yang disarankan oleh Roland Barthes. Fitrah durasi dari video ini terletak pada rekaman perbincangan tokoh Alam tentang refleksi hidup sehari-harinya di Jakarta.

Pikiran membaca filem secara horizontal Barthes ini mencabut filem dari harkat fitri dan naturalnya. Karena filem bukan lagi sebagai moving image yang menarasikan cerita dan drama dalam tradisi sinema, tapi kode-kode visual yang terjabarkan secara frame by frame. Dalam hal ini satuan representasi yang berada dalam fragmen itu kita pilih dan dimaknainya. Pada Alam: Syuhada, realitas atau kenyataan dihadirkan dalam representasi satu fragmen. Video ini membuang kaidah “acting” ataupun dramatik sebagai struktur dalam membangun kesinambungan cerita. Kehadiran sang tokoh ditempatkan pada posisi yang direkayasa ke dalam perspektif bentuk, diam menghadap penonton, secara jelas ini dilakukan untuk kebutuhan representasi subjektif yang dibangun oleh si pembuat video.

Video Alam: Syuhada adalah video dokumenter dengan semangat representasi atau konotasi. Dalam perspektif dokumenter, pendekatan konotatif adalah hal tidak cukup lazim di Indonesia. Eksperimentasi ini tentu saja tidak dengan sendirinya hadir. Sangat jelas terlihat, Hafiz sadar betul bahasa audiovisual dengan kecenderungan arah representasi di dalamnya. Pada karya-karya dokumenter di Indonesia—yang selama ini cukup banyak hadir dihadirkan di televisi dan festival-festival di tingkat nasional—adalah melulu menonjolkan segi-segi ‘keaslian’ atau denotasi sebagai semangat representasinya. Padahal apa bila kita membaca kembali lagi pada pandangan Barthes tentang representasi itu; ambilan dokumentatif pada semangat ‘keaslian’ itu sesungguhnya juga mengandung nilai representasi yang tak mungkin “sebagai keaslian yang utuh”. Karena ada ruang subjek melihat yang mempunyai kekuatan sendiri dalam menginterpretasi dari pandangan atau visual yang terlihat.

pfvfl5

Parade Filem Video Forum Lenteng I, GoetheHaus Jakarta, 18 April 2006.

Tokoh Alam tergambar sebagai subjek yang berasal dari masyarakat kalangan bawah kota Jakarta. Ini dapat dilihat dari karakter wajah, tatapan yang sedikit kaku, sikap, wajah, cara berpakaian, dan cara ia memperbincangkan pengalaman sehari-harinya. Alam bukanlah aktor. Ia memang berasal dari subjek yang menjadi cerita dari video ini. Ia menceritakan pergaulan mengkonsumsi minuman keras, hubungan asmara, mimpi normatif menjadi orang kaya, pengalaman keluarganya dan cita-cita. Pada video ini, suara tokoh Alam juga dapat didengar ada hubungan sintagmatik pada kalimat yang ia gunakan, seperti cara tokoh ini bicara tentang cita-cita hidupnya yang ingin menjadi seorang ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) untuk bisa mati demi bela negara. Kemudian ada perbincangan cara ia mencari nafkah sampingan dengan bermain judi lotre (togel), yang hasilnya dibelikan pakaian untuk keluarga. Secara umum pernyataan-pernyataan itu memberikan gambaran struktur berpikir dalam daya keberlangsungan hidup, dan pola konsumsi dari kalangan masyarakat bawah. Semua kelengkapan informasi ini oleh Barthes adalah lapisan informasional—segala sesuatu yang bisa kita kenali dari segala hal yang berhubungan dengan tempat kejadian, kostum, karakter, hubungan antar pelaku, anekdot-anekdot—yang merupakan tingkat informasi sebuah karya dokumenter yang dalam semiotika disebut juga semiotika tingkat pertama. Pada tingkat inilah biasanya karya dokumenter bermain, dan para penonton pun biasanya juga sudah cukup terpuaskan ketika merasa mendapatkan informasi.

Namun, kekuatan Alam: Syuhada bukan terletak pada kekuatan informatif yang banyak terjadi dalam arus utama para pembuat dokumenter selama ini. Kode-kode visual justru menjadi kekuatan sebenarnya dan jauh lebih kaya. Sebuah karya tidak mengalami kebekuan makna dan diam. Penempatan tokoh Alam pada video ini justru tidak diletakkan pada kerangka kepastian makna atau ambilan dokumentatif. Seperti hadirnya Alam yang duduk diam di latar jalanan yang bergerak terus menerus, adalah ungkapan-ungkapan konotatif yang mengundang multitafsir pada siratan semiotik yang terkandung video ini.

Pada video yang berdurasi 9 menit ini, secara estetik, si pembuat video memisahkan antara ekspresi wajah dan dialog. Keduanya ditampilkan secara tidak natural dan tidak sejajar. Pemisahan ini memiliki dampak yang cukup signifikan yaitu penampilan tablo-tablo sosial dari ekspresi tokoh Alam. Selain itu Alam: Syuhada berusaha mendobrak naturalisasi atau semangat ‘keaslian’ sebuah representasi. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana penuturan sang tokoh dihadirkan tidak untuk kepastian makna atau hanya informasi. Tapi justru sebaliknya. Beberapa pernyataan yang sifatnya informatif ditempatkan pada konteks dan latar yang selalu berbeda, yang tentu ini menghasilkan multitafsir.

Tokoh Alam secara jelas dengan sengaja diperlakukan oleh Hafiz melalui pendekatan “denaturalisasi” untuk mencapai kode-kode multitafsir. Hal ini tentu jelas suatu taktik keberpihakan kepada penonton karena fitrahnya yang plural (multitafsir). Barthes menyebutnya lapisan ketiga semiotika simbolis, yaitu ruang membaca atau menonton di wilayah-wilayah yang memiliki makna tumpul (obvious meaning) yang merupakan kebalikan dari simbol-simbol yang natural. Pada titik inilah penonton mampu merepresentasikan dirinya secara jelas dalam alam pikir manusia atau obvious meaning. Ekspresi wajah pada Alam: Syuhada yang menghadap kamera adalah salah satu di antara lapisan simbol yang memiliki makna tumpul. Selain itu, ia melepaskan konteks primordial tokoh dari ruang naturalnya. Sehingga ekspresi wajah bisa ditafsirkan sebagai wilayah makna yang ‘terlalu berlimpah’ karena nilai informasinya yang kabur, yang mungkin remeh-temeh atau malah sebaliknya. Karena ekpresi wajah tokoh pada video ini bisa dianggap sebagai simbol yang tidak lagi natural atau tidak mengandung kepastian makna (obvious meaning). Namun keberpihakan pada penonton memang hanya dimungkinkan melalui sebuah simbol-simbol yang memiliki makna yang tumpul. Wilayah lapisan simbolisme ketiga pada Alam: Syuhada sangat dimungkinkan diperluas oleh penonton.

Gaya menonton ala Roland Barthes adalah perkembangan semangat tafsir yang berpihak pada penonton dari sebelumnya otoritas makna “dikuasai” oleh sutradara atau pengarang. Dalam kerangka postmodernisme, artefak seni selain dipandang sebagai sebuah dokumen sosial, juga dilihat sebagai karya yang tidak menciptakan jarak yang lebar dengan para audiensnya. Tidak cukup tentunya hanya sekedar teori tafsir yang berpihak pada audiens. Perlu juga menghadirkan si pembuat atau si pengarang. Karena karya seni pada dasarnya mempunyai kecendrungan ‘kepengarangan’ secara identik. Sehingga yang dibutuhkan juga adalah karya yang berpihak pada para audiens. Video Alam: Syuhada mungkin merupakan satu di antara usaha itu.

IMG_2366

Salah satu display dalam pameran Videobase (Forum Lenteng) di mana hafiz sebagai artistik pameran, Bentara Budaya Jakarta, 2009.

Sebuah Sejarah Horizontal
Melihat lebih dalam Alam: Syuhada, video ini bisa dibaca dalam tanda-tanda dengan muatan kesejarahan dan kultural untuk menarasikan persoalan sosial yang hendak dibangun. Bangunan itu berupa narasi tentang kota Jakarta yang ditandai oleh kalangan masyarakat bawah. Bangunan sejarahnya diambil dari ada tokoh anonim; Alam—yang cukup transformatif—tidak dengan menjadikannya sebagai rangkaian peristiwa biografis tokoh (pahlawan), tapi rangkaian peristiwa yang dibangun berdasarkan respon dan pengalaman dari masyarakat (yang diwakili oleh Alam). Menurut Bambang Purwanto, dari sejarah yang dituliskan tentang Jakarta, sangat sulit menemukan sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama tentang kemiskinan dan kekumuhan di masyarakat kebanyakan. Padahal itu adalah salah satu identitas kota ini selama berabad-abad sampai saat ini.2 Hal ini ada banyak terangkum dalam medium seni, seperti sastra, fotografi, filem dan lainnya. Tidak seperti sejarah narasi besar yang vertical sifatnya, karya seni yang merekam sejarah banya berangkat dari ruang lingkup kecil yang sifatnya horizontal—merupakan refleksi dari perspektif individu yang mengalami berbagai peristiwa3.

Alam: Syuhada dapat dibaca sebagai sebuah dokumen sejarah sosial yang merupakan penggalan narasi dari perspektif korban. Peristiwa sosial, ekonomi, politik, agama dan budaya diungkapkan dengan cara keseharian yang lugas. Pada konteks ini, kamera bukan lagi sebagai pantulan dari realitas, sebagai jendela yang membuka keluar untuk melihat dunia seperti yang yang dikatakan Jean Rouch. Perspektif kamera sebagai ‘membuka jendela dunia’, menggambarkan tidak adanya batas antara imajinasi dan realitas—dalam hal ini dapat dilihat pada dialog tokoh Alam. Sangat tergambar menyatunya antara harapan sang tokoh sebagai seorang pemuda Jakarta, dengan kegelisahannya pada lingkungan sosial budaya yang tidak mampu ia akses.

Kode-kode visual yang termuat pada Alam: Syuhada adalah kode-kode visual yang merayakan pluralisme narasi melalui sang tokoh yang anonim. Pengaruh seni video, video performans, dan filem dalam bingkai estetikanya, perlu mendapat apresiasi pada karya yang diproduksi pada tahun 2005 ini.

100_3309

Hafiz sebagai kurator dalam Projek JEDA (Fotografi Forum Lenteng, 2005-2006), dalam diskusi dengan peserta.


1 Which is why to a certain extent (the extent of our theoretical fumblings) the filmic, very paradoxically, cannot be grasped in the film ‘in situation’, ‘in movement’, ‘in its natural state’, but only in that major artifact, the still (Roland Barthes, 1977:5).
2 Bambang Purwanto, Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta, dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008:248.
3 Henk Sculte Nordholt dan Fridus Steijlen, Don’t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di Indonesia pada Abad ke-21, ibid, hal.377


Tentang Alam: Syuhada
Video Alam: Syuhada adalah salah satu seri profil yang dibuat oleh Hafiz sejak 2005. Video ini cukup mendapat perhatian dari Dewan Juri Festival Film Indonesia karena “ketidakbiasaan” bahasa filem yang digunakan. Alam: Syuhada mendapatkan penghargaan Special Jury Award Festival Film Indonesia 2005. Pada tahun 2006, karya Hafiz ini terpilih untuk mengikuti International Competition The 52th International Short Film Festival Oberhausen, Jerman. Video ini juga diputar di International Short Film Festival Tampere, Finlandia. Selain diputar di festival-festival internasional, Alam: Syuhada juga diputar di berbagai presentasi khusus di pameran dan festival filem nasional.

Tentang Hafiz
Hafiz menempuh pendidikan di Jurusan Seni Murni Institut Kesenian Jakarta 1990-1994. Minat besarnya pada filem dan audiovisual sudah tumbuh sejak masa-masa kuliah. Pada tahun 1990an, bersama beberapa kawan kuliah, ia sering hadir di berbagai pemutaran filem di pusat-pusat kebudayaan asing di Jakarta yang menjadi salah satu akses utama untuk mendapatkan filem dan tontonan berkualitas di luar ruang pertunjukan yang dikuasai sinema Hollywood waktu itu. Seniman ini cukup aktif berpameran sebagai perupa di berbagai tempat di Indonesia dan internasional. Ia juga sempat bekerja sebagai desainer grafis di beberapa biro desain dan majalah. Pada tahun 2000, bersama enam orang seniman muda Jakarta, ia mendirikan ruangrupa (www.ruangrupa.org)—sebuah organisasi nirlaba yang mengembangkan studi visual urban, seni media dan kontemporer—yang menjadi salah satu organisasi seni rupa kontemporer yang cukup berpengaruh di Indonesia, regional dan internasional. Hafiz adalah salah seorarang inisiator OK. Video – Jakarta International Video Festival pada 2003 (www.okvideofestival.org) yang diselenggarakan oleh Ruangrupa. Sejak 2005, ia menjadi Direktur Artistik festival video terbesar di Asia Tenggara ini.

Pada tahun 2003, bersama seniman, periset seni, dan mahasiswa komunikasi, ia mendirikan Forum Lenteng (www.forumlenteng.org)—forum studi fenomena audiovisual dalam masyarakat—dan duduk sebagai ketua dari organisasi yang juga melakukan pemberdayaan media di komunitas-komunitas di berbagai daerah ini (www.akumassa.org). Ia adalah salah satu sutradara yang cukup aktif memproduksi dokumenter-dokumenter eksperimental secara independen. Pada tahun  2004-2006, ia berkolaborasi dengan Diego Gutierrez (Meksiko) dan Kees Hin (Belanda) dalam dua proyek dokumenter feature yang menghasilkan The Valley of The Dog Songs (90 menit, 2005) dan The Carriage (120 menit, 2006). Pada tahun 2008, ia merupakan salah satu inisiator Proyek Payung—sebuah kerja kolaborasi 10 seniman video dan sutradara muda Indonesia mengenang 10 Tahun Reformasi 1998—yang memproduksi Proyek Kompilasi Filem Pendek “9808”. Selain aktif sebagai seniman, Hafiz juga menjadi kurator independen di berbagai pameran dan projek seni di Indonesia dan internasional. Pada tahun 2009, ia mendapatkan fellowship untuk kurator muda dari Japan Foundation pada Jenesys Program untuk melakukan riset tentang lembaga-lembaga seni rupa di Jepang. Seniman ini adalah salah satu dari sedikit seniman media kita yang aktif mempromosikan tentang praktik seni media di berbagai daerah dan mempresentasikan fenomena perkembangan seni media Indonesia di berbagai forum-forum internasional. Saat ini ia menjadi Pimpinan Redaksi www.jurnalfootage.net.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”]

Alam: A Martyr, Fragments and Horizontal History

In a scene, a young man is sitting in a room. Camera is in standard position, framing the position of his upper body. A background of a busy street with vehicles passing by is captured. The figure stares directly to the audience. Static shot. He is silent. He crosses the city looking in silence into the audience.

The young man is Alam. Backsound is heard in line with captured images throughout the video—a conversation with the figure. The character remains in silent expression. The contradiction between the visual and the audio creates a collage in the audiovisual language. The visual in the scene places the figure in a measurable tendency of form. This can be seen from its still and stable shooting technique. This, of course, is one way to maximize the framing of space and subject recorded. This tendency is reinforced by the young man’s silent expression. He just sits in a vehicle with a leveled stare towards the camera lens, which produces vis-à-vis relationship with the audience.

alamsyuhada

Visual language with such kind of tendency is possible only in the style of video art and experimental film. Hafiz’s video, titled Alam: A Martyr (2005) uses visual language tradition—i.e. fine arts tradition—with full awareness of keeping the composition, line, texture and other art elements in a “pleasant” manner. This also applies when the video artist combines Alam’s dialogue in which he talks about his everyday life as a part of an urban community.

Alam: A Martyr is a video that does not only tell urban everyday life, but also how urban life is narrated in audiovisual language. Hafiz combines Alam’s highly fluid and reflective conversation about everyday urban life as the principal background. This predominant voice is presented with a visual scene of Alam sitting inside a vehicle going through the city streets.

Alam: A Martyr took its subject from lower class society. The video departed from a historical point of view of urban daily life, as told by an “anonymous” figure called Alam. This spirit may well be regarded as a construction of a city’s history derived from a marginal entity—a perspective previously not much used to narrate the city. Hafiz uses everyday themes in the conversation, such as peer-group pattern of alcohol consumption, reflections upon love life, household dynamics, family relations, work-related issues, etc. Everything threads in the everyday vocabulary and grammar distinctly Jakartan. Alam uses the word nyokap in reference to mother and pletok to liquor. The dialogue in this video sufficiently carries a zeal of partisanship on the representation of marginal subjects. This partisanship is an important part of a narrative on the city of Jakarta.

Horizontal Style of Viewing

It has been much written in the history of visual representation and media arts that the advent of video technology is one of the media that gave way to the aesthetical perspective of other media outside itself. Video medium binds with aesthetic elements in other art media. In Alam: A Martyr, the influence of performance art is prominent during the scene where Alam is seen sitting in a moving vehicle through a static shot, maximally “presenting” Alam to the audience. This scene represents Alam as a social occurrence—which may be regarded as an enthusiasm to present works beyond moving image, but rather towards the emphasis of representational codes.

Roland Barthes remarked that filmic issues are no longer perceived merely as moving images.1 Interaction between the film and the audience is as important an issue. For Barthes, the pleasure of movie-watching no longer lies in how it is played, but how audience can view it in units of fragment—which are the main artifact of a film. Film is not just a sequence of moving images that requires syntactical understanding or a vertical relationship with the audience, but may also be viewed horizontally as one would enjoy a photography artwork as a set of visual objects. In this case, audiovisual work (video, film) is no longer understood as a narrative story in moving images, let alone be read in the context of ‘duration’ (of possessing a beginning and an end).

Basically all films and videos may be read in Barthes’ horizontal style of viewing. In watching Alam: A Martyr—with its powerful framing of moving images across city streets—the audience does not need to pause (temporary cessation in video player) to take one frame in the fragment and read the representational codes, as suggested by Roland Barthes. The durational essence of this video lies in Alam’s conversations on the reflection of his daily life in Jakarta.

Barthes’ proposition of horizontal film reading uprooted film from its fundamental and natural essence, because film is not just moving images narrating a story and drama in cinema tradition, but also visual codes that span frame by frame. In this sense, we choose representational unit within the fragments and put meaning in it. In Alam: A Martyr, reality is presented in the representation of one fragment. This video discards the rules of “acting” or dramatics as structure in building the sustainability of a story. The figure is placed in an engineered position in perspective of form, sitting still facing the audience—this is done clearly for subjective representation that needs to be constructed by the creator of the video.

Alam: A Martyr is a documentary video that carries a spirit of representation or connotation. In documentary perspective, connotative approach is not quite the normal norm in Indonesia. Such experimentation of course does not emerge by itself. It can be seen clearly that Hafiz is fully aware of representational tendency in audiovisual language. Indonesian documentary works—frequently presented in television and national festivals—mostly highlight aspects of ‘authenticity’ or denotation in their representations. Meanwhile, if we refer to Barthes’ view, documentary portrayal that carries the spirit of “authenticity” in fact contains representational value that impossibly reflects “ultimate authenticity”, as viewing subjects posses their own subjective space in interpreting the points of view or visuals presented.

pfvfl5

Parade Filem Video Forum Lenteng I, GoetheHaus Jakarta, 18 April 2006.

Alam is described as a subject from Jakarta’s grass-roots level. This is perceivable from the character’s facial feature, his rather frozen gaze, attitude, face, the way he dresses and how he discusses his everyday experience. Alam is not an actor. He authentically comes from a subject that is the story in this video. He shares his experience in alcohol consumption, romance, normative dreams of becoming rich, family experiences and his goals. In the video, Alam’s voice syntactically relates with the sentences he uses, such as the way he speaks about his dream of becoming a member of ABRI (Indonesian Armed Forces) who’s willing to die to defend the country. There is also a conversation that describes his way of finding extra income by buying lotteries, with which winnings he buys clothes for his family. Generally, his remarks give a mind structure of survival and consumption patterns among the less fortunate. According to Barthes, such detailed information lies in informational layer—every bit of information we can identify from all matters pertaining to location, costume, character, interrelations among people involved, anecdote—which is the informational level in a documentary work also known as the first layer in semiotics. Most documentaries revolve around this level, whereby the audience are generally satisfied from obtaining the information given.

However, the strength of Alam: A Martyr lies not in its informative value, as is the case with most mainstream documentaries nowadays. Visual codes are in fact the real strength and much richer in essence. An artwork should not be congested in meaning and remain silent. Alam’s presence in this video is not placed within a rigidity of meaning or documentary undertaking. The image of Alam sitting silently before a constantly moving background is a connotative expression that allows multiple interpretations within the video’s semiotic sense.

In this nine-minute video, the videomaker aesthetically dissociate facial expression and dialogue. Each is featured unnaturally and incongruently. This separation has a significant impact, in which it creates social tableau of Alam’s expression. Alam: A Martyr also tried to make a leap from naturalization or ‘authenticity’ of representation. We can see how the narrative of the figure is presented not for a certainty of meaning or mere information. Quite the contrary, several informative statements are placed in an ever-changing context and background, which of course gives room for multiple interpretations.

Hafiz clearly, intentionally “de-naturalized” Alam to gain multiple interpretational codes. This approach is certainly a tactical alignment towards the audience because of its pluralistic nature (multiple interpretations). Barthes termed it as the third layer of symbolic semiotics, i.e. space to read or to view in areas with obvious meaning, as opposed to natural symbols. It is at this point that audience is able to represent themselves clearly in the nature of human thought or the obvious meaning. Face-forward facial expressions in Alam: A Martyr is one of the layers of symbols that possess obvious meaning. In addition, it releases the primordial context of the character from its natural space. So, facial expressions may well be interpreted as ‘overflowing’ meaning due to vague information, which may be insignificant or even the contrary since the facial expressions of the character in the video can be regarded as a symbol no longer natural or contains no certainty in meaning. However, the inclination towards the audience is possible only through the symbols of dull meaning. Third layer symbolism in Alam: A Martyr is very likely to be expanded by the audience.

Roland Barthes viewing style is a further development of the interpretational enthusiasm in favor of the audience, whereby previously, authorization of meaning is “controlled” by the director or writer. Within postmodernism views, besides considered as social documentation, art artifact is also regarded as work that creates minimum distance with its audience. Interpretational theory in favor of the audience, of course, does not suffice. The creators or the writers should also be present since art work has a basic tendency of identical “authorship”. Thus, art work in favor to the audience is as much needed. Alam: A Martyr, might just be a proper attempt.

IMG_2366

Salah satu display dalam pameran Videobase (Forum Lenteng) di mana hafiz sebagai artistik pameran, Bentara Budaya Jakarta, 2009.

A Horizontal History
Analyzing further into Alam: A Martyr, this video may be read within historical and cultural content symbolism to narrate the social issues intended to be constructed. The construction is a narrative about the city of Jakarta signified by grass-roots levels. The historical structure is derived from an anonymous figure, Alam—a sufficiently transformative figure—not by molding it into a series of biographical events of a figure (in a heroic sense), but into a series of events that builds upon the collective responses and experiences (represented by Alam). According to Bambang Purwanto, throughout major written history of Jakarta, it is very difficult to find a history of the society’s everyday life, particularly regarding poverty and destitution in large part of society, whereas in fact, it is one of the city’s true identities for centuries old.2 This subject is widely summarized in various art media namely in literature, photography, film, etc. Unlike many grand narratives of history which are mainly vertical in nature, works of art that record history mostly depart from small, horizontal scope that is reflections from individual perspective upon experiencing various events.3

Alam: A Martyr may be read as a social documentation of history derived from a narrative fragment of a victim’s perspective. Social, economic, political, religious and cultural occurrences are presented in a straightforward everyday manner. Within this context, camera is no longer a reflection of reality, but a window opening to the world, as once indicated by Jean Rouch. Camera perspective as an ‘open window to the world’ describes a dissolution of boundaries between imagination and reality—in this case, the approach can be seen through Alam’s dialogues. The expectations of a Jakartan young man fused with his anxiety towards a socio-cultural environment that he cannot access is well described in the video.

Alam: A Martyr contains visual codes that celebrate pluralistic narrative through an anonymous figure. The fact that it marvels at combining the influences of video art, video performance, and film within it aesthetic framework made this artwork—produced in 2005—worth appreciating for.

100_3309

Hafiz sebagai kurator dalam Projek JEDA (Fotografi Forum Lenteng, 2005-2006), dalam diskusi dengan peserta.


1 Which is why to a certain extent (the extent of our theoretical fumblings) the filmic, very paradoxically, cannot be grasped in the film ‘in situation’, ‘in movement’, ‘in its natural state’, but only in that major artifact, the still (Roland Barthes, 1977:5).
2 Bambang Purwanto, Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta, dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008:248.
3 Henk Sculte Nordholt dan Fridus Steijlen, Don’t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di Indonesia pada Abad ke-21, ibid, hal.377


About Alam: A Martyr

Alam: A Martyr is one of the profile series created by Hafiz since 2005. This video received quite  an attention from Indonesian Film Festival Jury Board, owing to its “uncommon” language. Alam: A Martyr was awarded Special Jury Award in the Indonesian Film Festival 2005. In 2006, the work was selected to participate in the International Competition of the 52th Oberhausen International Short Film Festival, Germany. The video was also screened in Tampere International Short Film Festival, Finland. Besides screenings in international festivals, Alam: A Martyr is also screened in special presentations of various exhibitions and local film festivals.

About Hafiz

Hafiz studied Fine Arts in Jakarta Art Institute from 1990 to 1994. His deep interest in film and audiovisual has evolved since his college days. In the 1990s, together with several college friends, he often attended film screenings held in foreign cultural centers in Jakarta, which were the main access to high quality films during the Hollywood-dominated era. This artist is actively involved as exhibiting artist in various places, both local and international. For a brief period, he once worked as graphic designer in several design firms and magazines. In 2000, along with six other young artists in Jakarta, he co-founded ruangrupa (www.ruangrupa.org)—a nonprofit organization that focuses in studies of urban visual culture, media and contemporary art—which became one of the influential organizations for local, regional and international contemporary art. Hafiz is one of the initiators of OK. Video – Jakarta International Video Festival in 2003 (www.okvideofestival.org), held by ruangrupa. Since 2005, he has been the Art Director for OK. Video, currently the largest video festival in Southeast Asia.

In 2003, along with artists, art researchers and communication students, Hafiz established Forum Lenteng (www.forumlenteng.org)—a forum to study audiovisual phenomena in society—and takes office as Chairman of the organization that also carries out media empowerment in several communities in several different regions (www.akumassa.org).) He is also one of the directors actively making independent experimental documentaries. In 2004-2006, he collaborated with Diego Gutiérrez (Mexico) and Kees Hin (the Netherlands) for two feature documentary projects from which they came up with The Valley of The Dog Songs (90 minutes, 2005) and The Carriage (120 minutes, 2006). In 2008, he was one of the initiators of The Umbrella Project (Proyek Payung)—a collaboration of ten Indonesian video artists and young filmmakers for the 10-Year Commemoration of 1998 Reformatory Movement—and compiled the works in “9808” Short Film Compilation Project. Besides professing as an artist, Hafiz is also an independent curator in various local and international exhibitions and art projects. In 2009, he joined a fellowship program for young curators from Japan Foundation through Jenesys Program, to conduct research on Japanese art institutions. He is one of the few artists who rigorously promote media art practices in many regions and present media art phenomenon in Indonesia in various international forums. He is presently the Chief Editor of www.jurnalfootage.net.
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search